Diskusi “Tax Amnesty dan Wacana Suaka Pajak di Indonesia” di UGM (9/11/2016) (Anisatul Umah/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Anggota Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Awan Santosa mengatakan adanya ketimpangan dalam tax amnesty atau pengampunan pajak. Potensi penerimaan dari pengampunan pajak sebesar Rp.165 triliyun, tidak sebanding dengan puluhan tahun kegiatan ekonomi yang hasilnya di bawa keluar.
Serikat pekerja menurutnya adalah pihak yang melakukan Judicial Review (JR) atas diberlakukannya pengampunan pajak. Dewasa ini tingkat kesejahteraan buruh masih di bawah rata-rata. Hal ini menurut Awan juga menjadi timpang ketika buruh yang jauh dari sejahtera, namun para pemilik modal justru mendapatkan pengampunan pajak.
“Mereka yang kerja keras, namun malah pemilik modal naruh dananya di luar dan sekarang diampuni,” jelasnya dalam diskusi Tax Amnesty dan Wacana Suaka Pajak di Indonesia di UGM (9/11/2016).
Pengambilan nilai lebih dari pekerja, serta ketika para pekerja masih sibuk dalam tataran menuntut upah layak, para pemilik modal justru sudah jauh berfikir untuk kemana mereka menamakan modalnya. Pengawasan atas perpindahan uang menjadi jalan agar pengemplangan pajak tidak terus terjadi.
“Penghisapan sama saja pengemplangan,” ungkapnya.
Pengajar di Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM, Henpri Suyatna mengatakan dengan pengampunan pajak, logika yang dipakai pemerintah adalah bagaiamana mengejar pemasukan negara. Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, di sini terdapat hal yang inkonstitusional karena pajak bersifat wajib.
Program pengampunan pajak, awalnya ditujukan untuk pengusaha besar. Namun, karena pemasukan pajak sedikit, kini justru menyasar ke Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
“Karena pemasukan seret, sehingga UMKM jadi sasaran. Potensi dari UMKM cukup besar,” tandasnya. (Rep-04/Ed-01)