Hasil Penelitian, Pembangunan Bangunan Komersial di DIY Berdampak Panjang

Sebuah mural di salah satu sudut Kota Yogyakarta yang berisi protes atas banyaknya pembangunan gedung komersial, seperti mal, apartemen, dan hotel. (Sumber foto: facebook)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Terus bertambahnya pembangunan hotel, mal, apartemen, dan bangunan komersial di Yogyakarta, lebih banyak memiliki dampak negatif dari pada dampak positif. Sebuah penelitian yang dilakukan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) menunjukkan hal tersebut.

Bacaan Lainnya

Penelitian yang selesai digarap bulan Oktober ini, menunjukkan terdapat rentetan dari dampak pembangunan itu. Dari sisi lingkungan, buah dari pembangunan tersebut yakni dapat menurunkan kuantitas air tanah. Pasalnya, bangunan-bangunan tersebut sudah barang tentu membutuhkan air yang tentu banyak dan manajemen menggunakan air tanah dalam untuk memenuhi kebutuhan itu.

Sebagai ilustrasi, tulis hasil laporan yang diterima kabarkota.com, Sabtu (18/10), untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang ‘terterima’ adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh.

Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berdasarkan asumsi,” kata Kepala Biro Penelitian FNKSDA, Bosman Batubara.

Disamping itu, kondisi saat ini, muka air tanah di beberapa wilayah di DIY terus mengalami penurunan di setiap tahunnya. Makin tingginya pembangunan fisik dan konsumsi air baku menjadi penyebabnya. “Ada degradasi permanen rata-rata 20 sentimeter sampai 30 sentimeter per tahun,” ungkap Kepala  Bidang Energi Sumber Daya Mineral Dinas Pekerjaan Umum DIY, Edi Indrajaya.

Sementara itu, menurut  geolog, Eko  Teguh  Paripurno menjelaskan jika ekstraksi air tanah berlebihan ini terjadi karena sejumlah hotel berbintang yang menyedot air secara ‘serampangan’. Penyedotan serampangan ini terjadi karena buruknya manajemen air hotel, dan pada akhirnya mengganggu ketersediaan air di sumur milik warga. “Di sisi lain, hotel tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM),” kata Eko.

Selain itu juga memiliki dampak pada pencemaran air. Pembuangan limbah yang diduga tidak pada tempat yang semestinya membuat kondisi air tanah di Kota Yogyakarta dan sekitarnya terkontaminasi nitrat dan bakteri e-coli. Di sisi lain, tidak ada badan otoritas yang melakukan monitoring dan mengelola sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman.

Dari sisi pemerintahan, masih dalam laporan tersebut, menjelaskan, khususnya di Kota Yogyakarta, meski ada Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 77 Tahun 2013 namun hal itu tidak membuat pembangunan hotel di Kota Yogyakarta bisa dikendalikan. “Namun, sejak rencana pembatasan hotel itu ada, kalangan investor dari berbagai daerah di Indonesia berlomba-lomba memasukkan permohonan izin sebelum tenggat. Jumlahnya mencapai 100 proposal,” tulis laporan tersebut.

Untuk itu, Bosman memberikan rekomendasi, diantaranya pembatalan pembangunan mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta; pendirian badan otoritatif untuk mengurus akuifer Merapi; pemenuhan hak asasi manusia atas air; menggalakkan riset di sektor air.

“Pemerintah perlu melakukan pendidikan ideologis untuk membangun kesadaran warga tentang posisi warga sebagai subyek dan kemelekan terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan institusional di sektor ini," jelasnya.

AHMAD MUSTAQIM

Pos terkait