KNRP: Omnibus Law RUU Cipta Kerja ingin Tundukkan Penyiaran di Bawah Pemerintah

Logo (dok. fb knrp)

JAKARTA (kabarkota.com) – Gelombang penolakan atas rencana pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) terus disuarakan. Kini ini suara penolakan datang dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).

Bacaan Lainnya

Anggota KNRP, Lestari Nurhayati menilai pasal-pasal tentang penyiaran yang tercantum dalam RUU tersebut akan menggerogoti nilai-nilai demokrasi dalam dunia penyiaran yang hingga saat ini masih diperjuangkan.

Lestari berpendapat bahwa pasal 74 ayat 4 dari RUU Cipta Kerja akan menghilangkan wewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) soal perizinan, karena akan diambil alih langsung oleh pemerintah.

Anggota KNRP, Lestari Nurhayati (dok. Screenshot zoom)

“Artinya, pasal ini akan memperlemah posisi penyiaran yang seharusnya diawasi oleh lembaga independen, seperti KPI,” tegas Lestari dalam konferensi pers KNRP yang digelar secara virtual, pada Selasa (14/7/2020).

Dalam RUU tersebut, ungkap Lestari, juga tak tegas mengatur tentang sanksi yang akan dijatuhkan bagi industri media yang melakukan pelanggaran. Hal ini akan membuka celah praktik penyelewengan dalam dunia penyiaran demokratis.

RUU ini, sebutnya, akan merevisi batas waktu perizinan lembaga penyiaran yang sebelumnya diatur setiap lima tahun sekali harus diperbaharui. Dengan kata lain, RUU ini akan melanggengkan penguasaan frekuensi. Padahal frekuensi merupakan hak publik.

Pengurus AJI Indonesia, Bayu Wardhana (dok. Screenshot zoom)

Sementara Anggota KNRP dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Bayu Wardhana berpanggapan bahwa migrasi digital yang sebenarnya memang telah didorong. Namun, pihaknya berharap, pengaturan tentang itu tidak dimasukkan dalam RUU Cipta Kerja, namun diatur tersendiri dalam revisi UU Penyiaran sebagaimana yang selama ini telah mereka usulkan.

“Persoalan ini harus menjadi dibahas dengan publik, tidak hanya oleh pemerintah,” pintanya.

Terlebih, anggap Bayu, persoalan dunia penyiaran tak hanya soal migrasi digital, melainkan menyangkut banyak hal, seperti penguasaan media oleh segelintir orang, konten, serta persaingan bisnis antarmedia. Sementara, dalam RUU Cipta Kerja sebatas mengatur ketenagakerjaan di industri media.

Dosen Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta, Masduki (dok. Screenshot zoom)

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta,
Masduki mengatakan, RUU Cipta Kerja tak mengakomodasi ruh dari semangat reformasi penyiaran yang mencakup tiga hal. Pertama, kembalinya proses legislasi, partisipasi publik, dan akses publik dalam penyiaran melalui perwakilannya (parlemen). Kedua, mengembalikan hak publik melalui KPI. Ketiga, membangun pluralisme dalam penyiaran.

“RUU ini akan mengembalikan kewenangan demokrasi ke pemerintah,” sesalnya.

Dosen Ilmu Komunikasi Unpad, Eni Maryani (dok. Screenshot zoom)

Sementara, Dosen ilmu komunikasi di Universitas Pajajaran Bandung, Eni Maryani berharap, KNRP menjadi inisiator untuk mengungkapkan hal-hal yang tak bisa diterima publik, dalam RUU tersebut. Sebab, pemerintah terlihat tak melibatkan partisipasi publik dalam proses penyusunan maupun pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. (Rep-01)

Pos terkait