Ilustrasi (dok. kpk.go.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dua pejabat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin dan dua narapidana koruptor atas dugaan korupsi pemberian fasilitas dan izin khusus bagi sejumlah narapidana, pada 20 Juli 2018 lalu, menjadi gambaran betapa tidak mudahnya memberantas korupsi di negeri ini.
Tentunya ini hanya satu dari sekian banyak kasus korupsi yang menjerat para penyelenggara Negara bersama rekanannya (swasta). Sayangnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang notabene dipilih untuk mewakili aspirasi rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun daerah juga masuk dalam pusaran besar korupsi. Data diolah dari Laporan Tahunan KPK Tahun 2017
Laporan Tahunan KPK Tahun 2017 menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2004-2017 dari total 739 perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK), 144 diantaranya dilakukan oleh anggota DPR dan DPRD. Ini sekaligus menempatkan para anggota legislatif tersebut berada di urutan ketiga pelaku terbanyak, setelah swasta (184), dan Eselon I, II, dan III (175). Data diolah dari Laporan Tahunan KPK Tahun 2017 Data diolah dari Laporan Tahunan KPK Tahun 2017
Sementara dari institusinya, DPR RI berada di peringkat ke-4 dengan jumlah 63 perkara, dari total 688 perkara TPK, masih dalam rentang tahun yang sama. Peringkat pertama Kementerian/Lembaga sebanyak 274 perkara, disusul Pemkab/Pemkot 181 perkara, dan Pemprov 99 perkara. Sisanya, BUMN/BUMD terlibat 51 perkara, dan Komisi 20 perkara. Data diolah dari Laporan Tahunan KPK Tahun 2017
Masih memgacu pada laporan tersebut, dari 688 perkara tersebut, modus TPK yang paling banyak digunakan adalah penyuapan (396), pengadaan barang dan jasa (171), penyalahgunaan anggaran (46), Tindak Pidana Pencucian Uang/TPPU (25), perizinan (22), pungutan/pemerasan (21), dan merintangi proses KPK (7).
Berkaca dari paparan data tersebut, tak mengherankan jika kemudian banyak kalangan belum puas dengan kinerja pemberantasan korupsi yang dilakukan dari rezim ke rezim, termasuk di era pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi – JK) yang tinggal menyisakan satu tahun lagi masa jabatannya berakhir.
Sebenarnya, momentum Pemilu 2019 mendatang menjadi saat yang tepat untuk malakukan perbaikan, dalam upaya pemberantasan korupsi, melalui pergantian anggota DPR/DPRD di seluruh Indonesia. Namun, hal mengejutkan justru muncul ketika pemerintah mengesahkan Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang pada salah satu poinnya membolehkan para mantan narapidanan kasus korupsi, mantan narapidana bandar narkoba, dan mantan narapidana kasus kejahatan terhadap anak untuk ikut maju dalam bursa bakal calon legislatif.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini sebagai penyelenggaran Pemilu sempat “menentang” peraturan tersebut, dengan menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang pada intinya tidak memberikan ruang bagi mantan narapidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi dalam Pileg 2019 mendatang.
Ketua KPU DIY, Hamdan Kurniawan menganggap, korupsi sebagai extra ordinary crime yang menjadi salah satu persoalan terbesar bangsa. Oleh karenanya, dalam proses memilih elected officials dan memproduksi pemimpin di negara ini, KPU memandang perlu langkah-langkah untuk mendapatkan calon pemimpin bangsa yang qualified dan bebas dari korupsi, mulai sejak calon diajukan. Dengan begitu, saat Pemilu, rakyat disuguhi deretan nama yang tidak bermasalah secara hukum, khususnya atas tiga kasus itu.
“KPU yang memiliki kewenangan atribusi untuk mengatur lebih lanjut melalui PKPU, merasa perlu memberi penafsiran dan penegasan atas pencegahan extra ordinary crime tersebut,” kata Hamdan kepada kabarkota.com, baru-baru ini.
Hanya sayangnya, perbedaan penafsiran antara pemerintah dan KPU tersebut berbuntut polemik, hingga akhirnya KPU terkesan “melunak” dengan merevisi pasal dalam PKPU tersebut.
Ditambahkan Hamdan, setelah dilakukan sinkronosasi dan harmonisasi, PKPU sedikit merubah posisi larangan bagi mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual anak dan korupsi, yang awalnya berada di persyaratan setiap bakal calon, kemudian dipindah ke klausul pakta integritas yang harus ditaati oleh Partai Politik (Parpol).
“Jika dilanggar, maka sanksinya bisa berupa pembatalan calon,” tegasnya.
Pun itu masih digugat oleh sebagian pihak yang merasa tidak cukup diuntungkan dengan aturan dalam PKPU No 20 Tahun 2018, utamanya dalam kaitan hak untuk dipilih.
Ketua Dewan Pengurus Forum LSM DIY, Beni Susanto, turut bersuara atas adanya gugatan PKPU. Pihaknya menilai, sejak Pemilu 2004, 2009 dan 2014, upaya untuk menghadang politisi korup belum mendapatkan dukungan negara. Empat kriteria politisi yang dinilai bermasalah, berpeluang merusak bangsa dan negara antara lain terpidana korupsi, kejahatan terhadap perempuan dan anak, pelanggaran HAM berat serta narkoba, kini justru mendapatkan kesempatan untuk dipilih.
“Oleh karena itu selanjutnya berpulang kepada Mahkamah Agung, apakah akan memberikan kesempatan kembali menjadi pejabat bagi mantan koruptor ataupun menolak gugatan? Tetapi semoga MA menjadi pintu keadilan yang berwibawa dan profesional,” harapnya.
Harapan serupa juga datang dari aktivis antikorupsi Yogyakarta, Tri Wahyu KH yang meminta MA agar menolak uji materiil atas aturan dalam PKPU, agar konsisten pro pemberantasam korupsi, dengan mencoret narapidana koruptor dalam daftar caleg pada Pemilu 2019
Menyangkut OTT narapidana koruptor di Lapas Sukamiskin, Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Yogyakarta ini berpandangan bahwa itu memjadi bukti kongkrit tidak baiknya pengawasan oleh Menteri Hukum dan HAM. Sekaligus, kegagalan revolusi mental era Jokowi-JK.
“ICM berpandangan, pencopotan Menkumham saja tidak cukup, karena presiden juga bagian dari masalah. Kini saatnya publik makin kritis terhadsp rezim Jokowi, dengan menghukumnya di Pemilu 2019,” ucapnya.
“Warga juga harus turut pro aktif. Jika memang parpol mengajukan caleg-caleg yang bermasalah itu, ya sebaiknya warga tidak memilihnya. Cek rekam jejak mereka,” imbaunya. (sutriyati)