Aksi Aliansi Jogja untuk Palestina di Titik Nol Km Yogyakarta, pada 11 November 2023 (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pekikan takbir berkumandang berkali-kali di Kawasan Titik Nol Km Yogyakarta, pada Sabtu, 11 November 2023. Ribuan bendera Palestina dan bendera Merah Putih dikibarkan oleh massa aksi dari Aliansi Jogja untuk Palestina sebagai dukungan terhadap perjuangan rakyat Palestina melawan penjajahan Zionis Israel.
Aksi ini bukanlah yang pertama kalinya digelar Yogyakarta. sebulan terakhir sejak konflik Palestina – Israel kembali memanas, sedikitnya telah digelar tiga kali aksi serupa di kawasan Titik Nol Km.
Aksi pertama adalah #IndonesiaturuntanganbantuPalestina, pada 13 Oktober. Disusul aksi dari para tenaga medis dan relawan kemanusiaan pada 21 Oktober. Terakhir, Kirab Akbar Palestina yang digelar oleh Aliansi Jogja untuk Palestina pada 11 November 2023.
Salah satu warga Yogyakarta, Diah Novitasari mengaku, sebagai sesama muslim, ia tergerak mengikuti Kirab Akbar tersebut, banyaknya korban dari warga Palestina adalah perempuan dan anak-anak. “Saya baru pertama kali mengikuti aksi solidaritas untuk Palestina, dan saya merasa terharu,” ungkap Diah kepada kabarkota.com, di titik nol km Yogyakarta.
Hal serupa juga disampaikan Fatimah Az Zahra, salah satu pelajar di Yogyakarta yang turut bergabung dalam aksi solidaritas tersebut. “Hal yang paling menyentuh bagi adalah ketika melihat banyak anak yang kehilangan orang tuanya. Begitu juga para orang tua yang kehilangan anak-anaknya,” ucapnya sedih.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Palestina yang dirilis di laman web mereka, selama agresi Israel di Jalur gaza, ada satu anak terbunuh dan dua anak terluka, setiap 10 menit. Kementerian Kesehatan menyebut, hingga 5 November 2023, tercatat 2.900 anak meninggal, dan 8.067 anak mengalami luka-luka di Jalur Gaza. Selain itu, 1.250 anak juga dikabarkan masih hilang dan diduga tertimbun reruntuhan akibat aksi pemboman Israel, sejak konflik Palestina – Israel pecah, pada 7 Oktober 2023 lalu.
Abdillah Onim, seorang aktivis kemanusiaan dari Indonesia yang belasan tahun tinggal di Gaza menceritakan bahwa pembunuhan terhadap warga Pelestina oleh Israel dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya, pemboman di rumah-rumah warga, kelompok pertahanan sipil, dan saat proses evakuasi oleh tim medis.
“Kenapa dilakukan seperti itu? karena Israel ingin membersihkan generasi baru di Palestina. Jadi memang tujuannya, mereka tidak ingin ada warga Palestina di Jalur Gaza,” jelas Onim dalam podcast di kanal YouTube Need a Talk, pada 10 November 2023.
Oleh karena itu, lanjut Onim, sasaran Israel mayoritas anak-anak dan perempuan, termasuk ibu hamil. Bahkan ia memperkirakan, sebelum konflik kembali pecah pada 7 Oktober lalu, jumlah anak yatim piatu di Gaza sekitar 23.000 anak.
Meski demikian, lanjut Onim, jumlah kelahiran anak di sana pasca peperangan lebih banyak dari korban yang meninggal dunia. Ia mencontohkan, ketika terjadi agresi Israel ke Palestina pada 2021 lalu, jumlah korban jiwa sekitar 300 orang. Setelah peperangan, angka kelahiran di Gaza mencapai lebih dari 5.000 orang.
“Jadi, walaupun penjajah memiliki rencana menghabiskan orang di Jalur Gaza, tetapi Allah memiliki rencana lain yang luar biasa, yakni melahirkan generasi baru,” sambung Pendiri Nusantara Palestina Center ini.
Akar Konflik Palestina – Israel
Penyerangan yang dilakukan oleh para pejuang Palestina, salah satunya Hamas, sebenarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap Israel yang telah menjajah bumi Palestina. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjajah berasal dari kata jajah yang berarti menguasai dan memerintah suatu negeri (daerah dan sebagainya).
Seperti halnya yang diceritakan Bang Onim bahwa penjajahan di Palestina telah berlangsung lebih dari 75 tahun. Pihak Israel menguasai semua sektor di Palestina, termasuk membangun pemukiman ilegal di atas tanah milik warga Palestina hingga sekarang sekitar 87 persen tanah Palestina sudah dikuasai Israel.
