Langkah Tegas Perangi Peredaran Miras

Imbauan FUI DIY dalam poster Deklarasi Akbar “Perang Melawan Minuman Keras” di Masjid Jogokariyan Yogyakarta, pada 18 Oktober 2024 (dok. istimewa)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Orang tua mana yang hatinya tak sedih dan resah ketika melihat anak-anak yang semestinya menjadi generasi masa depan justru moralnya rusak karena pengaruh Minuman Keras (miras)?

Hal itu juga yang diungkapkan salah seorang ibu saat menghadiri Deklarasi Akbar “Perang Melawan Minuman Keras” di Masjid Jogokariyan Yogyakarta, pada Jumat (18/10/2024) malam dan disiarkan secara live melalui kanal youtube Jogokariyan TV.

“Rasanya ingin menangis, kami, ibu-ibu ini merasa sebagai pendidik luar biasa yang penuh waktu hingga berdarah-darah,” ungkap perempuan berhijab hitam ini.

Perempunan yang pernah mengurusi Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kementerian Agama (Kemenag) ini mengaku banyak menerima keluhan dari para ibu yang anak-anak maupun suaminya menjadi pengkonsumsi miras. Sebab, setelah menegak miras, biasanya mereka kemudian melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

“Saya dulu sebagai mediator di Pengadilan Agama melihat banyak sekali kasus perceraian gara-gara minum miras,” ungkap ibu yang juga aktif di organisasi Aisyiyah ini.

Ia yang juga aktif di PKK mengaku geregetan hingga berembuk dengan ibu-ibu lainnya untuk mendiskusikan hal yang sekiranya bisa untuk ikut memberantas peredaran miras ini.

“Ketika akan protes, mereka takut backingnya,” sambungnya.

Padahal, lanjut dia, dampak buruk miras juga menyebabkan anak-anak di bawah umur harus menikah dini. Bahkan, ada kasus inses atau melakukan hubungan seksual dengan saudara sedarah, antara adik-kakak yang masih di bawah umur.

“Kalau seperti ini, bagaimana kita bisa mengentaskan generasi mendatang yang katanya akan menuju generasi emas?” sesalnya.

Keresahan serupa juga diungkapkan Muhammad Baharuddin, salah satu warga Sleman yang turut menghadiri deklarasi tersebut.

Ia berpendapat bahwa hal-hal yang sifatnya munkar (keburukan) mudah menular. Contohnya kasus klitih yang awalnya banyak terjadi di Yogyakarta bagian selatan, sekarang sudah merembet hingga ke Yogyakarta bagian utara. Pelakunya juga kebanyakan anak-anak yang masih muda belia.

“Kami sebagai orang tua, umat Islam, sekaligus jamaah masjid di Sleman sangat mendorong untuk melawan atau perang terhadap miras,” tegasnya.

Harapannya, langkah yang diambil nantinya bisa membawa perubahan yang lebih baik supaya generasi ke depan tidak lagi rusak karena miras.

Problem Miras, Keprihatinan para Ulama

 

para ulama FUI DIY yang menghadiri Deklarasi Akbar “Perang Melawan Minuman Keras’ di Masjid Jogokariyan, pada 18 Oktober 2024. (dok. screenshot dari jogokariyan tv)

Maraknya peredaran miras di Yogyakarta mengundang keprihatinan dari para ulama khususnya yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) DIY hingga menggelar Deklarasi Akbar “Perang Melawan Minuman Keras”.

Salah satu tokoh ulama FUI DIY, Ustad Umar Said menyampaikan bahwa Islam melarang umatnya mengkonsumsi khamar atau miras.

“Segala hal yang sifatnya bisa menutup akal itu disebut sebagai khamar, dan khamar itu haram,” tegas ustad Umar.

Lebih lanjut Ustad Umar mengatakan bahwa orang yang dalam tubuhnya masih mengandung miras, maka salat dan amal baiknya tidak diterima.

“Apakah kita rela anak cucu kita dirusak oleh miras?” tanya Ustad Umar yang disahut dengan ucapan “Tidak!” oleh jamaah.

