Ilustrasi (dok. angkringan dakwah)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan tak ada larangan kegiatan warga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di wilayahnya. Pernyataan tersebut disampaikan Sultan, menyikapi langkah pemerintah pusat melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) yang telah membubarkan Organisasi Kemasyarakat (Ormas) berbasis Islam tersebut.
“Ya tidak ada toh. (pemerintah) hanya membubarkan organisasinya,” tegas Sultan menjawab pertanyaan wartawan di kompleks kepatihan Yogyakarta, Kamis (20/7/2017) terkait apakah kegiatan mereka akan dilarang pasca pembubaran tersebut.
Menurutnya, pembubaran HTI menjadi kewenangannya pemerintah pusat, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017, sehingga pihaknya tak perlu menerbitkan aturan lain, seperti Peraturan Daerah (Perda) untuk menindaklanjuti instruksi pembubaran itu.
Sementara dihubungi terpisah, Juri Bicara (Jubir) HTI DIY, Yusuf Mustaqim mengungkapkan, meski secara organisatoris telah bubar, namun kewajiban dakwah masing-masing individu tetap melekat.
“Kami ada kajian Al Qur’an seperti biasa, mengkaji tentang Islam, dan diskusi-diskusi juga tetap jalan,” kata Yusuf saat dihubungi kabarkota.com.
Terkait tudingan anti-pancasila dan UUD 45, Yusuf berpendapat, semestinya itu dibuktikan di pengadilan. Karena itu, pihaknya menyesalkan sikap pemerintah yang terkesan tidak adil dan sewenang-wenang dalam membubarkan HTI, tanpa melalui proses pengadilan. Terlebih, HTI sebenarnya telah beberapa kali meminta dialog dengan pemerintah, namun diabaikan.
Sebelumnya, pada 19 Juli 2017, Kemenkumham menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI.
Pembubaran itu didasarkan pada pasal 80A Perppu No 2 Tahun 2017 sebagai perubahan atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII) Yogyakarta, Eko Riyadi menilai, secara hukum, terbitnya Perppu Ormas itu memang sah. Hanya saja, ada persoalan dari aspek HAM yang potensial diajukan gugatan ke MK.
“Kebebasan berserikat atau berorganisasi itu memang tidak mutlak, atau bisa dibatasi. Namun pembatasannya harus dilakukan dengan tiga syarat,” sebut Eko.
Ketiga syarat yang dimaksud Eko, adalah Ditetapkan dengan UU, alasannya sah demi keamanan, moral publik, kesehatan publik, dan juga dilakukan secara demokratis. (Ed-03)
SUTRIYATI