“Setiap hari mereka (Israel) membangun ribuan pemukiman penduduk di atas tanah masyarakat Palestina,” sebut Onim.
Selain itu, Israel menguasai Masjidil Aqsa di Jerusalem. Masjidil Aqsa merupakan simbol tempat suci bagi tiga agama dunia, yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi. Namun, Israel menutup akses bagi warga Palestina untuk melaksanakan ibadah di kompleks Masjidil Aqsha.
Sebenarnya, kata Bang Onim, penjajahan yang dilakukan oleh pihak Israel terhadap rakyat Palestina telah diketahui oleh dunia Internasional dan diadukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) namun tidak didengar sama sekali hingga rakyat Palestina melakukan berbagai perlawanan sebagai bentuk pembelaan, tapi sebagian pihak justru menganggapnya sebagai teroris dan pemberontak.
Dari sejumlah literasi yang salah satunya dipaparkan oleh Ustad Felix Siauw tentang akar krisis Palestina tidak terlepas dari keberadaan Masjidil Aqsha yang menjadi simbol bagi tiga agama besar di dunia.
Dalam kepercayaan orang Yahudi, Jerusalem adalah tanah yang dijanjikan Tuhan mereka bagi bangsa Israel. Sedangkan bagi umat nasrani, Jerusalem menjadi tempat perjamuan terakhir Yesus Kristus sebelum dihianati oleh Judas Iskariot dan disalip di Bukit Golgota.
Sementara bagi umat Islam, Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis menjadi kiblat pertama bagi umat muslim. Dalam QS Al Isra’, Allah SWT menceritakan tentang perjalanan Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Awal Mula Yahudi Keluar – Masuk Palestina
Di kanal YouTube Ustad Felix Siauw mengisahkan bahwa orang-orang Yahudi pertama kali datang ke tanah Palestina pada zaman Nabi Musa dan Nabi Harun.
Orang-orang Yahudi adalah keturunan Nabi Yakub yang dijuluki sebagai Bani Israil. Kebanyakan dari mereka diperbudak oleh Fir’aun di Mesir hingga suatu ketika diajak hijrah oleh Nabi Musa dan Nabi Harun ke tempat yang dijanjikan Allah SWT. Pada saat tiba di tanah yang dijanjikan itu, Nabi Musa berserta rombongannya bertemu dengan orang-orang bertubuh besar dan kasar. Orang inilah yang dinamakan orang Filistin atau sekarang dikenal sebagai orang asli Palestina.
Namun, orang-orang Yahudi menolak masuk dan berperang. Mereka justru menghina serta manyakiti Nabi Musa AS hingga menyebabkan murkanya Allah SWT hingga disesatkan selama empat masa.
Bani Israil baru bisa masuk kembali ke tanah Palestina di zaman Yusak bin Nun. Kemudian, Yusak membagi tanah terjanji atau tanah Filistinin menjadi 12 bagian, dengan merujuk pada jumlah anak Nabi Yakub. Sementara Yusak sebagai penengah sekaligus memerintah mereka, pasca kepemimpinan Nabi Musa.
Meski demikian, orang-orang Yahudi selalu membuat masalah hingga mereka berkonflik dan terpecah. Akhirnya wilayah Palestina dibagi menjadi dua. Pertama, Kerajaan Israel di bagian utara dengan ibu kota Samaria. Kedua, Kerajaan Yehuda di sisi selatan, dengan ibu kota Yerusalem. Itu pun, mereka tetap saja berkonflik.
Tahun 722 SM, Kerajaan Assyria menaklukkan Kerajaan Israel di sisi Utara. Tapi kemudian Kerajaan Assyria diserang oleh Kerajaan Babilonia di bawah pimpinan Nebukadnezar dan berhasil menaklukkan Kerajaan Yehuda di sisi selatan, pada tahun 597 SM.
Tahun 596 SM, Kerajaan Babilonia menghancurkan Haekal Sulaiman atau Masjidil Aqsa yang dibangun oleh Nabi Sulaiman sebagai kompleks peribadahan. Setelah penghancuran itu, semua orang Yahudi dibawa ke Babilonia. Banyak dari mereka yang akhirnya hilang karena dibunuh atau dijadikan budak.
Tahun 539 SM, Kerajaan Babilonia dikuasai oleh Kerajaan Persia. Alhasil, Raja Cyrus mengembalikan orang-orang Yahudi ke daerah mereka.
Pada masa Pemerintahan Darius Agung tahun 516 SM, Haekal Sulaiman selesai dibangun kembali. Namun, tahun 70 M, pasukan Romawi di bawah komando Titus kembali menghancurkan Haekal Sulaiman. Untuk kedua kalinya, orang-orang Yahudi kembali terusir dari tanah terjanji karena selalu berulah. Pengusiran kali ini disebut sebagai diaspora karena mereka pergi menyebar ke mana-mana, dengan masih menyimpan dendam terhadap orang-orang Romawi yang telah mengusirnya. Karena seringnya membuat ulah, orang-orang Yahudi kebanyakan hidup dalam kesulitan. Bahkan, muncul gerakan antisemit/Yahudi.
