Kunci di Balik Keberhasilan Pencegahan Konflik Kekerasan antarkelompok di Yogya

Ilustrasi (dok. Istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Video yang diduga tawuran antara warga Papua dan warga Ambon di sekitar selokan mataram, tepatnya di wilayah Seturan, Caturtunggal, Depok, Sleman, DIY, pada Rabu (12/9/2018) siang, beredar cepat, di media sosial maupun grup-grup messenger.

Bacaan Lainnya

Namun, Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda DIY, Yulianto mengklarifikasi bahwa yang terjadi sebenarnya bukan peristiwa bentrokan, melainkan sejumlah warga Papua tengah melakukan aksi jalan kaki dengan berteriak teriak di sepanjang jalan, dari asrama Pulodadi Caturtunggal menuju arah Babarsari.

“Tujuan mereka mendatangi salah satu cafe di wilayah Seturan, untuk mencari pelaku penusukan, karena tadi pagi jam 2.30 terjadi perkelahian yang mengakibatkan warga Papua mengalami luka tusuk,”

“Saat ini situasi sudah kondusif, sehingga kami mohon untuk tidak menyebarkan informasi yang salah sehingga berakibat situasi memjadi tidak kondusif,” imbaunya melalui siaran pers, Rabu (12/9/2018)

Terlepas dari motif di balik aksi sekelompok orang itu, tentu menjadi hal yang memprihatinkan ketika percikan konflik antarkelompok itu terjadi di Yogyakarta. Di sisi lain, ada anggapan dari sebagian kalangan yang mensinyalir potensi terjadinya konflik antarkelompok, antaretnis maupun antaragama, baik yang berujung pada kekerasan ataupun tidak, akan semakin besar di tahun politik jelang Pemilu 2019, seperti sekarang ini.

Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antariman dan Antarperadaban, Jacky Manuputty menganggap bahwa saat ini, perbedaan-perbedaan seperti itu sengaja “dimanfaatkan” untuk kepentingan-kepentingan politik, jelang Pemilu.

“Saya bekerja pada wilayah di mana menyaksikan itu (konflik dimanfaatkan untuk kepentingan politik) dengan sangat telanjang,” ungkapnya di UGM, baru-baru ini.

Menurutnya, salah satu “penyakitnya” karena selama ini tidak pernah ada pendidikan politik rakyat dengan pola terukur, yang semestinya dilakukan oleh partai-partai politik. Masyarakat hanya dijadikan sabagai “alat” untuk kepentingan politik saat dibutuhkan. Namun ketika Pemilu telah usai, maka mereka akan dilupakan begitu saja, bahkan nama pun tak diingat lagi.

“Jadi, masyarakat harus hati-hati untuk masuk, dimain-mainkan pada lapisan-lapisan identitas untuk mendukung apa yang sebenarnya telah diformat oleh kelompok-kelompok maupun partai politik tertentu,” tegas penerima 2011 Tanenbaum Peacemaker in Action award ini.

Oleh karena itu, menurutnya masyarakat harus juga belajar. Jika parpol tak melakukan pendidikan politik rakyat itu, maka lembaga-lembaga agama harus digerakkan untuk melakukan pendidikan tersebut.

Untuk mencegah terjadinya konflik serupa, lanjut Jacky, maka manajemen-manajemen sosial yang mengakomodir kebutuhan-kebutuhan integrasi berdasarkan modal sosial yang ada harus dilakukan bersama, termasuk oleh pemerintah.

“Kita ini seringkali mengalami gap. Teraleniasi dari apa yang menjadi kebudayaan lokal dan kultur kita. Kita menghadirkan itu sebagai konsumsi pariwisata, tetapi tidak terintegrasi di dalam dinamika politik dan perumusan-perumusan kebijakan,” anggapnya.

Gesekan Konflik sering Bersumber dari Media Sosial

Sementara, salah satu politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Immanulhaq yang sekarang juga menjadi Direktur Tim Sukses (Timses) salah satu pasangan capres-cawapres beranggapan bahwa gesekan antarkelompok biasanya dipicu dari media sosial yang tak jelas sumber dan kebenarannya yang kemudian diambil oleh pihak-pihak tertentu yang tak bertanggung-jawab untuk melakukan provokasi.

“Kami bergerak door to door dan bekerjasama juga dengan kubu sebelah untuk menghindari gesekan-gesekan politik,” klaim mantan anggota komisi VIII DPR RI ini.

Yogyakarta punya “kunci” untuk Pencegahan Konflik Kekerasan antarkelompok

Guru Besar dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Mochtar Mas’oed berpendapat, berkaca dari pengalaman di era 1997-1998, di mana Yogyakarta ketika itu tidak sampai terjadi ledakan konflik, itu karena manajemen konfliknya berjalan dengan baik. Salah satunya, peran dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dinilai berhasil melakukan pencegahan konflik sehingga tidak terjadi kekerasan.

“Manajemen konflik itu tidak menyelesaikan konflik, tapi mencegah supaya konflik tidak sampai terjadi,” ucapnya.

Keberhasilan FKUB itu, kata Mochtar, yang kemudian diadopsi pemerintah untuk membentuk FKUB di berbagai provinsi. Di samping, peran pemerintah dan pimpinan-pimpinan kelompok di wilayah yang harus juga diefektifkan.

Imbauan MUI DIY untuk Pencegahan Konflik Kekerasan

Merespon maraknya fenomena sosial jelang Pemilu 2019, sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY Ahmad Muhsin Kamaludiningrat turut mengimbau, agar masyarakat kembali pada Pancasila, tetap berpegang teguh pada prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih, Yogyakarta yang menginisiasi terbentuknya NKRI, ketika awal kemerdekaan Indonesia dari jajahan Belanda.

Predikat Yogyakarta sebagai The City of Tolerance yang salah satu bentuknya saling menghargai perbedaan, juga harus tetap dipertahankan. “Yang tidak toleran itu berarti mengingkari sejarah DIY,” sebutnya. (sutriyati)

Pos terkait