Ilustrasi: Aksi tolak Omnibus Law di Yogyakarta (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pada tanggal 4 – 5 Oktober 2021, sejumlah organisasi buruh menggelar Kongres Partai Buruh ke-IV di Jakarta. Salah satu hasilnya, mereka sepakat akan membangkitkan kembali Partai Buruh yang harapannya bisa masuk dalam kontestasi Pemilu pada 2024 mendatang. Dalam kongres tersebut, Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI), Said Iqbal terpilih sebagai Presiden Partai Buruh, periode 2021-2026.
Menurut Iqbal sebagaimana disampaikan melalui berbagai media, pada 5 Oktober 2021, Partai Buruh sekarang setidaknya mendapatkan dukungan dari 11 organisasi serikat pekerja. Antara lain para pendiri Partai Buruh lama, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Organisasi Rakyat Indonesia (ORI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan (FSPKEP), Federasi Serikat Pekerja Farmasi Kesehatan (FSB Farkes), Forum Pendidik Tenaga Honorer dan Swasta Indonesia (FPTHSI), serta Gerakan Perempuan Indonesia (GPI).
Pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang mereka sebut sebagai kekalahan perjuangan para buruh menjadi salah satu alasan diaktifkannya kembali Partai Buruh. Mereka ingin aspirasi yang diperjuangkan tidak hanya disuarakan di jalanan melalui aksi-aksi demonstrasi, tetapi juga terdengar gaungnya di dalam gedung DPR, melalui keterwakilan di parlemen, mengikuti jejak Partai Buruh Nasional (PBN), pada 1998 – 2004 lalu.
Dengan target lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Parliamentary Threshold (PT) pada Pemilu 2024 mendatang, Partai Buruh pimpinan Said Iqbal bergerak cepat dengan membentuk Executive Committee (Exco) Partai Buruh di tingkat Nasional dan Daerah, termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Melalui keterangan pers 6 Oktober 2021, Ketua Exco Provinsi Partai Buruh DIY, Ersad Ade Irawan mengklaim bahwa di DIY telah terbentuk kepengurusan Partai Buruh di Provinsi, yakni lima kepengurusan di empat Kabupaten dan satu Kota, serta 50 persen kepengurusan di tingkat Kecamatan.
“Exco Provinsi Partai Buruh DIY akan segera memperjuangankan Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP), 13 Platform Perjuangan Partai Buruh,” tegas Ersad yang juga Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPD KSPSI) DIY ini dalam pernyataan tertulisnya, 6 Oktober 2021.
Ketiga belas platform yang dimaksud, yakni: 1) kedaulatan rakyat; 2) lapangan kerja; 3) pemberantasan korupsi;
4) jaminan sosial; 5) kedaulatan pangan, ikan dan ternak; 6) upah layak; 7) pajak yang berkeadilan untuk kesejahteraan rakyat; 8) hubungan industrial; 9) lingkungan hidup, HAM, dan masyarakat adat; 10) perlindungan perempuan dan anak; 11) pemberdayaan penyandang disabilitas; 12) perlindungan dan pengangkatan status PNS untuk guru dan tenaga pendidik honorer, serta peningkatan kesejahteraan mereka; dan13) memperkuat koperasi dan BUMN bersama swasta sebagai pilar utama perekonomian.
Ketidak-kompakan Muncul antar Serikat Pekerja di DIY
Di lain pihak, terbentuknya Exco Provinsi Partai Buruh DIY ini justru memunculkan kekecewaan Serikat Pekerja (SP) lainnya, yakni Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Korwil DIY dan juga KSPSI DIY kubu Ruswadi yang kemudian menyatakan sikap penolakan secara tegas.
“Kami bukan menolak atau tidak mendukung Partai Buruh. Tentu adanya partai ini baik untuk rekan pekerja dan buruh di Indonesia. Hanya saja kami memilih tak akan terlibat dulu,” tegas Ketua SBSI Korwil DIY, Dani Eko Wiyono, saat menggelar konferensi pers di Sleman, pada 29 Oktober 2021.
Menurutnya, Surat Keputusan (SK) Exco Partai Buruh DIY tersebut tidak beres. Mengingat, sebelum SK penetapan turun, pada awal Oktober, pihak Ersad telah menyatakan diri sudah terpilih sebagai Ketua atau Exco Provinsi DIY. Selain itu, pihaknya juga menduga, penetapan SK untuk Exco Partai Buruh DIY tidak ada kejelasan, dan sejak awal pemilihannya sudah disiapkan.
“Kami sangat menyayangkan cara-cara sesama serikat buruh yang tidak beretika itu,” terang Dani. Pihaknya mensinyalir, adanya potensi persekongkolan antara di tingkat pusat yang semestinya itu tidak terjadi.
