Ilustrasi (dok. pexels)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pengamat Ekonomi dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jaka Sriyana berpendapat bahwa kenaikan harga-harga pangan akhir-akhir ini disebabkan oleh beberapa faktor. Satu diantaranya, tidak lepas dari adanya konflik Rusia – Ukraina.
Jaka menyebut, setidaknya ada lima faktor yang memengaruhi kenaikan harga pangan di Indonesia saat ini. Pertama, pencabutan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng, serta peningkatan bahan bakar rumah tangga (BBRT).
“Kedua, peningkatan harga emas yang dijadikan instrumen investasi aman atau safe haven instrument yang berbarengan dengan ketidakpastian di pasar keuangan akibat konflik Rusia dan Ukraina,” jelas Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan UII ini melalui pernyataan tertulisnya kepada kabarkota,com, Selasa (5/4/2022).
Ketiga, kenaikan harga pangan juga disebabkan oleh peningkatan permintaan sebagai efek dari pelonggaran PPKM yang meningkatkan mobilitas masyarakat dan perputaran uang. Keempat, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax juga berdampak pada harga-harga pangan. Kelima, pemberitaan tentang Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 juga membawa dampak psikologis pada masyarakat sehingga turut meningkatkan permintaan.
Lebih lanjut pihaknya mengatakan, peningkatan harga pangan akan berdampak pula pada tingkat inflasi sehingga pendapatan riil masyarakat menurun. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah perlu mengantisipasi dengan mempercepat realisasi belanja yang berdampak langsung pada masyarakat.
“Bank Indonesia perlu mengantisipasi dengan kebijakan moneter yang selektif pada kredit konsumsi,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DIY, Budiharto Setyawan menyampaikan, kelompok harga pangan yang bergejolak (volatile food) menjadi salah satu pendorong inflasi di DIY, selain kelompok harga yang diatur pemeirntah (administered prices), dan kelompok inflasi inti (core inflation).
Budiharjo menjelaskan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) DIY pada Maret 2022 tercatat 0,77 persen (mtm). Dengan capaian tersebut, maka secara tahunan inflasi DIY pada 2022 berada di level 2,95 persen (yoy) atau masih sejalan dengan sasaran inflasi yang ditetapkan sebesar 3±1 persen (yoy).
“Kelompok volatile food yang memberikan andil inflasi terbesar berasal dari komoditas telur ayam ras yakni, 0,12 persen (mtm) terhadap inflasi bulanan, setelah dua bulan berturut-turut mengalami deflasi,” paparnya dalam siaran pers, 1 April 2022.
Peningkatan harga telur ayam ras itu, menurutnya disebabkan oleh peningkatan permintaan seiring dengan pencairan bantuan BPNT dan PKH. Selain itu, menjelang Ramadhan harga komoditas telur ayam juga secara historis mengalami kenaikan. Berdasarkan PIHPS, rata-rata harga telur ayam ras di DIY pada Maret 2022 mencapai Rp24 ribu per kg, atau lebih tinggi dibandingkan Februari 2022 yang mencapai Rp20,8 ribu per kg.
Kenaikan harga minyak goreng juga menyumbang kenaikan inflasi DIY yang didorong oleh relaksasi HET (Harga Eceran Tertinggi) minyak goreng, sesuai Permendag Nomor 11 tahun 2022 yang berlaku Per 16 Maret 2022.
“Kebijakan HET kini hanya berlaku untuk minyak goreng curah, yakni Rp 14.000/Liter atau Rp 15.500/kg meningkat dibandingkan ketentuan sebelumnya yakni Rp 11.500/liter,” sebutnya.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan juga menetapkan harga jual minyak goreng kemasan sesuai dengan harga keekonomiannya untuk mengurangi kelangkaan minyak goreng, khususnya di toko ritel modern. Sedangkan untuk pasokan beras cenderung melimpah akibat siklus panen raya di sentra-sentra produksi pada akhir triwulan I sehingga relatif mengalami penurunan harga secara temporer, dan berangsur-angsur akan mengalami normalisasi pasca berakhirnya panen raya. “Stok beras DIY kini berada pada level yang sangat cukup untuk kebutuhan Ramadhan dan Lebaran,” tegas Budiharjo.
