Billboard iklan rokok di jalan Kyai Mojo Yogyakarta (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Billboard berukuran sekitar 4×6 meter menguasai Jalan Kyai Mojo Yogyakarta. Papan iklan berkonten sketsa dua pria sedang berolah-raga itu didominasi warna merah putih. Di situ juga tertulis “We are Stronger” dibubuhi merk produk rokok yang terpampang jelas di sudut kanan atas dari baliho berukuran besar tersebut.
Di ujung barat Jalan K.H. Ahmad Dahlan Yogyakarta juga terpampang billboard iklan rokok dengan konten yang sama. Tak jauh dari titik papan iklan rokok itu, sekitar 70 meter ada gedung sekolah MAN II Yogyakarta. Di Jalan Dr. Sutomo Yogyakarta atau tepatnya di ujung utara jembatan layang Lempuyangan, dua Billboard berisi iklan rokok pun dipasang sekitar 75 meter saja dari fasade gedung SMA Bobkri 1 Yogyakarta, dan Kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).
Di sisi lain, Pemkot Yogyakarta juga mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) No. 2 Tahun 2017 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Lebih dari itu, tanggungan besar bagi Pemkot Yogyakarta adalah mewujudkan Kota Layak Anak (KLA) yang sesungguhnya, dan itu tak bisa dilepaskan dari penerapan Perda KTR.
Merujuk pada Perda No 2 Tahun 2017 itu, area di sekitar lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, dan tempat ibadah di Kota Yogyakarta telah ditetapkan sebagai KTR. Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan KTR sebagai ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau.
Lalu, apakah keberadaan iklan produk rokok yang terpampang di ruang-ruang publik itu menjadi pengganjal kenaikan level KLA di Kota Yogyakarta yang saat ini masih KLA Nindya?
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan, dan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta, Edy Muhammad mengaku, keberadaan iklan rokok itu sempat menjadi perhatian dan persepsi yang kurang baik di mata tim penilai.
“Parameternya banyak, sehingga kalau itu (iklan rokok) menjadi salah satu memang mungkin,” kata Edy kepada kabarkota,com, 23 Juli 2020.
Pihaknya mengungkapkan, Pemkot Yogyakarta memiliki Perda tentang Reklame yang mengatur jarak reklame dengan lembaga pendidikan, pusat kesehatan, dan tempat ibadah, serta konten iklannya.
Pasal 9 ayat (1) Perda No 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame menyebutkan bahwa penempatan reklame di area sekolah, di luar area sekolah dan di area tempat ibadah dengan jarak 75 meter dari bangunan terluar dilarang adanya reklame produk rokok, alat kontrasepsi dan/atau minuman beralkohol. Kemudian di ayat (3) juga ditegaskan bahwa reklame produk rokok dilarang di KTR (huruf a), dan diletakkan di jalan utama atau protokol (huruf b). Dan Jalan K.H. Ahmad Dahlan Yogyakarta termasuk salah satu yang disebut dalam Perda itu sebagai jalan utama atau jalan protokol (ayat (4) huruf i) yang dilarang untuk pemasangan iklan rokok
Aturan itu juga dikuatkan dengan Perda tentang KTR yang juga berkorelasi dengan Perda KLA. Perda Kota Yogyakarta No 1 Tahun 2016 tentang KLA, menjabarkan tentang parameter KLA yang memasukkan keberadaaan KTR (pasal 15 huruf i) sebagai bagian dari penilaian di Klaster Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan. Hal itu ditegaskan pula di Pasal 20 yang mengamanatkan adanya kebijakan, pengaturan dan penetapan Kawasan Tanpa Asap Rokok (ayat 4 huruf i) sebagai bagian dari upaya untuk perwujudan KLA di Kota Yogyakarta.
Hanya saja yang terjadi di lapangan, ungkap Edy, faktor jarak, tak berbanding lurus dengan jarak pandang karena keterbukaan di wilayah atau lokasi itu. “Artinya, dari sisi jarak sudah memenuhi atau melampaui tapi dari sisi pandangan mata masih terlihat,” sesal Edy.
Kepala Seksi Promosi dan Pemberdayaan Masyarakat Dinkes Kota Yogyakarta, Arumi Wulansari menganggap bahwa memang salah satu kekurangan Perda KTR ini adalah tidak adanya aturan yang jelas tentang reklame.
