Kisah Pilu Sri Rahayu, Lansia Difabel yang Tinggal di Pinggir Rel Bong Suwung demi Bertahan Hidup

Sri Rahayu, salah satu lansia difabel yang tinggal di Bong Suwung. (kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Perempuan Lanjut Usia (Lansia) berbaju biru motif bunga-bunga dengan celana pendek warna hitam putih dan tanpa alas kaki, duduk di kursi roda yang jaraknya hanya beberapa meter saja dari rel Kereta Api (KA) di Area Bong Suwung, sisi Barat Stasiun Besar Yogyakarta.

Hari Jumat (27/9/2024) siang itu, di atas kursi roda, dia memintal kabel panjang berwarna coklat metalik yang ia dapat dari sebuah televisi rusak dan sedang dibenahi pria yang ia panggil
‘Bapak’. Sesekali terdengar deru Kereta Api yang melintas pelan dari arah stasiun Kota Yogyakarta maupun sebaliknya.

Lansia yang kini berusia 65 tahun itu adalah Sri Rahayu. Orang-orang di Bong Suwung sering memanggilnya Yayuk untuk membedakan namanya dengan perempuan lain di sana, yang memiliki kesamaan nama dengannya.

Sejak empat tahun terakhir, kaki Yayuk lumpuh setelah menjalani operasi di pergelangan kaki bagian kanan.

“Awalnya, sakit tulang keropos. Kulit saya melepuh seperti kena air panas. Kemudian, saya dibawa ke Rumah Sakit, tetapi yang dioperasi di sini (pergelangan kaki kanan) dan setalah itu saya tidak bisa berjalan,” ungkap Yayuk sembari menunjukkan bekas operasi di kakinya.

Karena kondisinya itu, Yayuk tidak bisa lagi beraktifitas normal. Bahkan, pernah beberapa kali ia terpaksa mengesot untuk bisa sampai ke kampung sebelah, karena sulitnya akses jalan untuk kursi roda di pinggiran rel KA.

“Terkadang, saya dibopong oleh anak-anak di sini sampai ke tempat saya bisa menggunakan kursi roda,” ucap Yayuk.

Yayuk mengaku terpaksa tinggal di Bong Suwung karena hidupnya sebatang kara, setelah berpisah dari suaminya pada tahun 2000 silam.

Namun Yayuk bercerita bahwa sebelumnya, ia pernah tinggal lama di Bon Suwung sebelum dipinang oleh pria dan diajak tinggal di Jawas Timur. Pertama kali Yayuk hidup di Bong Suwung tahun 1979. Ketika itu, usianya masih sekitar 20 tahun. Kemudian pada tahun 1988, ia menikah dan tinggal di Jawa Timur hingga Tahun 2000.

“Saya tidak punya saudara. Saya hanya sendirian. Saudara-saudara dari ibu juga sudah tidak mengurusi selama bertahun-tahun sehingga saya memilih tinggal di sini,” ucapnya lagi.

Menurutnya, Bong Suwung menjadi tempat ternyaman baginya saat ini. Mengingat, warga di sana sudah mengangapnya sebagai sesama saudara. Selain itu, KTP Yayuk juga tercatat sebagai warga Kota Yogyakarta.

Sebelum sakit, Yayuk mengaku sempat membuka warung nasi rames, dengan penghasilan antara Rp 120 ribu – Rp 150 ribu per hari.

Tapi, nasibnya berubah drastis sejak ia sakit. Warungnya dijual untuk biaya pengobatan dan kebutuhan hidupnya. Bahkan, dia terpaksa mengemis di pinggir jalan sekitar tiga bulan, demi bisa mendapatkan sesuap nasi. Terlebih, Bapak yang tinggal bersama Yayuk juga menderita penyakit asma sehingga tidak bisa bekerja keras.

“Sejak sakit ini, saya diurus oleh Bapak”, ungkanya.

Kondisi mereka yang memprihatinkan itu mendorong warga membuatkan tempat tinggal semi permanen yang meskipun tidak luas, tetapi sudah dilengkapi dengan kamar mandi dalam.

“Selama saya sakit, banyak saudara-saudara di sini yang membantu memberi makan kami,” sambungnya.

Kegelisahan Yayuk Jelang Sterilisasi Bong Suwung

Kini, Yayuk mengaku resah dengan rencana PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) 6 Yogyakarta yang akan segera membersihkan area Bong Suwung dari bangunan dan aktivitas warga, dalam waktu dekat.

Meski begitu, dia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima keputusan tersebut sehingga bisa mendapatkan ‘pesangon’ untuk mencari tempat kontrakan di luar Bong Suwung secepatnya.

“Kami minta perpanjangan tinggal hingga akhir bulan saja tidak bisa,” sesalnya.

Yayuk mengaku mendapatkan uang kompensasi sekitar Rp 3,3 juta sebagai uang pembongkaran bangunan yang selama ini ia tempati bersama Bapak. Uang itu, sebagian akan ia gunakan untuk mencari kontrakan yang tidak jauh dari Bong Suwung. Rencananya, dia bersama Bapak akan mulai berkemas pada hari Minggu (29/9/2024) besok.

Warga Bong Suwung mulai mengosongkan bangunan tempat tinggal mereka, pada Jumat (27/9/2024). (dok. istimewa)

“Nanti kalau dapat kontrakan, kami masih berpikir bagaimana mencari uang untuk bisa membayar kontrakan itu per bulannya,” kata Yayuk.

Ia mengaku, tidak menutup kemungkinan akan kembali mengemis di pinggir jalan, jika tidak mendapatkan solusi atau pun bantuan dari pemerintah.

