Kuasa Hukum Pertanyakan Penetapan Status Tersangka atas Siyono

Kuasa hukum keluarga Siyono, Trisno Raharjo menunjukkan bukti surat pemanggilan atas ayah almarhum dan potret mereka saat berada di Polsek Cawas. (Sutriyati/kabarkota.com)

BANTUL (kabarkota.com) – Kuasa hukum keluarga Siyono, Trisno Raharjo mempertanyakan penetapan status almarhum Siyono yang sebelumnya sebagai terduga teroris menjadi tersangka teroris oleh pihak kepolisian. Pasalnya, sejak 15 Maret 2016 lalu, Siyono yang meninggal dunia saat berada dalam tahanan Densus 88 masih berstatus terduga teroris. Namun, pada saat ayah almarhum, Mardiyo dipanggil oleh pihak kepolisian, Selasa (12/4/2016) kemarin, dalam surat tertera bahwa Siyono sebagai tersangka teroris.

Bacaan Lainnya

“Dalam surat pemeriksaan terhadap ayah almarhum, Siyono dikatakan sebagai tersangka, tapi kami tidak tahu kapan penetapan itu,” kata Trisno kepada wartawan di Kantor Pusham UII, Rabu (13/4/2016).

Menurutnya, jika benar polisi telah menetapkan status tersebut, maka justru berat bagi lembaga penegak hukum tersebut karena dengan kematian Siyono mengindikasikan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Selain itu, pihaknya juga menganggap bahwa penetapan status baru itu menjadi hal yang tak masuk akal ketika keadaan Siyono telah meninggal dunia.

Sementara Shandy Harlian Firmansyah selaku anggota tim Pembela Kemanusiaan mengungkapkan bahwa pada saat pemeriksaan, ayah Siyono yang didampingi kakak almarhum dibawa ke Polsek Cawas dan ditanyai dengan 16 pertanyaan hingga sekitar tiga jam, oleh tiga aparat kepolisian dari Mabes Polri.

Shandy juga menyatakan, hingga kini keluarga Siyono masih terus mendapatkan teror, dengan banyaknya interogasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian sehingga membuat kasus ini menjadi berlarut-larut. Padahal menurutnya, hingga kini pihak keluarga masih mengalami trauma.

“Biarkan keluarga menjalanI hidup normal dan tidak terbebani terus-terusan karena mereka masih trauma,” pintanya.

Sementara Direktur Pusham UII, Eko Riyadi berpendapat, tindakan-tindakan yang tidak manusiawi dari pihak kepolisian justru akan memunculkan antipati di masyarakat, sehingga polisi semestinya melakukan pendekatan yang humanis.Terlebih sejak 1998 lalu, Indonesia telah meratifikasi konvensi antipenyiksaan.

“Kami mendorong evaluiasi menyeluruh terhadap SOP bagi Densus 88,” ujarnya. Termasuk, agar pihak kepolisian mengeluarkan surat penangkapan yang setidaknya diserahkan kepada keluarga.

Ditambahkan Eko, kasus Siyono menjadi momentum bagi kepolsian dalam mengevaluasi kinerja Densus 88 yang tunduk dalam UU Tindak Pidana karena tidak ada pengecualian hukum bagi personel Densus 88, dalam pemberlakuan. KUHAP. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait