Kekerasan Seksual Dominan di DIY

Diskusi tentang Sinergitas bersama untuk Penghapusan Kekekrasan terhadap Anak dan Perempuan di DIY yang digelar di Kompleks Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, Senin (4/4/2016). (Sutriyati/kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com)- Terbitnya Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Perda tentang Perlindungan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di DIY, tak serta merta menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan kekerasan terhadap mereka, khususnya kekerasan seksual. Bahkan, anggota Komisi X DPR RI dari Dapil DIY, Esti Wijayati menyebut bahwa tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak kian meningkat dari waktu ke waktu.

Bacaan Lainnya

Hal itu diungkapkan Esti dalam Diskusi tentang Sinergitas bersama untuk Penghapusan Kekekrasan terhadap Anak dan Perempuan di DIY yang digelar di Kompleks Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, Senin (4/4/2016).

“Kekerasan seksual yang tidak menunjukkan angka penurunan itu bisa jadi karena dulu tidak banyak yang berani melapor,” kata mantan anggota DPRD DIY ini.

Selain itu, kehadiran berbagai produk kebijakan tersebut masih membuka celah terjadinya kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, karena belum adanya perlindungan yang menyeluruh. Di sisi lain, pemahaman masyarakat juga belum terbangun dengan baik, terutama ketika mereka dihadapkan pada persoalan tersebut.

“Masyarakat umumnya tidak paham harus mengadu ke mana,” sesalnya.

Sari Murti Widiyastuti selaku Ketua Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK) DIY memaparkan, berdasarkan data tahun 2015, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mendominasi kasus yang terjadi DIY. Parahnya, kekerasan justru banyak terjadi pada perempuan yang dalam status pernikahan atau dengan kata lain tergolong KDRT, dan mayoritas dialami oleh mereka yang tidak mandiri secara ekonomi.

Data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) hingga bulan Maret 2016, lanjut Sari Murti, juga menunjukkan bahwa 42 persen kasus kekerasan seksual dialami anak-anak.

“Populasi perempuan memang terbanyak, tetapi belum cukup berperan besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena banyak perempuan yang terganggu situasi pada pribadinya,” jelas pengurus Rekso Diah Utami Yogyakarta ini.

Hal itu, menurutnya, tidak lepas dari masih biasnya penegakan hukum untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya, karena keterbatasan kapasitas aparatnya.

Sementara Peneliti dari Parahita Institute, Suharsih berpendapat bahwa ada korelasi budaya patriarki dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak ini.

Pihaknya menuturkan, budaya patriarki yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan cenderung menguasai kaum hawa sehingga rentan mengalami kekerasan.

Lebih dari itu, lanjut Suharsih, lahirnya berbagai perda yang diskriminatif terhadap perempuan juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait