Pengamat Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro (dok. istimewa)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kasus oknum guru berinisial TK yang menendang AA, salah seorang siswa SMP di Kota Yogyakarta baru-baru ini, menjadi salah permasalahan di dunia pendidikan yang semestinya dicarikan solusi bersama sehingga ke depan tak terulang lagi.
Pengamat pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro berpendapat bahwa kekerasan yang dilakukan oleh guru dalam bentuk apapun sudah tak tepat lagi untuk dilakukukan saat ini. ,
“Guru perlu memposisikan diri sebagai Sahaja atau Sahabat Anak dan Remaja yang akan senantiasa mendampingi remaja berikut segenap permasalahannya,” kata Khamim kepada kabarkota.com, Jumat (22/3/2019).
Sebab menurutnya, fase remaja awal sebagaimana yang sedang dialami AA itu penuh dengan gejolak dan pemberontakan sehingga memerlukan perlakuan yang kondusif dari lingkungan sosialnya.
“Tri Pusat Pendidikan perlu disinergikan sebagai upaya preventif perilaku menyimpang pada anak remaja,” anggapnya.
Terlebih bagi anak-anak yang datang dari latar belakang keluarga broken home. Sebab, broken home mempunyai andil sangat besar terhadap dekadensi moral dan berbagai perilaku menyimpang anak yang lain.
Guru dalam hal ini, kata Khamim, perlu belajar menyelami kehidupan psikologis siswa yang bersangkutan, dengan pendekatan psikologi fenomenologis sehingga guru bisa melihat perilaku anak dari sudut pandang anak.
Khamim menambahkan, pendidik di sekolah perlu mendalami lagi individual deferences (perbedaan individual), di mana anak-anak memiliki harapan, cita-cita, dan pengalaman yang berbeda, sehingga harus memperlakukan secara tepat. (Baca Juga: Forpi Minta Disdik Kota Yogya Awasi para Siswa di Sekolah Negeri)
Di lain sisi, Khamim menganggap, lahirnya Undang-undang tentang Perlindungan Guru saat ini cukup mendesak, guna memberikan kepastian kepada guru terkait hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan dalam mendidik anak.
“Sekolah harus berlaku bijak dalam permasalahan ini. Sangsi edukatif perlu didahulukan,” tegasnya.
Sementara bagi para orang tua, semestinya juga mulai belajar menerima anak apa adanya. Termasuk, mengasah potensi menonjol yang dimiliki anak, sekaligus mengurangi secara bertahap kecenderungan negatif yang sering dilakukan. Hal itu penting, mengingat, banyak orang tua yang “menggenjot” anak untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang ada padanya, tapi lupa mengoptimalkan potensi positif yang dimiliki anak.
Sebelumnya, kontak fisik antara oknum guru terhadap AA bermula ketika pada 20 Maret 2019 lalu, siswa kelas 7 tersebut terlambat datang ke sekolah bersama dua puluhan siswa lainnya dari kelas yang berbeda. Namun, saat TK memberikan nasehat, AA justru terkesan melecehkannya sehingga memancing emosi guru yang berujung pada perbuatan tak menyenangkan guru terhadap muridnya. (Baca Juga: Akui Khilaf, Guru Penendang Seorang Siswa SMP di Kota Yogya Minta Maaf)
Berdasarkan penjelasan TK, diketahui bahwa selama ini AA memiliki track record yang kurang bagus selama di sekolah, selain sering membuat kegaduhan, anak tersebut juga sering tak masuk sekolah. Di sisi lain, AA juga datang dari keluarga broken home sehingga kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, khususnya sosok ayah. (Rep-02)