Warga Bong Suwung di Posisi Sulit

Sri Rahayu hanya satu dari ratusan warga Bong Suwung yang merasakan kegelisahan sekaligus kebingungan, dampak dari program sterilisasi area Bong Suwung oleh PT KAI Daop 6 Yogyakarta.

“Warga susah karena Bong Suwung harus dikosongkan. Sementara kebanyakan warga kami belum mempunyai tempat tinggal,” kata Ketua Aliansi Bong Suwung, Jati Nugroho, pada 27 September 2024.

Pihaknya menyebut, sedikitnya ada 75 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak sterilisasi area Bong Suwung. Jumlah tersebut, belum termasuk Pekerja Seks (PS) yang mereka sebut ‘mbak-mbak’ dengan jumlah sekitar 80 perempuan, dan pemulung di sisi selatan Bong Suwung yang kurang lebih ada 20 orang.

Ketua Aliansi Bong Suwung, Jati Nugroho. (dok. kabarkota.com)

“Belum lagi anak-anak sini yang sekolah. Mereka juga terdampak. Nanti bagaimana dengan sekolah mereka?” kata pria yang akrab disapa Pak Nug ini di Bon Suwung, pada 27 September 2024.

Sementara, PT KAI hanya memberikan kompensasi sebesar Rp 200 ribu per meter persegi untuk pengganti ongkos bongkar bangunan, ditambah Rp 500 ribu per orang untuk biaya angkut barangnya. Artinya, Mbak-mbak dan pemulung yang tidak memiliki tempat tinggal di Bong Suwung tidak mendapatkan kompensasi apa pun.

Namun demikian, lanjut Jati, sebagian warga sudah mulai berkemas karena mereka hanya diberi waktu pengosongan hingga Hari Rabu (2/10/2024) pekan depan.

“Warga kami dihadapkan pada posisi sulit,” anggapnya.

Sebab, Jika tidak mau menerima kompensasi dan nanti bangunan tetap dieksekusi, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa. Ini justru akan memperparah kondisi mereka. Namun jika menerima, kompensasinya dinilai kurang manusiawi.

“Maka saya mengumpulkan mereka, daripada tidak menerima, setidaknya untuk obat rasa kecewa sehingga kesepakatannya, tawaran tersebut diterima,” tegasnya.

Untuk pilihan tempat tinggal selanjutnya, diserahkan kepada masing-masing warga. Bisa jadi nantinya warga akan berpencar karena tinggal di wilayah berbeda

Sedangkan bagi warga yang benar-benar tidak memiliki tempat tinggal, maka pihaknya akan mengupayakan musyawarah dengan anggota DPRD supaya mendapatkan solusi bagi warga yang bersangkutan.

“Alternatif terakhir, kami akan mendirikan tenda di DPRD DIY supaya mereka memerhatikan dan memikirkan solusi terbaik untuk kami,” tuturnya.

Pastikan tidak Ada Hak Warga yang Terabaikan

Di lain pihak, anggota DPRD Kota Yogyakarta, Krisnadi Setyawan menyampaikan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses ini guna memastikan tidak ada satu pun hak warga yang terabaikan. Sebab secara konstitusi, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan, terlebih difabel

“Kemarin saya sarankan mengungsi ke kantor DPRD DIY supaya mendapat perhatian dan tanggung-jawab dari Pemda DIY,” katanya.

Aksi dan audiensi Aliansi Bong Suwung di depan kantor PT KAI Daop 6 Yogyakarta, pada 24 September 2024. (dok. istimewa)

Termasuk, sebut Krisnadi, perhatian terhadap nasib mbak-mbak di Bong Suwung yang tidak mendapatkan kompensasi dari PT KAI.

“Minimal mereka diberi pesangon untuk kembali ke kampung halaman atau mencari pekerjaan lain yang lebih layak,” harap Krisnadi.

Jika nantinya ada sinergi dari Dinas Sosial (Dinsos) Kota Yogyakarta dan DIY, sebut Krisnadi, maka penyelesaiannya akan lebih baik karena tidak hanya mengurusi warga kota, tetapi juga warga DIY. Misalnya, Warga Bong Suwung yang difabel difasilitasi untuk tinggal sementara di Rumah Susun (Rusun) milik pemerintah.

“Ini harus tersampaikan secara formal di DPRD DIY. Kalau kita teriaknya dari sini, mereka tidak akan dengar,” anggapnya.

Di balik Sterilisasi Area Bong Suwung

Sebelumnya, Manajer Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Krisbiyantoro menjelaskan, Bong Suwung termasuk dalam area emplasemen Stasiun Yogyakarta yang akan dikembalikan fungsinya sebagai area operasional Kereta Api. Total luasan emplasemen sekitar 2.800 meter persegi yang terdiri dari sisi kanan dan kiri rel.

“Emplasemen adalah luasan sejumlah lahan penguasaan yang ada di stasiun dan dibatasi dengan sinyal masuk dari dua arah, baik kanan dan kiri,” terangnya usai menerima audiensi Aliansi Bong Suwung di Kantor PT KAI Daops 6 Yogyakarta, sebagaimana diberitakan kabarkota.com, pada 24 September 2024.

Area Bong Suwung yang termasuk emplasemen Stasiun KA Kota Yogyakarta sisi Barat. (dok. kabarkota.com)

Oleh karena itu, Krisbiyantoro menekankan bahwa emplasemen harus steril karena terdapat jalur-jalur kereta api. Termasuk, tempat kereta api berbelok.

“Di Bong Suwung itu juga menjadi tempat perpindahan rel-rel dan penempatan alat pendukung operasi,” paparnya.

Dengan begitu, tempat tersebut perlu disterilkan untuk mengurangi resiko dari sisi keamanan operasional kereta api.(Rep-01)

Pos terkait