Konferensi pers jarak jauh LBH Yogyakarta, Senin (4/5/2020). (dok. screenshot zoom)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta menerima laporan 30 korban kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berinisial IM.
Pengacara publik LBH Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah mengaku, pihaknya menerima pengaduan tersebut sejak 17 April – 4 Mei 2020.
“Akhir april, beberapa teman dari penyintas mulai memberanikan diri bersuara di media sosial. Dari sinilah kemudian satu persatu pengaduan dengan pelaku yang sama berdatangan ke LBH Yogyakarta,” jelas Meila dalam konferensi pers online, pada Senin (4/5/2020).
Menurutnya, modus pelaku untuk melakukan tindakan asusila terhadap penyintas bermacam-macam cara. Ada yang dikontak melalui pesan pribadi di media sosial, telepon, hingga video call. Ada juga yang djebak untuk datang ke tempat kos pelaku, dengan berbagai dalih.
“Penyintas yang menjadi korban tindakan kekerasan seksual oleh IM mayoritas adalah juniornya di satu kampus, satu komunitas ataupun beberapa orang yang
menjadi “fans” dari pelaku,” ungkapnya.
Dengan kepopuleran dan kharisma sosok IM sebagai sosok yang ramah dan berprestasi, lanjut Meila, membuat para penyintas tak habis pikir, dan membuat mereka semakin tertekan secara psikologis.
“Tidak mudah bagi para penyintas menceritakan beban yang selama ini mereka rasakan. Bahkan dari banyaknya penyintas yang mengadukan kasusnya kepada kami, mayoritas mereka baru menceritakan ceritanya satu kali ini dan itu dilakukan kepada kami,” ucapnya.
Namun pihaknya tak memungkiri bahwa mencari keadilan bagi penyintas kasus kekerasan seksual bukan hal yang mudah. Lantaran relasi kuasa pada pelaku yang terlalu kuat, sehingga posisi penyintas justru menjadi terpojok.
Sementara, sesal Meila, beberapa pasal dalam KUHP juga sangat sulit untuk upaya pembuktiannya, seperti Pasal 285 tentang Perkosaan dan pasal 289 tentang Pencabulan.
“Kedua pasal tersebut yang lazim digunakan tetapi sangat sulit untuk membuktikan perkaranya di pengadilan,” tegasnya.
Selain itu, imbuh Meila, beberapa aturan hukum yang ada juga tidak berperspektif terhadap penyintas dan tidak mementingkan pada pemulihan korban.
Oleh karena itu terkait dengan kemungkinan kasus tersebut akan dibawa ke ranah hukum, Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia menyatakan, pihaknya menyerahkan putusan tersebut kepada para penyintas.
Namun demikian pihaknya berharap publik turut mendesak pemerintah agar membuat kebijakan yang memungkinkan penyintas lebih mudah mendapatkan keadilan, sehingga ke depan tak ada lagi penyelesaian kasus serupa dengan jalan non litigasi.
Sementara sebelumnya, Kepala Bagian Humas UII Yogyakarta, Ratna Permata Sari menyatakan, UII akan menyikapi secara serius terkait adanya laporan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh IM. Meskipun saat ini yang bersangkutan tak lagi berstatus sebagai mahasiswa di kampus tersebut.
“Kami mendorong IM untuk dapat menunjukkan iktikad baik dengan bersikap kooperatif, melakukan klarifikasi secara jujur, agar diperoleh kejelasan tentang kebenaran atas tuduhan yang ditujukan kepadanya, sehingga masalah ini dapat diselesaikan oleh para pihak dengan sebaik-baiknya,” pinta Ratna dalam siaran persnya, 2 Mei 2020.
Jika memang terbukti bersalah, maka hal tersebut juga harus dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Pihaknya juga menindaklanjuti laporan tersebut dengan membentuk tim pencari fakta dan tim untuk mendampingi korban atau penyintas secara psikologis, jika diperlukan.
“Kami menunjuk LKBH Fakultas Hukum UII untuk memfasilitasi korban atau penyintas yang berkeinginan untuk menempuh jalur hukum dalam rangka memperjuangkan dan melindungi hak-hak hukumnya,” ucapnya.
Buntut dadi tuduhan tersebut, Ratna menegaskan bahwa UII mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang diberikan kepada IM pada 2015 lalu. (Rep-01)