Ilustrasi (dok. istimewa)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Di tengah ketidaksabaran pemerintah untuk meresmikan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Temon, Kulon Progo, DIY, pada April mendatang, masih ada kesedihan sebagian warga yang hingga kini tak rela melepaskan lahan-lahan produktif mereka untuk proyek infrastruktur tersebut.
Sofyan, salah seorang warga di Temon, Kulon Progo mengaku tak pernah membayangkan, jika dirinya akan menjadi korban penggusuran untuk proyek pembangunan infrastruktur negara tersebut. Sofyan tak sendiri, ia bersama puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran-Kulon Progo (PWPP-KP) hingga kini masih berupaya melakukan berbagai bentuk perlawanan untuk menolak perampasan hak atas tanah mereka.
Bukan hal mudah bagi Sofyan dan sembilan Kepala Keluarga lainnya menjalani kehidupan, ketika tempat tinggal dan lahan pertanian yang menjadi mata pencaharian mereka tergusur. Apalagi, tanpa mau menerima ganti rugi, karena bagi mereka besaran nominal yang ditawarkan sebagai kompensasi pembebasan lahan, gak sebanding dengan kerugian yang mereka tanggung. Tidak hanya saat ini tapi juga di masa depan.
Sejak lahan mereka tergusur hingga kini, sebagian dari anggota PWPP-KP masih tinggal di rumah-rumah saudaranya, dan sebagian lagi memilih tinggal di kontrakan.
“Kami masih seperti dulu. Sekarang dalam taraf pemulihan ekonomi,” kata juru bicara PWPP-KP ini saat dihubungi kabarkota.com, Rabu (20/2/2019).
Menurutnya, berkat donasi dari berbagai pihak yang peduli pada keadaan mereka, warga bisa “bangkit” dari keterpurukan, dengan memulai kembali pekerjaan mereka, baik bertani maupun berdagang.
Apa yang dialami Sofyan dan PWPP-KP hanyalah satu dari sekian konflik agraria yang terjadi akibat proyek pembangunan infrastruktur yang digagas oleh pemerintah.
Staf Divisi Penguatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Rudi Casrudi mengungkapkan, sepanjang empat tahun (tahun 2015 – 2018) pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi – JK), secara akumulatif telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria.
Dari jumlah tersebut, 410 konflik terjadi di tahun 2018, dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar, dan melibatkan 87.568 Kepala Keluarga di berbagai provinsi di Indonesia. Sementara konflik akibat sektor infrastruktur sebanyak 4% (16 kasus).
Kondisi yang dialami PWPP-KP yang masih gigih menolak pembangunan bandara NYIA, serta paparan data dari Catatan Akhir Tahun 2018 KPA tersebut, sekaligus mematahkan klaim Capres 01 dari kubu petahana dalam Debat Capres Putaran 2 pada 17 Februari 2019 lalu, yang salah satu poinnya menganggap bahwa dalam 4.5 tahun tetakhir hampir tak ada konflik agraria terkait pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur nasional.
“Konflik itu ada, bukan tidak ada, dan harus segera diselesaikan oleh yang yang berkuasa,” pinta Rudi. (Rep-01)