Ini 5 Alasan Aliansi Jurnalis Independen Tolak Revisi UU KPK

Dok AJI
Dok: Logo AJI

JAKARTA (kabarkota.com) – Seluruh Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna Kamis (5 September 2019) menyepakati usulan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam usulan ini karena dapat melumpuhkan KPK dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ketua Umum, Abdul Manan mengungkapkan, ada 21 pasal di dalam draft RUU KPK yang punya semangat mengebiri KPK, dan terangkum dalam 5 hal yang menjadi alasan AJI menolak revisi UU KPK

Bacaan Lainnya

1. Soal status pegawai KPK yang dijadikan Aparatur Sipil Negara

Jika RUU ini disahkan, maka pegawai KPK akan menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara. Hal tersebut akan menghilangkan independensi pegawai KPK dalam penanganan perkara karena soal kenaikan pangkat, pengawasan sampai mutasi akan dilakukan oleh kementerian terkait. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip independensi KPK seperti semangat saat lembaga ini didirikan pasca-reformasi 1999 lalu.

2. Penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang harus disetujui Dewan Pengawas

Dalam RUU itu juga diatur soal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. Ini akan mengebiri salah satu kewenangan penuh KPK yang selama ini cukup efektif dalam memerangi korupsi melalui operasi tangkap tangan terhadap politisi, pejabat dan pengusaha yang terlibat korupsi. Dengan ketentuan ini, maka KPK akan sangat tergantung kepada Dewan Pengawas, lembaga yang orang-orangnya juga akan dipilih DPR.

3. KPK tidak boleh memiliki penyidik independen

RUU itu akan membatasi pencarian sumber daya penyelidik dan penyidik KPK hanya dari Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ini akan menghilangkan peluang KPK mencari penyidik independen, yang selama ini terbukti memberi kontribusi penting bagi suksesnya kinerja KPK. Ketentuan ini juga bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bahwa KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

4. Penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung

Kewenangan penuh KPK untuk melakukan penuntutan, juga akan dibatasi. Dalam RUU itu diatur bahwa KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan, alias tak lagi bisa melakukan sendiri seperti selama ini.

5. Pengubahan kewenangan dalam mengelola Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)

Kewenangan KPK untuk menangani LHKPN juga akan dicabut. Nantinya LHKPN itu akan dilakukan di masing-masing instansi. Kewenangan KPK direduksi hanya untuk kooordinasi dan supervisi saja.

Mengapa AJI ikut bersuara tentang KPK?

Adanya upaya pelemahan terhadap KPK melalui revisi UU KPK ini sangat merisaukan AJI, organisasi wartawan yang berdiri 7 Agustus 1994, yang kini beranggotakan 1.800 jurnalis yang tersebar di 38 kota. Konstitusi AJI, tepatnya pasal 10 AD ART AJI, dengan jelas menyatakan bahwa salah satu mandat organisasi ini adalah “terlibat dalam pemberantasan korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan.”  Nah, semakin jelas posisi AJI jika bersikap tentang KPK, bukan?

Karena itu, melihat perkembangan soal pembahasan calon pimpinan KPK dan adanya revisi UU KPK itu, AJI menyatakan sikap:

  1. Mendesak Presiden Joko Widodo tidak ikut dalam upaya DPR yang ingin mengkebiri dan memangkas kewenangan KPK melalui revisi Undang Undang KPK. Presiden bisa melakukannya dengan menolak perubahan pasal yang bisa memangkas dan mengebiri KPK. Joko Widodo harus menunjukkan sikap jelas dalam semangat pemberantasan korupsi agar kelak tak dikenal dalam sejarah sebagai presiden yang ikut menghancurkan KPK.
  2. Mengecam sikap DPR yang memiliki inisiatif merevisi UU KPK dengan memangkas sejumlah kewenangan lembaga anti-korupsi itu. Sebab, sejumlah kewenangan KPK itu selama ini terbukti cukup efektif untuk melakukan pemberantasan korupsi. Langkah DPR ini lebih menunjukkan sikap melawan balik lembaga ini karena adanya sejumlah politisi yang ditangkap KPK. Ini kian menunjukkan bahwa DPR tak menunjukkan komitmen yang diamanatkan gerakan reformasi 1998, yang salah satunya adalah memerangi korupsi.
  3. Mendesak para politisi di DPR untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK dengan menjadikan rekam jejak serta komitmen anti-korupsi sang calon sebagai tolok ukur dalam menentukan pilihan. DPR perlu menunjukkan komitmennya kepada orang-oang yang memilihnya dengan cara tidak mendukung calon-calon yang memiliki rekam jejak tidak baik atau komitmennya diragukan dalam soal pemberantasan kroupsi.
  4. Mengajak jurnalis dan media mengawasi secara ketat seleksi calon pimpinan KPK yang berlangsung di DPR, untuk memastikan bahwa calon yang dipilih merupakan calon yang memiliki rekam jejak baik dan punya semangat jelas memerangi korupsi. Selain soal calon pimpinan, pengawalan secara kritis juga harus dilakukan dalam proses revisi UU KPK di DPR.

Editor: Dee

Pos terkait