Kekecewaan juga dilontarkan Ketua KSPSI DIY kubu Ruswadi yang menganggap perlu adanya keterbukaan antara Exco Nasional Partai Buruh dengan Exco Provinsi di tengah persoalan tersebut. Sebagai bentuk protes tersebut, Dani yang dalam kepengurusan tercantum sebagai Sekretaris, dan Ruswadi sebagai Wakil Ketua akan mengundurkan diri dari kepengurusan Exco Partai Buruh DIY.
“Jadi kami tidak menolak partai, namun akan terus berjuang untuk buruh dengan cara lain,” ucapnya.
Exco Provinsi Partai Buruh DIY Angkat Bicara
Menanggapi kekecewaan tersebut, Ersad selaku Ketua Exco Provinsi Partai Buruh DIY menyatakan bahwa pihaknya menghormati keputusan SBSI Korwil DIY dan KSPSI Kubu Riswadi yang tidak ingin terlibat dalam kepengurusan.
“Pada prinsipnya keputusan tersebut adalah hak setiap organisasi atau serikat,” ucap Ersad kepada kabarkota.com, 31 Oktober 2021.
Hanya saja, Ersad juga membantah adanya tuduhan persekongkolan di tingkat exco nasional terkait dengan penyusunan kepengurusan di daerah, khususnya DIY.
“Sesuai dengan arahan Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, kepemimpinan Partai Buruh di tingkat provinsi didasarkan pada jumlah atau basis yang dimiliki oleh organisasi pendiri, maka secara pasti, ORI-KSPSI DIY meyakini bahwa perwakilannya akan menjadi pimpinan,” paparnya.
Ersad juga menyatakan, pendiri Partai Buruh adalah Organisasi Rakyat-KSPSI yang dalam hal ini, DPD KSPSI DIY di bawah kepemimpinannya, bukan kubu Ruswadi. Verifikasi keanggotaan organisasi atau serikat pendiri partai buruh DIY ini juga dapat dilihat di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota. Selain itu, dirinya juga sebagai Ketua Organisasi Rakyat Indonesia DIY.
“Pada prinsipnya, kami mendukung SK Exco Nasional Partai Buruh tentang kepengurusan Partai Buruh DIY dan akan menyempurnakannya berdasarkan keterwakilan elemen pendiri partai buruh, serta verifikasi keanggotan,” kata Ersad.
Fragmentasi Gerakan Buruh, Kegagalan Partai Buruh “Masuk” Parlemen?
Berbicara tentang ketidak-kompakan antar SP seperti yang terjadi di DIY sebenarnya bukan hal yang baru terjadi dalam gerakan buruh. Fragmentasi gerakan buruh juga terjadi di negara-negara industri seperti Eropa sebagai impak dari ekonomi globalisasi neo liberal (Coe & Joodhus Lier, 2010). Misalnya, di Bulgaria. John Thirkell, Richard Scase & Sarah Vickerstaff (2005) menganggap, fragmentasi gerakan buruh merupakan konsekuensi masyarakat pasca otoriter.
Di Indonesia, gerakan buruh baik pusat maupun daerah mengejar dua kepentingan sekaligus, yakni kepentingan politik dan ekonomi. Padahal, menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional (Unas), Sigit Rochadi dalam jurnal bertajuk “Dualitas dalam Gerakan Buruh di Indonesia (2016), gerakan politik dan gerakan ekonomi itu seperti dua sisi mata uang. Artinya, gerakan buruh yang sangat bermuatan politik hanya memperjuangkan kepentingan elite buruh, tanpa memberi manfaat berarti kepada buruh secara luas. Begitu pun dengan gerakan yang menekankan pada aspek ekonomi akan sulit mencapai tujuan.
Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, Nanang Indra Kurniawan juga berpandangan bahwa kemunculan Partai Buruh di Indonesia cukup menantang, sebab tidak terjadi pada konteks sosial ketika industrialisasi sudah meluas, sabagaimana di negara-negara maju.
“Meskipun muncul proses industrialisasi di Indonesia, namun segmen buruh tidak cukup dominan dalam masyarakat sehingga ide-ide politiknya tidak cukup menyebar secara kuat. Apalagi dalam situasinya, tradisi politik aliran masih kuat dan sistem politiknya multipartai. Ideologi partai buruh belum cukup mampu menggeser posisi partai yang ada. Konteks semacam ini menurut saya akan menjadi tantangan Partai Buruh ke depan,” jelas Nanang kepada kabarkota.com, 5 Oktober 2021.