Ustad Ridwan Hamidi yang turut hadir dalam Deklarasi tersebut menambahkan, semua ruang yang berhubungan dengan khamar dilaknat oleh Allah SWT.

“Ini maknanya mengajak kita semua agar tidak terlibat dalam segala bentuk khamar,” tegasnya

Sebab, kata dia, selain dosa besar, khamar juga memutus kebaikan serta berdampak buruk pada diri dan keturunannya.

Gerak Melawan Peredaran Miras

Sementara Ustad Puji Hartono menekankan bahwa perlawanan terhadap peredaran miras merupakan bagian dari tugas umat muslim.

“Khamar itu sumber dari segala kejahatan,” ucapnya.

Untuk itu, Ustad Puji menyarankan agar masyarakat, khususnya ibu-ibu bergerak melawannya dengan mendatangi outlet-outlet miras sembari membawa poster-poster penolakan, tanpa berbicara.

“Hal itu setidaknya bisa dilakukan seminggu sekali,” sambungnya.

Dengan begitu, Ustad. Puji yakin, para penjual miras akan merasa lebih segan karena berhadapan dengan ibu-ibu.

Sedangkan Ustad Jazir ASP meminta agar angkatan Muda FUI DIY melakukan pendataan secara detail terhadap para pelaku usaha miras maupun pihak-pihak yang terlibat dalam usaha tersebut, seperti pemilik ruko yang menyewakan tempat untuk penjualan miras.

Setelah itu, data tersebut disebarluaskan kepada masyarakat supaya publik mengetahui salah satu sumber dari kerusakan moral generasi muda.

Selain menyebarluaskan informasi tersebut, Ustad Jazir juga menyatakan kesediaannya untuk mendatangi mereka untuk memberikan nasehat agama sehingga timbul kesadaran untuk menutup usahanya.

“Kita juga akan melakukan class action dengan mengumpulkan para pengacara muslim untuk menggugat mereka di pengadilan,” tuturnya.

Pemberantasan Miras butuh Komitmen Tegas para Pemangku Kebijakan

Ulama FUI DIY lainnya, Irfan S. Awwas berpendapat bahwa selain masyarakat yang memiliki tanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di sekitarnya, pemberantasan miras juga membutuhkan sensitivitas dari para pejabat selaku pemangku kebijakan.

“Secara konstitusional, perda melarang peredaran miras. Agama islam juga mengharamkan itu. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk diam. Kita harus siap memerangi kemungkaran itu,” tegasnya.

Ketua Presidium FUI DIY, Syukri Fadholi pun berpandangan bahwa sebenarnya, pemberantasan miras tergantung komitmen moral dan keberanian pejabat.

“Tahun 2002, saya bersama pak Herry Zuhdianto diberi amanah oleh para ulama yang ketika itu perang pada narkoba, permainan ketangkasan, perjudian dan miras,” ucap pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Walikota Yogyakarta ini.

Ketika itu, sambung Syukri, Pemkot Yogyakarta mendirikan Tim Pekat (Penyakit di Masyarakat) yang kemudian membuahkan hasil untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Namun, Syukri menyayangkan kebijakan tersebut tidak dilanjutkan oleh walikota berikutnya.

Untuk itu pihaknya meminta para Pasangan Calon (Paslon) Walikota Yogyakarta yang turut menghadiri Deklarasi Akbar tersebut untuk dapat berkomitmen sekaligus menunjukkan aksi nyata untuk melanjutkan amanah pemberantasan pekat di Kota Yogyakarta, ketika nantinya terpilih sebagai kepala daerah.

“Seorang pemimpin itu abdi dan pelayan masyarakat. maka ketika masyarakat memberikan amanah, kepala daerah harus melakukan itu. Jangan memandang resiko dan akibat, tetapi amanah itu segalanya,” Syukri menekankan.