Dalam Perda KTR tak diatur spesifik tentang iklan rokok, dalih Arumi, karena sebelumnya telah ada Perda tentang Penyelenggaraan Reklame yang mengatur lebih detail tentang promosi produk di ruang publik. Sedangkan dari bunyi Perda tentang Penyelenggaraan Reklame, pada intinya jarak minimal yang masih ditoleransi untuk pemasangan iklan produk rokok hanya 75 meter dari bangunan terluar gedung. Radius kurang dari 100 meter di kota Yogyakarta yang luas wilayahnya relatif sempit dengan kepadatan penduduk yang tinggi, menjadikannya terlihat sangat berdekatan.
Luas wilayah Kota Yogyakarta sekitar 3.250 Hektare atau hanya kurang lebih 1 persen dari luas wilayah DIY. Sedangkan jumlah anak berdasarkan data Sistem Informasi Administrasi Kependudukan – Jogja Smart Service (SIAK – JSS) Kota Yogyakarta Tahun 2019 mencapai 27 persen dari total penduduk yang tercatat 416.049 jiwa.
Hasil Riskesdas tahun 2018 sebagaimana yang dipaparkan dalam lampiran Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta No 90 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Daerah Upaya P2PTM, prevalensi merokok penduduk usia lebih kecil atau sama dengan 18 tahun meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen. Khusus Yogyakarta, anak usia 10 -18 tahun yang merokok setiap hari angkanya jauh melebihi nasional, yakni 17.82 persen.
Pertanyaannya kemudian, mengapa keberadaan Perda sebagai penguat penerapan KTR justru terkesan lemah dalam perlindungan terhadap hak Kesehatan masyarakat? Pun demikian, penegakan Perda tersebut tak semulus yang diharapkan?
Tarik Ulur Raperda KTR
Menyoal Perda KTR Kota Yogyakarta, Arumi mengatakan, pengesahan Perda No 2 Tahun 2017 ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sejak Rancangan Perda (Raperda) yang ketika itu bernama Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR) masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) atas inisiatif DPRD pada tahun 2012, sekitar lima tahun kemudian baru disahkan.
Terbitnya Perda KTR ini tak lepas dari dorongan dari para aktivis antirokok, termasuk salah satunya Jogja Sehat Tanpa Tembakau (JSTT). Fauzi AN sebagai pendiri JSTT mengaku, sebetulnya advokasi agar Pemkot Yogyakarta membuat regulasi itu sudah ia lakukan sejak tahun 2010.
“Kami ingin menyelamatkan generasi muda tanpa rokok, karena orang sudah merokok sembarangan,” tegas Fauzi.
Tapi niat baik tersebut tak kunjung direspon oleh DPRD Kota Yogyakarta. Draf dan naskah akademik yang diusulkan ke dewan melalui Dinkes selalu mental. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang ketika itu paling getol menolak penerapan KTR di Kota Yogyakarta.
Kejanggalan muncul sekitar tahun 2016, ketika pihaknya diundang Biro Hukum Dinkes untuk berdiskusi. Ternyata DPRD menginisiasi Raperda tentang KTAR dan telah masuk dalam pembahasan. Terlebih, Fraksi PDIP yang sebelumnya tegas menolak penerapan KTR, tiba-tiba menjadi fraksi di dewan yang paling getol memperjuangkan agar Raperda KTAR disahkan. Hal tersebut memunculkan tanda tanya besar.
Namun dari draf dan naskah akademiknya, Fauzi mensinyalir ada pasal-pasal titipan dari pelaku industri yang diwakilkan melalui komunitas pro tembakau (Komtek). “Waktu itu kami menolak. Alot itu. Sampai saya sebagai civil society dari LSM, kami sudah memberikan warning kepada Pemkot, agar menolak itu karena tak sesuai dengan UU Kesehatan,” imbuh Fauzi.
Anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDIP, Antonius Fokki Ardiyanto mengaku, awalnya PDIP memang menolak. Pihaknya berdalih belum ada penelitian sahih yang bisa membuktikan merokok itu membahayakan kesehatan. Tetapi, jelas bahwa rokok sudah menjadi bagian dari budaya yang membawa dampak ekonomi dan sosial. Cukai rokok memberikan kontribusi besar untuk perekonomian kota Yogyakarta.
