Ilustrasi. (Sumber: rizalatigayo.wordpress.com)
Oleh: M. Faried Cahyono
Pemimpin Umum kabarkota.com
Seorang tetua suku di wilayah Kabupaten Wamena, Pegunungan Tengah, Papua, bercerita kepada anak-anak muda suku dalam sebuah acara perkabungan bagi satu tetua suku yang baru saja wafat. Pada anak-anak muda dan warga lainnya, tetua suku ini menceritakan bahwa nasib suku sudah digariskan. Bahwa sudah dan akan datang berbagai bangsa membawa perubahan.
Berbagai bangsa memang sudah datang. Ketika Nusantara masih dalam bentuk kerajaan-kerajaan, utusan-utusan raja-raja sudah datang ke Papua. Juga kemudian bangsa Eropa, dan kemudian negara Merah Putih Indonesia pun datang dengan didahului pertanda. Pemahaman tentang siapa yang akan datang dan kemungkinan pengaruhnya atas suku, dituturkan dari generasi ke generasi oleh para tetua, agar anak-anak muda suku bersiap menyesuaikan diri. Dituturkan pula, akan ada penderitaan yang terjadi. Sedikit atau banyak. Tetapi, dipastikan, penderitaan apapun yang diakibatkan oleh pendatang dan dan zaman baru yang dibawanya, akan mampu diterima oleh suku-suku.
Yang tidak akan mampu ditahan dan akan menjadikan suku di wilayah Pegunungan Tengah punah, kata tetua suku ini, adalah apabila gunung-gunung runtuh. Tetapi, kapan gunung-gunung akan runtuh? Para tetua tidak tahu, namun hanya itu yang belum terjadi. Pertanda yang lain, sudah dibuktikan.
Saya mendengar cerita ini, sekitar 5 tahun lalu, dari seorang perwira pertama polisi yang kebetulan masih memiliki hubungan kerabat dengan tetua suku yang bercerita itu. Ia hadir di acara perkabungan tersebut. Kami sedang ada tugas pelatihan untuk polisi yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP-UGM), bekerjasama dengan Pemerintah dan Kepolisian New Zaeland.
Saya tentu saja terhenyak, merasakan kepiluan yang sangat, mestipun sesaat. Secara singkat bisa dijelaskan, bahwa perubahan sosial yang deras di Papua, tumpuk undung antara kedatangan orang dan teknologi, telah membuat suku-suku asli yang tidak siap dan tidak dipersiapkan menderita.
Warga Papua yang ada di pesisir, bisa dikatakan, relatif bisa menyesuaikan diri. Bahkan ada yang mengatakan, mereka sudah setara dengan para pendatang dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan wilayah Indonesia lain. Banyak yang menjadi pejabat di Jakarta, jendral, politisi, mentri, pengusaha, juga intelektual dan profesi lain. Tapi, yang di pedalaman seperti Pegunungan Tengah, diyakini masih kesulitan melakukan penyesuaian. Bahkan ada yang menilai, mereka hidup masih di jaman batu.
Saya sempat mendiskusikan soal ini dengan dua orang kawan polisi Selandia Baru yang juga menjadi fasilitator waktu itu. Saya tanyakan, apakah suku Maori di Selandia Baru juga memiliki vision atau pertanda sejenis ketika Eropa datang? Lantas bagaimana mereka menyiapkan diri?
Saya ceritakan juga, bahwa saya sebagai orang Jawa mendapat cerita dari mistis berbau ramalan dari kakek saya. Kakek mendapat cerita dari kakeknya. Bahwa akan ada kreata ing angkasa (kereta yang bisa terbang) seperti tokoh tokoh wayang gatotkaca, pulau Jawa akan berkalung besi (kereta api) dan orang akan menyaksikan ada air (es) digotong dengan keranjang rumput. Kemudian generasi-generasi muda di Jawa waktu coba dipersiapkan untuk menyambut jaman baru yang membahayakan itu. Ketika masa itu datang, Jawa dan juga banyak wilayah nusantara yang lain, ditandai dengan penjajahan. Persiapan menghadapi jaman baru, tak selalu mencukupi.
Saya waktu itu paham, bahwa tak akan cukup persiapan bagi anak-anak muda Papua itu, meskipun para tetua suku sudah memberitahukannya, jika datang perubahan yang lebih besar lagi yang menjadikan “gunung-gunung runtuh”.