Mengawal Komitmen Calon Walikota dan Wakil Walikota Yogya Berantas Miras

Pada kesempatan ini, Heroe Poerwadi selaku calon Walikota Yogyakarta Nomor Urut 1 menceritakan pengalamannya sebagai wakil walikota Yogyakarta yang berani menutup berkali-kali tempat-tempat penjualan miras di Kota Yogyakarta.

“Sebenarnya persoalannya berani tegas untuk menutup. Kami berani untuk menutup dan sudah terbukti kemarin tiga kali kami tutupnya,” kenang Heroe.

Menurutnya, penutupan itu dilakukan lantaran melanggar Peraturan Daerah (Perda) tentang anti miras di DIY. Diantaranya: miras hanya boleh dijual di hotel bintang 3 ke atas, restoran ketegori talam kencana yang bintang limanya lebih dan di Kota Yogyakarta hanya ada satu; miras hanya boleh diminum di tempat; serta bagi pembeli yang usianya meragukan, maka harus menunjukkan KTP saat membelinya.

“Kalau miras dijual tidak di hotel bintang lima atau restoran talam kencana dan tidak diminum di tempat, maka itu pelanggaran. Jadi, tidak ada kata lain kecuali ditutup,” kata Heroe.

Sedangkan Calon Walikota Yogyakarta Nomor Urut 2, Hasto Wardoyo berjanji akan menjadikan Rumah Sakit (RS) Pratama Yogyakarta sebagai Pusat Kebugaran Remaja (Adulascent Health Centre). Mengingat, toxic people saat ini mencapai 9,8 persen atau meningkat drastis dari 10 tahun lalu yang angkanya masih 6,1 persen.

Toxic people itu sumbernya mental disorder (gangguan mental) yang salah satu pemicunya adalah miras,” papar mantan Bupati Kulon Progo ini.

Di Kota Yogyakarta, sebut Hasto, ketika ada remaja yang kecanduan, galau, memiliki hasrat ingin bunuh diri, dan cemas di pagi hari itu tanpa sebab yang merupakan bentuk gangguan jiwa ringan, mereka memiliki keengganan untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) sehingga harus ada tempat pelayanan untuk mereka guna mencegah kecanduan obat dan alkohol.

Lebih lanjut Hasto juga menyatakan, perlu adanya regulasi yang ketat guna membatasi peredaran miras yang terlalu bebas dan mudah. Di samping, upaya jangka panjang dengan berdakwah guna meminimalisir lebih banyak lagi orang terjatuh dalam mental disorder yang larinya ke adiksi (kecanduan).

Salah satunya, Hasto menyebut, dengan parenting. orang tua sebagai khalifah semestinya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Suami juga bisa mendidik istrinya dengan baik sehingga kasus perceraian bisa ditekan. Mengingat, berdasarkan data BKKBN Tahun 2023, sebanyak 521 ribu keluarga indonesia bercerai karena dilatarbelakangi masalah pekat.

“Sekitar 75 persen dari kasus perceraian itu yang meminta adalah istri, dan bukan karena persoalan ekonomi melainkan perbedaan kecil-kecil yang berkepanjangan,” papar mantan Kepala BKKBN ini.

Hasto menilai, perceraian menjadi seperti lingkaran setan ketika mengakibatkan broken home. PIhaknya mencontohkan, di Jakarta ada organisasi remaja “Behome” yang anggotanya sekitar 72 ribu orang.

“Behome adalah broken home. Mereka adalah anak-anak yang setiap hari kecanduan itu”, ungkap Hasto.

Sementara Calon Wakil Walikota Nomor urut 3, Singgih Raharjo berkomitmen akan menindak tegas peredaran miras ilegal di kota Yogyakarta. Pasalnya, penyalahgunaan miras akan mengancam generasi muda. Sekaligus, menjadi pemicu keonaran di lingkungan masyarakat.

“Kami akan mendorong DPRD Kota Yogyakarta untuk segera menyelesaikan Perda tentang Miras karena draft-nya sudah ada,” janji mantan Penjabat (Pj.) Walikota Yogyakarta ini. (Rep-01)

Pos terkait