Aksi Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta di halaman Gedung DPRD DIY, Kamis (12/9/2019). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Ratusan mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta menggelar aksi unjuk rasa menolak rencana revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pada Kamis (12/9/2019).
Dalam aksi kali ini, mahasiswa yang mengatas-namakan Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta itu melakukan longmarch dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju Gedung DPRD DIY dan berakhir di kawasan titik nol km Yogyakarta. Berbagai spanduk dan poster berisi penolakan atas revisi UU KPK dibentangkan selama aksi berlangsung.
Koordinator Umum Aksi, Adji Hari menyatakan, secara tegas menolak Rancangan Revisi UU KPK secara keseluruhan, serta mendesak Presiden dan DPR agar membatalkan rencana tersebut.
“Kami menuntut Presiden RI menepati janji dalam rangka melakukan penguatan KPK untuk mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tegas Adji, di halaman gedung DPRD DIY.
Sementara Koordinator Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Universitas Taman Siswa Yogyakarta, Mu’min Boli menegaskan, jika Presiden menyetujui revisi UU KPK melalui Surat Presiden (Surpres) ke DPR, maka para mahasiswa akan kembali melakukan aksi penolakan dalam jumlah yang lebih besar dari sekarang.
“Hari ini gerakannya masih di tiap-tiap daerah. Nanti, jika itu disetujui, maka gelembung penolakan akan dilakukan di seluruh Indonesia,” ungkap Mu’min kepada kabarkota.com, di sela-sela aksi massa.
Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta ini menganggap, ada beberapa alasan sehingga DPR disinyalir akan melemahkan posisi KPK, melalui revisi UU No 30 Tahun 2002 itu.
Pertama, proses penyusunan Rancangan UU KPK mengingkari aturan yang ada. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, dinyatakan bahwa pada intinya pembahasan sebuah RUU harus berdasarkan program legislasi Nasional. Padahal, RUU KPK ini tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2019. Maka, dengan ini terjadi pelanggaran formil dalam pembahasan Revisi UU KPK ini.
Kedua, mengenai independensi KPK sebagai Lembaga penegak hukum tindak pidana Korupsi di Indonesia, seperti dalam Pasal 1 angka 3, Pasal 1 angka 7, dan Pasal 24 ayat (2) dan (3). Dalam beberapa aturan tersebut, KPK adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan ini, menurut mereka bertentangan dengan Putusan MK No. 012-016- 019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 38 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Oleh karenanya, menggolongkan KPK sebagai lembaga yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagai Lembaga eksekutif bukan langkah tepat.
Ketiga, dalam hal melakukan penyadapan yang merupakan kekuatan yang diberikan hukum kepada KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi, misalnya pada pasal 12A, 12 B, 12C, 12D, 12E, 37A, 37B, 37C, 37D, 37E, 37F, 37G dan 69A. Pengaturan itu tidak menguatkan sistem penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasalnya dalam hal melakukan penyadapan, KPK harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Dewan Pengawas. Sedangkan, Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sehingga berpotensi menimbulkan conflict of interest dalam pelaksanaan penyadapan yang dilakukan KPK.
Keempat, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan, yang tercantum pada Pasal 40. Padahal dalam menetapkan suatu kasus penyidikan, KPK telah melalui proses yang sangat hati-hati dan prosedural supaya tak ada penghentian penyidikan dan penuntutan. Namun melalui ketentuan tersebut akan terjadi degradasi kualitas KPK dalam penanganan suatu kasus.
Gerakan Anti Korupsi Yogyakarta khawatir, penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama 1 (satu) tahun akan menimbulkan potensi intervensi kasus menjadi mudah terjadi. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun.
Selain itu, penghentian penyidikan dan penuntutab itu berpotensi menghambat kasus secara administrasi sehingga lebih dari 1 (satu) tahun. Sementara tingkat kesulitan penanganan perkara dari satu perkara ke perkara lain bermacam-macam.
Presiden Jokowi sudah Tandatangani Surpres ke DPR
Di lain pihak, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) melalui Surat Presiden (Surpres) bernomor: R-42/Pres/09/2019 tetanggal 11 September 2019 telah menunjuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dsn Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) untuk mewakili pemerintah dalam melakukan pembahasan bersama DPR tentang RUU No 30 Tahun 2012.
Dalam suratnya Presiden mengatakan, penunjukan wakil pemerintah tersebut merujuk pada Surat Ketua DPR RI No. LG/14818/DPR RI/IX/2019 tertanggal 6 September 2019 hal penyampaian RUU tentang Perubahan Kedua atas UU KPK.
Surpres yang beredar luas di berbagai media sosial sejak 11 September 2019 juga langsung mengundang berbagai reaksi dari netijen, yang sebagian besar menyatakan kekecewaan mereka atas keputusan pemerintah tersebut. (Rep-01)