Kawan polisi saya bercerita, di awal kedatangan Eropa ke New Zealand, perubahan yang membuat suku pribumi menderita juga terjadi. Orang Eropa waktu itu menipu pribumi Maori, dengan mengatakan bahwa mereka membutuhkan lahan seluas babi digembala. Itulah yang kemudian terjadi. Suku pribumi tak mengira bahwa babi yang dilepas akan meliputi semua tanah milik Maori, dan beralih lah tanah dengan cara perampasan. Catatan buruk yang dilakukan orang Eropa atas Maori di Selandia Baru itu, dengan jujur diungkapkan oleh kawan polisi itu. Dia meyakinkan saya, bahwa pemerintah Indonesia memiliki kesempatan untuk berbuat lebih baik terhadap pribumi Papua, dibanding pensikapan orang Eropa atas Maori dan pribumi-pribumi lain waktu itu.
Tentu saja kemudian ada usaha untuk mengangkat nasib orang pribumi di New Zealand, diantaranya karena desakan kalangan intelektual, juga agamawan. Di wilayah jajahan Belanda di Nusantara dulu ada politik etis, untuk memperbaiki nasib pribumi. Sebagian generasinya Sukarno-Hatta, adalah salah satu produk politik ini.
Cerita ini saya sampaikan berkait erat dengan rencana pemerintah Indonesia terkini. Presiden Jokowi sudah berpidato Forum APEC, di Beijing, 10 November 2014, yang dilanjutkan dengan diskusi dengan beberapa kepala negara besar di forum G-20 di Australia. Jokowi dan timnya, sudah menyampaikan rencana pembangunan Indonesia kepada para kepala negara besar, dan mengundang mereka untuk melakukan investasi di seluruh wilayah utama Indonesia. Jaringan infrastruktur akan di bangun di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Transportasi yang efisien akan dibangun di kota-kota besar. Tol laut, kapal-kapal, juga tenaga listrik. Dan tentu saja multiplier efek akan terjadi.
Tetapi yang harus dicatat, rencana dan pelaksanaan pembangunan, dimana-mana selalu menciptakan dua akibat: Positif dan Negatif. Dalam bahasa ekonomi dikonsepkan sebagai eksternalitas. Akibat yang positif, adalah akibat yang diharapkan. Bahwa, rencana pembangunan sarana dan prasarana secara menyeluruh di Indonesia, akan menyebabkan kemajuan. Jalan-jalan baru, kapal-kapal laut, kereta api, airport dengan lebih banyak pesawat, pelabuhan, dan fasilitas yang akan diadakan tentu saja akan mengundang para investor. Pekerjaan akan meningkat begitu banyak. Terjadi penyerapan tenaga kerja luar biasa. Angka-angkat agregat ekonomi akan meningkat drastis. Posisi ekonomi Indonesia bisa saja meningkat dari yang hanya nomor 16-20an saat pemerintahan Presiden SBY, akan melesat menuju urutan angka ke 10, bahkan bisa naik ke normor urut 5 hingga 7 dunia, hanya dalam beberapa tahun ke depan. Semua ini amat mungkin dengan perpindahan modal tersebut, juga karena adanya tenaga kerja terampil di Indonesia. Alam alam Indonesia juga masih kaya sumberdaya.
Tapi, semua kebijakan pemerintah, tindakan swasta dalam ekonomi, juga tindakan kelompok dan pribadi-pribadi dalam produksi dan konsumsi, yang terakumulasi dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan, akan menciptakan pula dampak negatif. Manusia-manusia yang tidak siap akan tersingkir. Lingkungan akan rusak. Makhluk lain penghuni bumi akan terdampak bahkan punah.
Sebelumnya sudah kita saksikan, penambangan baik mineral maupun migas tanpa kendali, penanaman pohon sejenis seperti sawit tanpa batas, pembangunan sarana dan prasarana dan kegiatan ekonomi lain, mematikan sektor pertanian yang menyerap lebih banyak tenaga kerja. Budaya hancur, memenderitakan rakyat yang tak mampu menyesuaikan diri.
Karena itu, jika pembangunan sebagaimana diinginkan oleh pemerintahan Jokowi dilanjutkan, maka ada dua soal yang harus diperhatikan dalam perencanaan. Pertama, dari sisi ekonomi dan bisnis adalah bagaimana perencanaan pembangunan yang terjadi, menguntungkan bangsa Indonesia dengan rakyatnya, lebih dari kepentingan pemodal dan bangsa-bangsa asing. Soal ini menjadi sebuah tantangan besar. Karena jika gagal, Indonesia lebih dalam dalam penjajahan modal. Kedua, menyiapkan rencana bagi rakyat di lapis paling bawah, diantaranya suku Papua di Pegunungan tengah itu, dan juga rakyat yang lain, agar mereka terselamatkan. Saya tentu saja akan bahagia, jika kalangan terpelajar Indonesia baik yang ada di pemerintahan maupun di luar pemerintahan, baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung pemerintah, untuk memikirkan hal ini secara serius, sekaligus mencari jalan pemecahan bersama. ****