Belajar dari Kekalahan Gerakan Buruh di Korea Selatan
Gerakan buruh di Korea Selatan juga memiliki sejarah kegagalan, meskipun sempat diperhitungkan di parlemen. Anggota Komunitas Future Leader and Anti Corruption (FLAC) Indonesia, Dana Pratiwi dalam penelitiannya tentang “Strategi Politik Elektoral Gerakan Buruh di Korea Selatan (2004-2014)” mengungkapkan, pasca tahun 2004, strategi politik elektoral mereka cenderung tidak efektif. Hal tersebut terlihat dari penurunan jumlah perolehan kursi Partai Buruh di parlemen nasional.
Awalnya pada tahun 2000, gerakan buruh Korea Selatan yang tergabung dalam Korean Confederation of Trade Unions (KCTU) membentuk Korean Democratic Labor Party (KDLP).Ketika itu, Kwon Young Khil yang merupakan ketua KCTU terpilih sebagai pimpinannya. Pembentukan partai ini sebagai respon politik buruh akibat ketidakpuasan mereka akan sikap pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di tahun 1997. Kemudian di tahun 2004, gerakan buruh di bawah payung Federation of Korean Trade Union (FKTU) juga membentuk Green Social Democratic Party (GSDP). Meskipun ada dua partai representasi buruh di parlemen, namun keduanya memiliki kesamaan tujuan, yakni mermbawa kepentingan buruh dalam politik.
Mengacu pada studi Collins (2006) dan Yunjong Kim (2012) yang disebut dalam riset Pratiwi (2018), strategi politik elektoral gerakan buruh yang dalam hal ini direpresentasikan oleh partai buruh baru bisa dikatakan berhasil ketika hubungan antara gerakan buruh dan partai buruh saling terikat, struktur organisasi dalam internal partai kuat dan demokratis. Selain itu, partai juga dapat memperluas basis dukungan, terpilihnya kandidat-kandidat mereka dalam pemilihan umum, serta partai bisa mengakomodir kepentingan konstituennya, dan kelompok masyarakat sipil lainnya.
Sementara yang di Korea Selatan pasca 2004, menurut Pratiwi, justru sebaliknya. Bahkan KCTU sebagai pendiri KDLP tidak lagi menjadi aktor pada aktivitas utama partai. Puncaknya pada tahun 2007, terjadi puncak konflik faksi dalam internal partai karena adanya faksi National Liberation di bawah kepemimpinan Kwon Young Khil yang lebih fokus pada persoalan reunifikasi Korea Utara, dan mengutamakan agenda anti-Amerika (Juche Ideology). Selain itu, juga terdapat faksi People’s Democracy di bawah kepemimpinan Shim Sang-jeong yang lebih mengutamakan permasalahan kesejahteraan sosial dan kebebasan sipil di Korea Selatan.
Membaca Peluang Partai Buruh dalam Kontestasi Pemilu 2024
Dosen Fisipol UGM, Nanang Indra Kurniawan menilai, peluang bagi Partai Buruh untuk masuk dalam kontestasi Pemilu 2024 masing terbuka, meskipun cukup menghadapi tantangan. Pada dasarnya,kelompok buruh di Indonesia memiliki kekuatan untuk menggerakkan dukungan dan suara ke depan karena relatif terkoordinasi dan memiliki soliditas. Hanya saja, Partai Politik (Parpol) yang telah ada sekarang telah memiliki afiliasi dengan kelompok-kelompok buruh sehingga mereka juga memiliki kepentingan mempertahankan basis dukungan dari buruh. Artinya, segmen buruh juga menjadi target yang diperebutkan oleh banyak parpol. Parpol yang berkepentingan mendukung Omnibus Law tentunya akan menguatkan pengaruh politiknya ke buruh.
Dosen Fisipol Unas, Sigit Rochadi (2016) juga menjelaskan bahwa sebenarnya sejak awal kelahirannya, gerakan buruh di Indonesia adalah gerakan politik sebagaimana yang ditunjukkan oleh Vereeniging van Spooren en Tramweg Personeel (VSTP) atau Perhimpunan Pekerja Trem dan Kereta Api, Perkumpulan Bumiputera Pabean (PBP), Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB), dan Personeel Fabriek Bond (PFB) atau Himpunan Pekerja Pabrik yang berdiri
awal tahun 1900-an.
Mengutip pendapat Robinson (1986, dalam Rochadi, 2016), kuatnya watak politik gerakan buruh juga dipengaruhi oleh kapitalisme negara, serta jenis kapitalisme yang tumbuh dan berkembang di negeri ini. Bagi rakyat Indonesia, tidak ada hal lain yang telah memporak-porandakan struktur sosial-ekonomi selama satu abad terakhir, kecuali kapitalisme negara. Munculnya jenis kapitalisme ini memiliki arti penting, karena buruh menemukan lawan politik yang jelas akan menjadi salah satu lawan gerakan mereka sepanjang sejarah. (Rep-01)