Ilustrasi (viva.co.id)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal Wahyudin menilai, langkah warga Jawa Timur, Muhammad Sholeh yang mengajukan gugatan atas sejumlah pasal menyangkut pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur dalam Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hal yang tepat sebagai bagian dari hak hukum bagi warga masyarakat.
“Saya kira sudah tepat mengajukan Judical Review (JR) UUK DIY ke MK untuk menguji apakah pasal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur melalui penetapan di uu ke istimewaan bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak,” kata Hamzal kepada kabarkota.com, Kamis (26/5/2016).
Pada persidangan perdana di MK, 17 Mei 2016 lalu, pemohon uji materiil UUK DIY, Muhammad Sholeh mengaku keberatan dengan aturan mengenai persyaratan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Utamanya, pada Pasal 18 ayat (1) huruf c, Pasal 18 ayat (2) huruf b, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,Pasal 28 ayat (5) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, huruf k UU Keistimewaan DIY.
Selain itu, ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c UUK DIY yang mensyaratkan pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Daerah lstimewa Yogyakarta harus bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur dianggap tidak demokratis karena menghalangi hak orang lain untuk dipilih sebagai Gubernur maupun Wakil Gubernur DIY
Hamzal memprediksi, peluang untuk dikabulkannya permohonan tersebut cukup besar. Mengingat, dalam sistem demokrasi, penentuan jabatan publik dalam kontek kepala daerah harus melalui proses pemilihan langsung oleh masyarakat, bukan melalui penetapan.
Hanya saja, pihaknya menyayangkan sikap majelis hakim MK yang cenerung mempersoalkan kedudukan hukum pemohon yang bukan warga Yogyakarta sehingga rentan untuk ditolak permohonan tersebut.
“Tapi menurut saya, bicara konstitusi itu setiap warga Negara tidak dibatasin oleh wilayah atau domisili. Bahwa dimanapun domisili bahwa pemohon selama dia warga negara indonesia berhak untuk mengajukan permohonan JR UU keistimewaan walaupun pemohon sebenarnya tidak berdampak langsung,” tegasnya. (Rep-03/Ed-03)