Lalu, tahun 1860 M, lahir seorang pria berkebangsaan Austria bernama Theodor Herzl yang belakangan dikenal sebagai Bapak Zionis. Tahun 1896, Herzl menulis buku yang sangat fenomenal berjudul “Der Judenstaat The Jewish State” yang pada intinya menegaskan pentingnya orang Yahudi bersatu dan memiliki sebuah negara supaya mereka tidak menghadapi masalah di mana-mana. Hanya saja, ide tersebut dianggap gila sehingga peredaran bukunya sempat dilarang oleh orang-orang Yahudi.
Herzl tak putus asa, ia terus bergerak dan bertemu dengan orang kaya raya asal Inggris yang juga pelopor perbankan, Lionel Walter Rothschild atau Lord Rothschild. Herzl mendapatkan sponsor dari Rothchild untuk menggelar kongres Zionis pertama, di tahun 1897. Salah satu kesimpulan dari kongres pertama ini adalah orang Yahudi harus membangun sebuah negeri di tanah terjanji sebagaimana cita-cita leluhur supaya mereka bisa bersatu.
Setelah kongres tersebut, mereka berusaha masuk kembali ke tanah Palestina dengan mengatakan bahwa mereka kembali ke tanah Zion (tanah yang terjanji) yakni tanah Palestina. Sementara pada masa itu, tanah Palestina dikuasai oleh umat Muslim, yakni Khalifah Usmani yang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II.
Tahun 1897, orang-orang Zionis datang ke Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin mendirikan pemukiman bagi orang-orang Yahudi yang menjadi cikal bakal negara Yahudi. Tapi Sultan permintaan mereka karena tak ingin dianggap mengkhianati amanah umat muslim.
Th 1901, Theodor Herzl kembali menemui Sultan Abdul Hamid II dengan menawarkan 150 juta poundsterling atau sekitar RP 305 T kepada Khalifah Usmani, dan akan diberi bonus membangun Universitas Usmani dan membelikan Kapal perang atas sponsor dari Lord Rothschild.
Sultan tetap menolak tawaran tersebut dan menegaskan agar mereka tidak lagi melanjutkan proyeknya di atas tanah Palestina selama kekhalifahan Usmani masih berkuasa. Ketika itu, Sultan menyampaikan bahwa ketika Kekhalifahan Islam tidak lagi menguasai tanah Palestina, maka orang-orang Yahudi diperbolehkan mengambil tanah tersebut tanpa membayar. Setelah itu, federasi Zionis tidak pernah datang lagi menemui Sultan.
Tahun 1914 – 1918 terjadi Perang Dunia I. Saat itu ada dua blok, yakni blok sekutu yang dikuasai Inggris dan perancis. Selain itu ada blok sentral. Khalifah Usmani berada di barisan blok sentral bersama Jerman sehingga harus ikut berperang dan kalah.
Akibat kekalahannya, wilayah kekuasaan Khalifah Usmani akhirnya dibagi oleh Inggris dan Perancis melalui perjanjian Sykes – Picot, di tahun 1916. Hasil kesepakatan perundingan, sebagian wilayah tersebut dikendalikan oleh Inggris, dan sebagian lagi dikendalikan oleh Perancis. Hanya saja. khusus wilayah Filistin/Palestina menjadi wilayah kekuasaan bersama.
Meskipun Palestina dijuluki wilayah khusus namun sebenarnya pemiliknya adalah Inggris. Kemudian, Lord Rothschild menulis surat permintaan kepada Pemerintah Inggris untuk menduduki Palestina dan direspon oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James balfour, melalui deklarasi Balfour, pada 1917.
Setelah itu, Israel masuk ke Palestina atas jaminan Inggris. Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa juga diberikan oleh Inggris kepada Zionis Israel. Sejak itu lah, Israel mulai menjajah tanah Palestina.
Pada saat terjadi Perang Dunia II, Amerika Serikat (AS) menjadi pemenangnya. Lalu, AS ditunjuk sebagai ketua Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tahun 1947, PBB melalui UN Pettition Plan (Resolution 181) membagi Palestina menjadi dua wilayah kekuasaan, dengna komposisi 45 persen diduduki Arab dan 55 persen untuk Yahudi. Sedangkan Kota Jerusalem di bawah kontrol internasional. Pembagian wilayah tersebut sebagai upaya PBB untuk menyudahi konflik antara Yahudi dan Arab Muslim.
