YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Kesaksian Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X di Mahkamah Konstitusi tentang frasa istri dalam syarat dan ketentuan administrasif calon gubernur dan calon wagub, yang dinilai tidak lazim, menuai protes dari Forum LSM DIY.
Ketua Forum LSM DIY, Beny Susanto mengaku sangat menyayangkan dan menyesalkan keterangan gubernur tersebut. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan posisi, jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai pejabat publik, Gubernur DIY, bukan semata Raja Kraton Ngayojokarto Hadiningrat sehingga patut diduga melanggar azas kepatuhan dan kepatutan.
“Gubernur merupakan eksekutif daerah, pelaksana UU, bukannya condong kepada pemikiran, pendapat pemohon yang hendak mengubah UUK, menjauhi paugeran,” ungkap Beny dalam rilisnya, Jumat (18/11/2016).
Di sisi lain, kata Beny, menilik proses legislasi UUK DIY yang dinamis, dan demokratis, apa yang disampaikan gubernur mencerminkan inkonsistensi dan tidak lazim. Dalam bahasa sederhana, UUK merupakan produk dari akomodasi proses politik nasional yang melibatkan rakyat Yogyakarta, DPRD DIY, Pakualam dan bukan semata Kraton.
Oleh karena itu, menurut Beny, hal yang sepatutnya dilakukan adalah bagaimana aturan turunan UUK, agar implementasi UUK yang berbasis tradisi, nilai-nilai luhur dan paugeran bisa dirasakan manfaatnya bagi kesejahteraan warga.
“Dalam kajian dan penelusuran Forum LSM DIY selama setahun terakhir, jika MK mengabulkan gugatan tersebut berpotensi melahirkan krisis keistimewaan di Yogyakarta,” ungkapnya.
Beny menambahkan, UU No. 12 Tahun 2013 merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur, tradisi, paugeran dan sejarah Ngayojokarto Hadiningrat, di mana rakyat Yogyakarta, Sultan dan Pakualam bersatu padu yang kemudian mendapatkan konsensus politik melalui DPR RI.
(Ed-01)