“Bea bagi hasil cukai rokok yang diberikan kementerian Keuangan ke APBD, itu 100 persen digunakan untuk kesehatan,” dalihnya.
Hanya saja saat dikonfirmasi, pernyataan Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Dinkes Kota Yogyakarta, Tri Mardoyo kontras dengan penyampaian Fokki. Tri mengungkapkan bahwa cukai rokok yang masuk Pemkot sebagian juga dibagi untuk pembiayaan di luar bidang kesehatan. “Memang porsi terbanyak di Dinkes,” tegas Tri.
Fokki membeberkan alasan perubahan sikap fraksinya tentang rencana penerapan KTR di Kota Yogyakarta. “DPRD ini lembaga politik, maka nuansanya juga politik,” tegasnya.
DPRD sebagai lembaga politik, sambung Fokki, maka kebijakan yang diambil juga sarat dengan kepentingan politis. Kesepatan yang akhirnya terjadi itu sebagai hasil dari kompromi-kompromi antarfraksi.
Waktu itu, kata dia, fenomena KTR menjadi isu utama dan input seluruh Indonesia, termasuk Kota Yogyakarta, sehingga waktu itu terjadi proses- proses dialog. Satu pihak berkaca dadi sisi kesehatan versi kemenkes. Satu pihak lainnya berkaca dari sisi ekonomi, sosial, dan budaya sebagai versi kesehatan tandingan.
“Sebelum menjadi kesepakatan semua fraksi di DPRD, Raperda KTAR didorong masuk kembali oleh Partai Demokrat yang ketika itu mengusai 10 kursi dan didukung beberapa fraksi di legislatif. Sedangkan PDIP dengan 11 kursi, posisinya menolak sendiri,” paparnya.
Disinggung soal pasal-pasal karet yang memberikan peluang bagi industri rokok untuk bisa mendapatkan ruang di kota Yogyakarta, seperti dalam bentuk, pemasangan reklame iklan produk rokok maupun sponsorship event olah raga dan hiburan di Gedung Olah Raga (GOR) tertutup, Fokki berkilah bahwa yang sama sekali tidak boleh ada promosi maupun penjualan produk rokok itu di Fasilitas Kesehatan, Fasilitas Pendidikan, dan Fasilitas keagamaan.
“Kalau ada pelanggaran di lapangan berarti yang memble Pemkotnya,” anggap Fokki.
Pihaknya berpendapat bahwa keberhasilan penerapan Perda itu sangat tergantung pada ketegasan Pemkot. “Yang jelas, Perda sudah mengatur jarak pemasangan iklan secara rigit,” tuturnya.
Sementara Plt. Dinkes Kota Yogyakarta menimpali dengan mengungkapkan bahwa yang mengusulkan pasal-pasal pengecualian dalam Perda KTR justru dari legislatif.
“Tentunya kesehatan penting, tapi mungkin dewan juga memberikan peluang bisnis, istilahnya,” sambung Tri.
Dalam Perda KTR memuat pasal pengecualian larangan iklan rokok yang dijabarkan di pasal 22. Jika di pasal 14 telah ditegaskan bahwa fasilitas olah raga dalam ruangan atau gedung tertutup termasuk KTR (huruf i), maka pasal 22 ayat 3 menyatakan bahwa larangan mempromosikan rokok dikecualikan terhadap kegiatan promosi rokok di fasilitas olah raga dalam ruang/gedung tertutup.
Salah seorang penerima jasa pemesanan reklame, Putra Wibawa mengatakan bahwa dari sisi tarif, sebenarnya pemasangan reklame, terutama produk rokok itu relatif lebih besar dibandingkan dengan produk non tembakau lainnya. Termasuk juga untuk nilai pajak yang harus disetorkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
“Untuk rokok, dimanapun tetap beda, karena lebih mahal dan lebih ketat,” jelas Putra.
Pihaknya menyebutkan, untuk reklame iklan di luar produk rokok ukuran 6×4 meter saja tarifnya kisaran Rp 5 juta – Rp 8 juta per bulan, tergantung lokasinya. Maka, tarif untuk iklan rokok di atas harga rata-rata tersebut. Begitu juga dengan pajak yang dikenakan. Nilai pajak yang harus disetorkan dihitung per tahun, dan besarannya tergantung ketetapan dari Pemda setempat. Termasuk menyesuaikan, jika ada Perda yang berkaitan dengan aturan pemasangan iklan produk rokok, semisal di Kota Yogyakarta.