Tahun 1948, Israel mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara dengan mendapatkan persetujuan resmi dari PBB di bawah kepemimpinan AS.
Berbeda dengan Israel, umat Muslim yang tinggal di tanah Palestina justru tidak memiliki status kewarganegaraan (stateless) karena wilayah mereka tidak diakui oleh dunia sebagai sebuah negara.
Tahun 1967, Israel menjajah dan mengakesasi wilayah kaum Muslimin, setelah perang 6 hari.
Trias Kuncahyono dalam Buku Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir (2014) menjelaskan bahwa setelah Negara Israel resmi berdiri di tahun 1948, Jerusalem diresmikan sebagai ibu kota Israel pada tahun 1949.
Lalu tahun 1967, pecah perang enam hari dan Israel berhasil merebut Kota Tua, Tepi Barat dan Jerusalem Timur dari Yordania. Jalur Gaza dan Gurun Sinai dari Mesir, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
Israel secara sepihak menetapkan Jerusalem sebagai ibu kota negaranya, pada tahun 1980.
Tahun 1981, Israel menganeksasi dataran tinggi Golan dan tetap menguasai Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Selanjutnya, di tahun 1993, Pemerintahan Otoritas Palestina (PLO) mengakui kedaulatan Israel, setelah adanya Perjanjian Oslo.
Berbagai ketidakadilan itu yang hingga sekarang memunculkan peralawanan dari masyarakat Palestina terhadap Israel, melalui dua kelompok besar. Pertama, Hamas di Jalur Gaza yang sama sekali tidak mengakui kedaulatan Israel. Kedua, Fatah di Tepi Barat (West bank) sungai Yordan yang segaris dengan PLO mengakui Israel sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Penjajahan di Palestina, Kita bisa Apa?
Bagi umat Muslim, membela Palestina adalah sebuah keharusan. Banyak ayat dalam Al Qur’an yang memerintahkan kepada umat muslim agar melakukan pembelaan tersebut. Rasulullah SAW juga memuliakan Masjidil Aqsa setara dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki tanggung-jawab untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Terlebih dalam Preambule Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 termaktub bahwa “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) DIY dalam pernyataan sikapnya baru-baru ini menyerukan agar umat Islam turut membebaskan Masjidil Aqsa dengan berbagai upaya, seperti menggalang donasi, menyebarluaskan opini tentang dukungan untuk Palestina melalui berbagai platform media sosial, serta melantunkan doa untuk kemenangan perjuangan rakyat Palestina.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menegaskan dukungannya untuk perjuangan kemerdekaan Palestina, dengan mengeluarkan Fatwa Haram membeli produk yang mendukung agresi Israel ke Palestina. Untuk itu, umat Islam diimbau agar semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk Israel maupun produk lain yang mendukung penjajahan dan zionisme.
Dengan Fatwa Nomor Nomor 83 Tahun 2023 Tentang tentang Hukum Dukungan terhadap Palestina ini, MUI merekomendasikan kepada pemerintah agar mengambil langkah-langkah tegas dalam membantu perjuangan Palestina. Di antaranya melalui jalur diplomasi di PBB dan konsolidasi dengan negara-negara OKI untuk menekan penghentian agresi Israel ke Palestina.
Menyikapi krisis yang terjadi di Gaza, Pemerintah Indonesia melalui Presiden, Joko Widodo mengambil peran terdepan dalam turut menyelesaikan konflik Palestina – Israel dengan memimpin panggilan untuk solidaritas dan tindakan segara dari Organisasi Kerja sama Islam (OKI), daam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) luar Biasa OKI di Riyadh, pada 11 November 2023.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menyampaikan empat saran konkrit kepada para pemimpin OKI untuk mengakhiri konflik. Pertama, mendesak agar gencatan senjata segera dilakukan untuk menghentikan pembunuhan rakyat sipil oleh Israel. Kedua, mendorong percepatan dan perluasan bantuan kemanusiaan di Gaza.?? Ketiga, menuntut pertanggungjawaban Israel atas kekejaman kemanusiaan, termasuk mendesak diberikannya akses pada Independent International Commission of Inquiry on the Occupied Palestinian Territory yang dibentuk Dewan HAM PBB untuk melaksanakan mandatnya. Keempat, mendesak agar perundingan damai dimulai kembali dan solusi dua negara dapat terwujud, serta menolak pemikiran solusi satu negara.
Presiden Jokowi juga menyatakan kesiapannya untuk menyampaikan hasil KTT kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam kunjungan kerjanya ke AS.
“Dengan izin para pemimpin, saya akan sampaikan hasil keputusan OKI hari ini kepada Presiden Biden,” ucap Jokowi dilansir dari laman Kemenlu RI. (Rep-01)