Pengamat Ekonomi UMY: Penyebab Kenaikan Harga di Bulan Ramadhan sangat Kompleks
Di lain pihak, Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Ma’ruf juga menilai bahwa kenaikan harga-harga komoditas pangan yang hampir bersamaan akhir-akhirini penyebabnya sangat kompleks dan multisumber, terlebih di bulan Ramadhan.
Ma’ruf menjelaskan, jika di hari biasa sebelum Romadhan, kenaikan harga itu dipicu oleh aktor produksi, misalnya kenaikan harga minyak domestik yang dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak internasional, maka di bulan ramadhan, faktornya lebih kompleks karena permintaannya juga naik.
“Setiap tahun di bulan Ramadhan dan Syawal, permintaan hampir semua bahan pokok dan transportasi meningkat sehingga ini menjadikan masyarakat menanggung beban ganda,” sebutnya.
Terlebih, kata dia, selain kenaikan harga bahan pangan juga terjadi kenaikan PPN, dan harga BBM Pertamax dalam waktu yang hampir bersamaan.
“Kenaikan pajak PPN itu sebenarnya di luar bahan pokok, tetapi biasanya itu menstimulus harga barang lainnya juga ikut naik, meskipun tidak kena PPN, seperti sembako,” tutur Ma’ruf.
Selain itu, faktor harga energi global yang naik juga menjadi keprihatinan bersama, dan harus disikapi oleh pemerintah dengan hati-hati. Sebab jika tidak, maka dampak buruknya bisa memicu ketidakpercayaan publik yang sangat mungkin larinya ke persoalan politik praktis, sebagaimana yang sekarang terjadi di Sri Lanka.
“Harga energi, baik di Amerika maupun Eropaa naik semua sehingga mau tidak mau Indonesia juga menaikkan harga pertamax. Saya kira itu bisa merembet ke harga LPG dan juga pertalite yang kemudian juga akan naik,” sambung Ma’ruf.
Selama ini, menurut Ma’ruf, Indonesia masih mengandalkan pemenuhan BBM dan energi dari produk impor. Sementara produk dalam negeri yang kualitasnya relatif lebih bagus diekspor untuk mendapatkan devisa yang harapannya bisa menutup biaya impor untuk kebutuhan dalam negeri.
“Indonesia perlu mendapatkan sumber produsen yang bisa dibeli dengan harga murah karena sebenarnya harga termurah itu dari Rusia, tetapi menjadi masalah karena sekarang terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina sehingga menjadikan ketidakpastian pada bisnis internasionalnya,” terang Ma’ruf.
Di sisi lain, Ma’ruf menduga, adanya permainan harga minyak, khususnya minyak goreng saat ini karena adanya kartel yang rakus dan aji mumpung dengan memanfaatkan situasi internasional, dengan dalih harga domestik mengikuti harga global sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Oleh karena itu, negara harus memiliki keberanian untuk menindaklanjuti adanya dugaan kecurangan tersebut, dengan melakukan penelusuran hingga mendapatkan bukti bahwa permainan harga minyak di Indonesia itu terjadi karena kartel. Ini menjadi tugas penting bagi KPPU, dan kepolisian.
Sementara terkait dengan efektivitas operasi pasar dalam menstabilkan harga, Ma’ruf justru menilai hal itu sangat kecil kemungkinannya, karena kebutuhan masyarakat yang sangat besar tidak seimbang dengan operasi pasar yang digelar dalam jumlah terbatas. Dengan kata lain, meskipun operasi pasar menjadi program stabilisasi harga ebutuhan barang pentingn dan strategis, namun penerapannya tidak akan menyelesaikan persoalan.
“Kalau Pemda tidak mungkin akan melakukan intervensi harga. Oleh karena itu, perlu memastikan distribusi dengan melakukan pemantauan. Ketika terjadi kejahatan, misalnya penyalahgunaan distribusi maka itu menjadi tugas Pemda melalui aparat keamanan untuk melakukan operasi penegakan peraturan,” harapnya. (Rep-01)