“Iya memang harus sesuai. Kadang katanya di tempat yang akan kami pasang reklame itu tidak diizinkan karena Perda ini itu, tetapi kenyataannya ada juga yang membangun di situ,” sesalnya.
Terkait dengan reklame di tempat umum, termasuk iklan produk rokok, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta telah menerbitkan Perwal No 2 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Perwal No 51 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Yogyakarta No 1 tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Pasal 2 ayat (1) dari Perwal yang diundangkan pada 2 Januari 2012 itu disebutkan bahwa “Perhitungan Nilai Sewa Reklame (NSR) ditentukan oleh jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah dan ukuran media reklame”.
Sementara Fauzi dari JSTT menilai, sejak awal, draf usulan dari dewan justru melemahkan kebijakan itu sendiri. Mulai dari pemilihan judulnya yang menggunakan Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTAR) sudah memicu perdebatan panjang.
Mereka, sebut Fauzi, ingin menghilangkan pembatasan itu. Misalnya, tempat umum dan tempat kerja diperbolehkan untuk merokok di dalam ruangan. Mereka juga menginginkan private office tidak masuk KTAR. Tak sampai di situ, mereka juga menginginkan larangan iklan rokok di KTR dilonggarkan, seperti di stadion olah raga yang seharusnya termasuk KTR menjadi tempat yang dikecualikan sehingga bisa menjadi tempat bebas merokok, mengiklankan dan menjual rokok, dengan sasaran GOR Amongrogo, dan stadion di kota Yogyakarta.
“What’s behind this? Ternyata setelah kami pelajari, ini ada kepentingan dari industri yang ingin membuat event-event di situ. Ternyata terbukti kan?,” sesalnya.
Lain halnya dengan Fraksi PDIP, Anggota DPRD dari Fraksi PAN, M. Ali Fahmi mengaku, sejak awal fraksinya mendukung rencana penertapan KTR di Kota Yogyakarta. Pihaknya menginginkan agar Perda KTR menjadi payung hukum yang benar-benar memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara luas. Mengingat, banyak orang sakit yang salah satunya disebabkan oleh asap rokok.
Menurutnya, Proses panjang terbitnya Perda No 2 Tahun 2017 itu belum menghasilkan Perda yang cukup ideal.
“Idealnya kalau Perda itu selesai 2-3 bulan. Tapi ini sampai 5 tahunan. Ketika mengusulkan 2013 itu dewan periode lama (2009-2014), kemudian yang membentuk pansus (akhir 2014) dan membahas itu dewan baru (2014-2019) yang baru dilantik. Tahun 2016 selesai pembahasan, tapi masih ada proses no registrasi di Gubernur sehingga awal 2017 baru keluar Perda No 2 Tahun 2017 itu,” tuturnya.
Pihaknya ingin pengawasan implementasi lebih diperketat. KTR bisa diperluas dengan memperluas kawasan. Pemkot punya kewajiban menyediakan tempat khusus untuk merokok sehingga berimbang dan nyaman untuk wisatawan.
Terlebih, banyak orang sakit yang salah satunya disebabkan oleh asap rokok. “Paling kasihan itu perokok pasif. Dia tidak merokok, tapi terdampak. Itu bahaya. Ketika misalnya 450 ribu jiwa warga Kota Yogyakarta menjadi sakit, maka nilai cukai rokok itu menjadi kecil,” sebutnya.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 tercatat, prevalensi penyakit diabetes melitus (DM) di Kota Yogyakarta sebesar 4.9 persen. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang masih 2 persen. Dari jumlah kasus per jenis PTM di Kota Yogyakarta dalam kurun waktu 2014 – 2018. Penyakit hipertensi ternyata menempati urutan pertama di antara empat jenis PTM lainnya, yakni penyakit ginjal, kanker payudara dan kanker leher rahim. Bahkan apda tahun 2017, total terdapat 96 kasus kematian akibat Diabetes Militus di Kota Yogyakarta.
