Ilustrasi (dok. istimewa)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Suasana di sekitar jalan Wonosari KM 11-12 Yogyakarta, atau tepatnya di wilayah Banguntapan, Bantul, Minggu (7/5/2017) petang terasa mencekam. Aparat kepolisian bersama warga tampak berjaga-jaga di sejumlah titik.
Sementara di titik lain, masih terdengar keributan hingga ledakan yang membuat panik para pengguna jalan.Ditambah lagi sekelompok remaja yang sengaja memadati lajur jalan dengan motor mereka sembari menggenggam tongkat pemukul.
Mereka adalah bagian dari supporter sepak bola yang tak hanya menghadang supporter dari klub lain, tetapi juga menyerang aparat keamanan, hingga merusak fasilitas Negara, berupa kendaraan patroli milik polisi secara brutal.
Pemandangan miris seperti itu, hanya satu dari sekian peristiwa kekerasan yang terjadi di kota dengan julukan Kota Pelajar, dan pelakunya sebagian diketahui juga masih berstatus siswa dan mahasiswa.
Seorang warga Yogyakarta, Nunung kemudian berujar, “Malu rasanya, katanya kota Pelajar kok beritanya tawuran dan tawuran,”. Ungkapan keprihatinan yang bukan tidak mungkin juga terbesit di benak masyarakat lainnya.
Ada apa sebenarnya dengan pendidikan kita sehingga generasi terdidik yang semestinya cerdas dan berkarakter, justru tak sedikit yang menjadi agresif hingga mudah melakukan tindak kekerasan?
Pengamat pendidikan dari Universitas Islam (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Khamim Zarkasih Putro, dalam penelitian untuk disertasi bertajuk “Agresivitas Pelajar di Kota Yogyakarta: Studi Kasus di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta”, menyimpulkan bahwa kepemimpinan orang tua dalam keluarga mempengaruhi perilaku agresif anak-anak.
Menurutnya, perilaku agresif adalah perilaku yang menyakiti orang lain secara fisik maupun mental yang dianggap sebagai mekanisme untuk melepaskan energi destruktif. Sekaligus, sebagai cara untuk melindungi stabilitas intrafisik pelaku.
“Orang tua yang keras dan kaku (pada anak) itu memang memberikan kontribusi yang besar terhadap perilaku anak yang melawan. Anak cenderung merasa eksistensinya tak diakui, kurang dihargai, kemudian mereka ekspresikan di luar rumah,” jelas Khamim kepada kabarkota.com.
Selain itu, sistem pendidikan sekolah yang padat dan kurangnya waktu istirahat dianggap memberatkan siswa sehingga membuat anak-anak mudah penat. Apalagi mereka yang menempuh pendidikan di boarding school.
“Belum lagi kondisi sekolah yang kadang tidak kondusif. Kuncinya ya di kepala sekolah. Kalau berwawasan ke depan, setidaknya bisa mengurangi ketegangan-ketegangan di lingkungan sekolah,” anggapnya.
Karenanya, pembinaan karakter anak yang dibangun dari pendidikan di rumah menjadi penting untuk membentengi anak-anak agar tidak terlibat dalam kekerasan pelajar.
Sementara Wakil Bupati Sleman, Sri Muslimatun juga berpendapat bahwa keluarga memiliki peranan penting dalam pendidikan karakter bagi anak sejak usia dini. Karena, keluarga sebagai institusi terkecil di masyarakat.
“Ketika keluarga baik, berkualitas, maka Insya Allah masyarakatnya juga akan berkualitas baik,” ucapnya.
Berkualitas baik itu, lanjut Sri, berkarakter cerdas, terampil, berbudaya, bertaqwa, sopan, dan santun yang semuanya harus dimulai dari keluarga masing-masing.
“Kithih itu juga budaya, tapi bukan budaya adiluhung. Budaya adiluhung itu artinya, mampu menempatkan diri, kapan ia bertahan, kapan harus mnyerang, dan tahu secara persis bagaimana cara menyerangnya,” tegas Wabup. (Rep-03/Ed-03)