Dahnil Anzar Simanjuntak (dok. istimewa)
BANTUL (kabarkota.com) – Tim kuasa hukum Dahnil Anzar Simanjuntak menganggap, pengusutan dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terhadap kliennya, pada periode 2014 – 2018 sangat politis dan dipaksakan.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan ketua tim kuasa hukum Dahnil, Trisno Raharjo, dalam siaran persnya, Kamis (7/2/2019). Menurutnya, politisasi terlihat dari tuduhan dan pengusutan dugaan korupsi dana kemah, yang terkesan hanya menyasar target spesifik, yakni Dahnil Anzar Simanjuntak dan institusi Pemuda Muhammadiah yang sangat vokal terhadap pemerintah dan kepolisian dalam kasus Penyerangan Novel Baswedan yang sampai detik ini belum menemukan titi terang.
Selain itu, lanjut Trisno, sejak awal kasus ini dimunculkan menjelang Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta, pada November tahun 2018 lalu.
Seharusnya sudah terasa bahwa nuansa kasus ini lebih condong pada kontestasi politik saat itu, dan kini semakin mengental seiring dengan makin dekatnya hari pencoblosan suara pemilu pada 17 April 2019. Maka, sebagaimana prinsip penegakan hukum yang jujur. Pelaporan dugaan tindak pidana harus didasari oleh niatan baik (good faith) dan bukan oleh tujuan-tujuan jahat dan menyimpang (malicious purposes).
“Kami belum mengetahui apa yang menjadi dasar polisi atas adanya dugaan kerugian negara dari kegiatan Kemah Pemuda Islam yang di alamatkan kepada Pemuda Muhammadiyah? Karena sampai detik ini, gelar atau ekspose terkait audit investigasi BPK terhadap kegiatan Kemah Pemuda Islam tersebut belum ada,” kata Dekan Fakulyas Hukum Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut.
Pihaknya justru berkesimpulan bahwa kepolisian telah melakukan malprofesi, yang merupakan laku kesewenang-wenangan dan dipertontonkan oleh aparat penegak hukum secara nyata. Mengingat, sejak awal kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemuda Muhammadiyah ini tidak memiliki dasar hukum atau kesepakatan kerjasama (MoU). Maka, kegiatan ini tidak memiliki kekuatan hukum dalam pelaksanaannya, secara otomatis batal demi hukum.
“Semestinya penyidik menelaah hal tersebut kepada Kemenpora, karena hal tersebut sangat fundamental. Ketika hal itu tidak dilakukan terlebih dahulu oleh pihak kepolisian, maka kami menilai pengusutan kasus ini dengan tuduhan korupsi dan pencucian uang cenderung dipaksakan,” tegasnya.
Pengembalian dana Rp 2 Milyar dalam bentuk cek/giro kepada Kemenpora itu, sebut Trisno, bukan berarti wujud dari pengakuan Pemuda Muhammadiyah atas tuduhan tindak pidana korupsi yang dialamatkan kepada mereka. Tapi semata-mata inisiatif dari Pemuda Muhammadiyah atas tiadanya dasar hukum atau kesepakatan kerjasama (MoU) dari kegiatan tersebut.
Ketika kegiatan tersebut tidak memiliki MoU maka batal demi hukum, ketika batal demi hukum maka dana yang kami terima tersebut harus dikembalikan. Walau pun pihak kemenpora tidak menerima atau mengembalikan kembali cek/giro Rp 2 Milyat tersebut, berkaitan dengan belum adanya keputusan hukum untuk pengembalian dana kegiatan, yakni dengan adanya gelar atau ekspose dari BPK terkait dengan hasil audit investigasi yang dilakukan terhadap Kemenpora menyangkut kegiatan Kemah Pemuda Islam. (Ed-04)