Belasan warga dari tujuh wilayah di DIY-Jateng yang menolak tambang galian C mengadu ke Walhi Yogyakarta, Rabu (29/1/2020). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Belasan warga dari tujuh wilayah di DIY dan Jawa Tengah (Jateng), Rabu (29/1/2020) mengadu ke kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta.
Pengaduan mereka berkaitan dengan penolakan masyarakat atas tambang galian C di Wilayah Keposong (Boyolali), Sindumartani (Sleman), Kaliworo (Klaten), Keningar (Magelang), Gondosuli (Magelang), Manukan (Bantul), dan Karang (Bantul).
Salah seorang warga Dusun Manukan, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, DIY, Hidayat mengaku, sebagian warga menolak penambangan tersebut karena lahan penambangannya berada sekitar tempat warga menggantungkan mata pencaharian mereka, sekaligus sebagai lahan hijau.
Namun pihaknya juga menyesalkan, karena panitia yang mendukung adanya penambangan di wilayahnya justru seorang tokoh agama, dan dukuh setempat.
“Warga yang menolak ada sekitar 100 Kepala Keluarga,” sebut Hidayat.
Menurutnya, dalam sosialisasi pertama untuk mendapatkan izin penambangan, yang diundang hanya warga yang pro terhadap penambangan. Sementara pihak yang kontra tidak dilibatkan, sehingga pihaknya sempat menggugat Dinas Perizinan (Dinzin), kemudian digelar sosialisasi kedua yang melibatkan sebagian kecil warga yang keberatan. Namun, pihaknya menganggap, respon dari Dinzin tak sesui dengan harapan mereka.
Menanggapi aduan tersebut, Direktur Walhi Yogyakarta, Halik Sandera berpendapat bahwa masifnya praktik tambang galian C di wilayah DIY dan Jateng ini tak lepas dari kebijakan pemerintah terkait Proyek Strategis Nasional yang mengutamakan pembangunan infrastruktur sehingga tak hanya menggusur tanah-tanah warga, akan tetapi juga mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) di sekitarnya. Salah satunya, material pasir.
“Tambang galian C masif karena berkaitan dengan sektor pembangunan di perkotaan,” tegasnya.
Halik juga menilai, meskipun dokumen perizinan tambang di sebagian wilayah tersebut telah dikantongi, namun pihaknya mensinyalir prosesnya sarat dengan manipulasi data.
Padahal, ancaman kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir dan batu yang masif itu dapat menngakibatkan penurunan muka air tanah sehingga berpotensi warga di sekitarnya akan mengalami krisis air bersih. Di samping itu juga lokasi sekitar area tambang menjadi rawan longsor.
Terkait rencana tindak lanjut, Halik memambahkan, masing-masing wilayah kasusnya berbeda, sehingga strategi advokasinya juga akan disusun sesuai dengan persoalan masing-masing. (Rep-01)