Ini kata Pengamat soal Isu SARA di Pilkada 2017

Diskusi tentang Refleksi Pilkada 2017, di PSKP UGM, Selasa (21/2/2017). (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Proses pemungutan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang digelar pada 15 Februari 2017 di 101 daerah sudah usai. Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum secara resmi mengumumkan para pasangan terpilih, namun berdasarkan data yang diunggah di laman KPU, sudah bisa diketahui hasil perhitungan suara masing-masing paslon. Termasuk untuk Pilkada DKI Jakarta dan Pilwali Kota Yogyakarta.

Bacaan Lainnya

Menariknya, peneliti senior Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Zuly Qodir mengatakan bahwa isu soal Suku Ras dan Agama (SARA) yang akhir-akhir ini gencar dihembuskan dan disinyalir untuk menjatuhkan paslon tertentu, justru tak efektif.

Pihaknya mencontohkan, kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berujung pada pemidanaan dan aksi-aksi damai dalam skala besar, sempat disebut-sebut akan menyurutkan dukungan warga ibu kota untuk memilih paslon dari petahana tersebut, dengan prediksi perolehan suara tak lebih dari 15 persen. Tapi faktanya, pada putaran pertama terbukti mampu meraup suara 42 persen atau tertinggi dibandingkan dua paslon lainnya.

Begitu pun dalam Pilwali Kota Yogyakarta, kubu Imam Priyono – Ahmad Fadli yang notabene diusung oleh PDIP dan diidentikkan sebagian partai yang ‘dekat’ dengan komunis, juga mampu mengimbangi perolehan suara rivalnya, dengan 49,70 persen atau dengan kata lain mengalami kekalahan dengan selisih yang sangat tipis.

“Dari hasil riset pertama kami pada tiga minggu sebelum Pilkada, prediksi perolehan suara IP-Fadli hanya 25 persen. Lalu, pada tiga hari sebelum pemungutan suara, saya memperkirakan perolehan suaranya bisa fifty-fifty. dan ternyata terbukti, hasilnya tak jauh dari prediksi tersebut,” ungkap Zuly dalam diskusi tentang Refleksi Pilkada 2017, di PSKP UGM, Selasa (21/2/2017).

Menurut Zuly, maraknya isu-isu tentang SARA dalam Pilkada tak lepas dari munculnya kekuatan politik partikelir, di luar partai politik, seperti kelompok-kelompok tertentu yang didesain untuk melakukan kejahatan politik.

SARA, lanjut Zuly, sengaja digunakan untuk membangun kebencian di masyarakat terhadap etnis tertentu tapi terbukti tak mempan.

“Di Jakarta, Ahok tetap unggul setelah beberapa kali didemo. Itu karena kebanyakan yang demo bukan pemilih DKI,” anggapnya.

Sementara dosen senior Flinders University Australia, Priyambudi Suliatyanto berpendapat bahwa politik koalisi di masing-masing lokalitas berbeda-beda, tergantung warna dan nuansa di daerah yang bersangkutan.

“Hasil Pilkada putaran pertama dulu (sebelum Pilkada serentak), seluruh daerah berbeda-beda,” ujarnya. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait