Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Sleman, DIY turut menyesalkan terjadinya aksi kekerasan oleh oknum aparat kepolisian dalam demonstrasi yang dilakukan oleh HMai cabang Bengkulu, di Gedung DPRD setempat, pada 18 September 2018 lalu.
Ketua HMI (MPO) Cabang Sleman, Fakhrrurazy menilai, tindakan aparat dalam menghadapi penyampaian aspirasi tersebut berlebihan.
“Saya pribadi mendukung hak teman-teman HMI yang menyuarakan pendapat di berbagai daerah… Walaupun saya tidak sepenuhnya setuju dengan semua tuntutan mereka, tapi hak-hak untuk menyampaikan aspirasi perlu dilindungi,” kata Razy kepada kabarkota.com, Kamis (20/9/2018).
Di antara poin tuntutan yang tak ia setujui adalah masalah depresiasi rupiah dan berujung tuntutan lengsernya pemerintahan. “Walaupun ini bisa diperdebatkan, tapi saya rasa ada banyak sekali faktor lain non kebijakan pemerintah yang menyebabkan itu,” anggapnya.
Ditambahkan Razy, tuntutan HMI di masing-masing daerah memang berbeda-beda. Sementara dalam konteks di Bengkulu, apa yang disampaikan HMI itu, menurutnya masih umum dan rasional.
Sementara HMI cabang Sleman sendiri menuntut netralitas aparatur negara dan profesionalisme BUMN. Mengingat, selama ini pemerintah terlalu sering melakukan penunjukan langsung terhadap BUMN untuk melakukan proyek strategis pemerintah (PSN) dan tidak diimbangi oleh kemampuan BUMN tersebut.
Selain itu, Razi berpendapat bahwa pejabat terutama komisaris BUMN banyak yang bukan ahli dibidangnya. Padahal, fungsi komisaris mengawasi BUMN.
“Banyak yang hanya timses, tanpa kapabilitas diangkat menjadi komisaris,” sebutnya. Karenanya, PMN terhadap BUMN sering dijadikan kesempatan untuk menjadikan BUMN sebagai sapi perah apalagi tahun politik.
Sebelumnya, Majelis Nasional Kesatuan Aksi Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) juga mengutuk keras cara aparat Kepolisian yang menggunakan kekerasan dalam menangani demonstrasi yang dilakukan oleh HMI cabang Bengkulu
Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, Siti Zuhro menganggap, Aparat Kepolisian melakukan tindakan di luar batas prosedur yang semestinya. Terlebih sampai mengakibatkan jatuhnya korban. Padahal, demonstrasi adalah bagian dari ekspresi menyatakan pendapat yang keberadaanya dijamin dalam negara demokrasi. Jalannya menyampaikan pendapat tersebut harus dilindungi dan dijauhkan dari tindak kekerasan, tidak selayaknya Aparat Kepolisian melakukan kekerasan pada kegiatan tersebut.
“Kami menuntut Kepolisian bertanggungjawab atas timbulnya korban dalam aksi kekerasan aparat tersebut dan kami meminta Kepolisian melakukan pengusutan dan penindakan atas aksi kekerasan yang dilakukan anggotanya,” kata Siti dalam siaran persnya, 19 September 2018.
KAHMI juga mendesak agar Kepolisian menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas aksi kekerasan tersebut dan tidak akan mengulanginya. Institusi kepolisian, lanjut Siti adalah alat negara, bukan alat kepentingan kekuasaan, korporasi, atau kelompok tertentu.
‘Polisi adalah bersumber dan milik rakyat Indonesia. Oleh karena itu Polisi harus tetap memegang teguh Tri Brata dan Catur Prasetya dalam menjalankan tugas-tugas negara,” tegasnya.
Oleh karena itu pihaknya berharap, Polri menjadi garda terdepan membangun supremasi hukum berdasar rule of law yang mengabdi kepada keadilan dan national interest, dan harus menghindarkan diri dari abuse of power dan praktik kolutif.
“Aparat Kepolisian harus tetap bersikap profesional, disiplin, serta menjadi aparat negara yang bersih, serius mewujudkan clean goverment dan good governance,” pinta Siti.
Aparat Kepolisian, imbuh Siti, harus lebih meningkatkan fungsi public services kepada masyarakat agar tercipta rasa aman, nyaman, terlindungi, dan merasa diayomi.
“KAHMI akan memberikan perlindungan hukum kepada mahasiswa yang menjadi korban aksi kekerasan dalam demonstrasi tersebut,” tegasnya. (Rep-03)