Langit-langit atap sekolah yang jebol dan jendela-jendela ventilasi yang dibiarkan terbuka di gedung belakang bekas SD Negeri Jetis yang terletak di Dusun Dukuh, Sidoagung, Godean, Sleman, Sabtu (22/11). Warga sekitar memperkirakan, bangunan SD milik pemerintah ini telah mangkrak sejak 10 tahunan lalu. (Sutriyati/kabarkota.com)
SLEMAN (kabarkota.com) – Sejak Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan (Regrouping) Sekolah Dasar, banyak sekolah, khususnya di wilayah Kabupaten Sleman yang ditinggalkan "penghuninya" dan dibiarkan terbengkalai.
Berdasarkan penelusuran kabarkota.com, Sabtu (22/11) di dusun Dukuh, Sidoagung, Godean, Sleman, Yogyakarta yang terdapat satu sekolah yang terkena dampak regrouping yang kini kondisi bangunannya mengenaskan.
Adalah SD Negeri Jetis, yang kini sebagian bekas ruangnya telah berubah menjadi tempat pembudidayaan jamur tiram sejak setahunan lalu.
Terletak di pinggiran dusun Dukuh, yang di seberang jalannya terbentang sawah cukup luas, bangunan SD Negeri Jetis itu kini tampak tak terurus. Ketika memasuki halaman sekolah, tampak rumput liar dibiarkan tumbuh di sekitar lapangan, dan halaman gedung bekas tempat penjaga sekolah. Sementara sebagian halaman lainnya, dimanfaatkan warga sekitar untuk lapangan voli.
Gedung berbentuk "L" yang terbagi atas 8 ruang itu, tampak kumuh dengan corat-coretan yang dipenuhi simbol-simbol dan gambar-gambar suporter PSS Sleman yang ditorehkan dengan cat warna-warni. Sementara jendela-jendelanya sudah tidak berkaca lagi. Pintu-pintu yang bercat kuning muda, juga dibiarkan rusak dan tertutup.
Kondisi paling mengenaskan, terlihat dari bekas sumur dan kamar mandi yang sudah tidak beratap tetapi masih dibiarkan berdiri. Sedangkan atap ruangan di belakang gedung sekolah, tampak langit-langitnya sudah jebol, dan jendela-jendela ventilasi dibiarkan terbuka.
Menurut keterangan salah satu warga Dukuh di sekitar sekolah tersebut, Lasiman, gedung SD Negeri Jetis telah dibiarkan mangkrak sejak 10 tahunan lalu.
"Ya itu awalnya karena kehabisan siswa," kata Lasiman saat ditemui kabarkota.com di kediamannya.
Daripada bangunan terbengkalai, tambah Lasiman, sejak setahun terakhir, para pemuda berinisiatif memanfaatkan lahan tersebut untuk budidaya jamur, dan lapangan olah raga.
Lasiman menduga, sepinya minat warga untuk bersekolah di SD itu karena tidak adanya terobosan-terobosan dari pihak pengelola untuk memajukan sekolah tersebut. Selain fasilitas belajar mengajar yang masih terhitung minim dibandingkan sekolah-sekolah lainnya.
Meski demikian, ia menyayangkan penutupan sekolah tersebut, lantaran warga sekitar sebenarnya masih membutuhkan keberadaan Sekolah Dasar yang lebih dekat dijangkau oleh putra-putri mereka.
Senada dengan warga Dukuh tersebut, salah satu alumnus SD Negeri Jetis, Isti Pratiwi yang tinggal di desa Margoluwih, Seyegan, Sleman juga menyayangkan mangkraknya bangunan sekolah yang dulu menjadi tempat ia belajar selama 6 tahun, dari tahun 1988 – 1994.
"Sebagai alumnus jelas saya sangat menyayangkan penutupan sekolah itu," sesal ibu satu putra ini.
Padahal, kata dia, dulu ketika dirinya masih duduk di bangku SD Negeri Jetis, jumlah siswanya cukup banyak, yakni 42 siswa per kelas. Isti mengaku tidak mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan sekolahnya itu kehabisan murid dan akhirnya ditutup, seperti sekarang. Hanya saja dia berharap, agar sekolahnya itu bisa difungsikan kembali, dengan renovasi.
“Setiap kali saya melihat sekolah itu rasanyaa ngenes (prihatin)," ucapnya.
SUTRIYATI