Rokok menjadi salah satu pemicu munculnya PTM. Menurut United States Surgeon General’s Report (2004) yang dikutip dari paparan materi dari Koordinator Tobacco Quit Indonesia, Yayi Suryo Prabandari, dengan judul “Perokok di Yogyakarta dalam Angka”, rokok dapat menyebabkan penyakit pada hampir semua organ tubuh manusia.
Pelanggaran Perda Terabaikan
Lemahnya pengawasan dalam penerapan Perda No 2 Tahun 2017 juga pernah disoroti Forum Pemantau Independen (Forpi) Pakta Integritas Kota Yogyakarta. Baharuddin Kamba yang ketika itu menjadi Koordinator Forpi melaporkan, dari hari pemantauannya di sejumlah ruang khusus merokok di kompleks Balaikota Yogyakarta, pada 14 Oktober 2019, masih banyak ditemukan pelanggaran.
Dari hasil temuannya, masih ada orang yang merokok di luar tempat yang telah disediakan di dalam kompleks Balaikota. Hal itu terlihat juga dari puntung-puntung rokok yang berserakan di mana-mana. Penunjuk arah ke ruang merokok juga tak terlihat sehingga Bahar menduga, itu menjadi salah satu faktor orang masih banyak merokok di luar ruang khusus merokok. Dari sisi infrastruktur, Forpi melihat ada pintu ruangan khusus merokok yang engselnya mulai rusak.
Temuan Forpi itu ternyata sejalan dengan hasil survei yang dilakukan Tim Monitoring dan Evaluasi tentang kepatuhan terhadap Perda KTR, dengan sasaran tempat-tempat umum dan perkantoran, pada tahun yang sama.
“Beberapa memang masih kami pelanggaran. Misalnya merokok di kantor, ditemukan bau rokok di kantor yang seharusnya termasuk KTR,” sesal Arumi. Bahkan, di gedung DPRD yang notabene para anggota dewannya menjadi pengusung inisiatif Perda KTR ketika itu, tak mengizinkan tim monitoring melakukan pengecekan di dalam gedung wakil rakyat.
“DPRD itu dia tidak mau di-monev, yang boleh dimonev hanya di sekwan,” ujarnya.
Anggota DPRD, M. Ali Fahmi juga mengakui, sampai sekarang, kantor DPRD Kota Yogyakarta belum memiliki bilik khusus untuk merokok. Pihaknya tak menjelaskan alasan belum tersedianya tempat khusus merokok yang diamanatkan dalam Perda yang telah mereka sepakati bersama.
Nasib Penegakan Perda di kala Pandemi
Dari temuan-temuan yang mengindikasikan masih lemahnya penegakan Perda KTR itu, sebenarnya Forpi telah merekomendasikan agar Pemkot gencar melakukan sosialisasi untuk menggugah kesadaran masyarakat supaya mengubah perilaku dalam merokok, memperbaiki fasilitas pendukung yang rusak, serta melakukan penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran.
Menurut Bahar, subtansi dari Perda No 2 Tahun 2017 tersebut adalah larangan merokok di area KTR, seperti di Rumah Sakit, Puskesmas, Poliklinik, sekolah, tempat bermain, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat kerja. Sedangkan sanksi bagi pelanggar, mulai dari teguran hingga ancaman pidana kurungan maksimal satu bulan dan denda paling Rp 7,5 juta.
Sementara dari pantauan kabarkota.com di kompleks Balaikota Yogyakarta pada 26 Juni 2020, temuan-temuan Forpi tentang infrastruktur pendukung yang mulai rusak, dan puntung rokok yang berserakan masih terlihat, bahkan di dalam bilik khusus merokok yang disediakan.
Bilik merokok di kompleks Balaikota Yogyakarta yang tampak penuh dengan puntung rokok, pada 26 Juni 2020. (dok. kabarkota.com)
Menanggapi hal itu, Kepala Dinkes beralasan, selama masa pandemi, energi Pemkot tercurah untuk menangani Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Kota Yogyakarta sehingga urusan penegakan Perda KTR sementara waktu luput dari perhatian. Termasuk rencana penerapan KTR di Kawasan Malioboro yang semestinya launching pada bulan Maret lalu.
Dinkes yang tengah menjalin kerjasama hibah dengan The Union untuk melakukan survei kepatuhan Perda KTR juga menunda program kerjasama tersebut hingga akhir tahun 2020 mendatang. (Ed-01)