Ilustrasi: Hasil rekam medis dari rumah sakit yang diterima keluarga Andika dan menunjukkan adanya kejanggalan dalam kematian siswa SMK yang diduga dianaya oleh oknum kepolisian usai kecelakaan, pada 29 April 2016 lalu. (sutriyati/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kasus kematian yang menimpa seorang pelajar SMK di Sleman, Andika yang diduga akibat penganiayaan oleh oknum aparat kepolisian di wilayah Polres Sleman, baru-baru ini, ternyata berbuntut panjang. Keluarga Andika secara tegas menolak tawaran penyelesaian kasus secara damai oleh keluarga pelaku penganiayaan.
Pada Selasa (7/6/2016), keluarga Andika mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dengan harapan penyelesaikan kasus yang menimpa almarhum Andika bisa dipercepat. Mengingat, keluarga korban telah melaporkan kasus itu sejak 2 Mei 2016 lalu ke Polda DIY, namun hingga kini belum ada kejelasan terkait penetapan tersangka atas penganiayaan yang berujung kematian itu.
Ayah korban, Subandi mengungkapkan, peristiwa bermula ketika putranya yang masih berusia 17 tahun itu mengalami kecelaaan di daerah Margorejo, Tempel, Sleman, pada 29 April 2016. Kecelakaan melibatkan Andika dan seorang anggota polisi di wilayah Polres Sleman berinisial E. Karena E merasa tidak terima dengan kecelakaan yang menyebabkan dirinya mengalami luka-luka, ia menghubungi istri dan adik iparnya yang juga anggota kepolisian Polda DIY berinisial BKP.
Saat tiba di lokasi kejadian, istri E memaki Andika dengan tuduhan mabuk, sedangkan BKP diduga melakukan penganiayaan dengan menempeleng kepala belakang Andika hingga memar dan mengalami pembekuan darah di bagian otak korban.
Bocah malang yang sebelumnya sempat dilarikan ke RSUD Sleman itu pun akhirnya dirujuk ke RS Bethesda untuk mendapatkan penanganan medis lebih lanjut hingga nyawanya tak terselamatkan, pada 2 Mei 2016.
“Kami ingin meminta keadilan karena anak kami meninggal secara tidak wajar,” ucap Subandi kepada wartawan di kantor LBH Yogyakarta.
Kuswanto, paman korban juga menambahkan, awalnya keluarga pelaku penganiayaan sempat mengajak penyelesaian secara damai, dengan memberikan uang duka kepada keluarga Andika sebesar Rp 700 ribu. Namun, tawaran tersebut tidak diterima. Menurut Kuswanto, uang duka itu diserahkan oleh istri E kepada keluarga Andika di rumah tetangga korban, dengan disaksikan sejumlah perangkat desa setempat, setelah mengetahui Andika meninggal dunia.
Sementara Emanuel Gobay dari perwakilan LBH Yogyakarta menganggap, pihak kepolisian tidak serius dalam menuntaskan kasus penganiayaan anak yang berujung maut tersebut.
Itu terlihat, sebut pria yang akrab disapa Edo ini, dengan penggunaan pasal 352 KUHP atau penganiayaan ringan sebagai ancaman pidana bagi pelaku yang notabene hanya tiga bulan penjara. Sementara akibat dari perbuatan pelaku, korban meninggal dunia.
Semestinya, kata Edo, penyidik mengenakan pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman pidana maksimal tujuh tahu penjara, serta mengacu ada Undang-Undang Perlindungan Anak. (Rep-03/Ed-03)