LSM dan Akademisi Yogya Angkat Bicara Soal Perppu Ormas

Ilustrasi (dok. HTI)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Tudingan sebagian kalangan bahwa terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2 Tahun 2017 sebagai perubahan atas UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sebagai “senjata” Negara untuk membubarkan ormas yang dianggap anti Pancasila dan UUD 45, dalam hal ini mengarah ke Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terbukti sudah.

Bacaan Lainnya

Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto saat dihubungi kabarkota.com, 17 Juli 2017 lalu, sangat meyakini, lahirnya Perppu tersebut untuk menyasar organisasi mereka.

“Iya jelas sekali. Mereka (pemerintah) ingin membubarkan kami. Karena menggunakan Undang-undang lama terasa sulit, lalu dibuatlah peraturan yang memudahkan mereka,” kata Ismail.

Sebelumnya, beberapa kali pemerintah membantah tudingan tersebut melalui berbagai media. Namun, baru beberapa hari Perppu disahkan oleh Presiden, tepatnya pada 10 Juli 2017, DPR juga belum memberikan persetujuan di tengah pro dan kontra di masyarakat, tiba-tiba hari Rabu (19/7/2017), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengumumkan Surat Keputusan (SK) Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menkumham Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI. Dengan kata lain, pemerintah secara resmi telah membubarkan HTI. Padahal, pengajuan uji materiil Perppu Ormas baru disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh HTI, 17 Juli 2017 kemarin.

Pembubaran didasarkan pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 80A. “Keputusan ini merupakan tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, yang didalamnya mengatur penindakan dan sanksi kepada perkumpulan atau ormas yang melakukan upaya atau aktivitas yang tidak sesuai dengan kehidupan ideologi Pancasila dan hukum NKRI,” kata Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kemenkumham, Freddy Harris, seperti dilansir laman setkab, Rabu (19/7/2017).

Selain itu, Presiden RI, Joko Widodo berdalih bahwa pihaknya telah melakukan kajian, dan pengamatan yang lama, serta mempertimbangkan masukan dari banyak kalangan, termasuk para ulama.

Di mata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Hamzal Wahyudin yang sejak awal menolak terbitnya Perppu Ormas, beranggapan bahwa sikap itu sebagai tindakan reaktif pemerintah. Mengingat, ada persoalan dengan ormas saat Pilkada DKI Jakarta yang melontarkan suara-suara kebencian hingga membuat kisruh situasi.

“Ada kewenangan cukup besar yang diberikan kepada pemerintah dalam membubarkan Ormas tanpa melalui pengadilan, melalui Perppu No 2 Tahun 2017. Padahal menurut kami, segala sesuatu yang berkaitan dengan hak kebebasan berserikat itu harus melalui proses peradilan, sehingga fair,” jelas Hamzal.

Pendapat serupa juga dilontarkan Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) Yogyakarta, Anang Zubaidy. Menurutnya, jika melihat ketentuan-ketentuan di dalam konstitusi dan UU Ormas sebelum hadirnya Perppu 2/2017, keterlibatan pengadilan dalam pembubaran Ormas sejatinya dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan saling kontrol (check and balances) antar cabang kekuasaan yang merupakan salah satu bagian penting dalam negara yang demokratis. Sementara, Perppu Nomor 2/2017 justru menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menjadi penyelesai akhir dalam hal adanya pelanggaran hukum oleh suatu ormas tertentu.

“Pembubaran ormas yang melanggar UU Ormas, berdasarkan Perppu, justru dilakukan sepihak oleh Pemerintah dengan mendalilkan asas contrarius actus (pihak yang mengeluarkan izin, berwenang mencabut izin). Padahal, mekanisme penerbitan maupun pencabutan semestinya tetap berdasarkan hukum dan kepentingan publik,” ungkap Anang.

Hal ini, lanjut Anang, karena izin dan dokumen izin merupakan domain publik (public domein), sehingga penerbitan maupun pencabutan sudah semestinya tidak bisa dilakukan sepihak oleh pemerintah, melainkan harus memaksimalkan keterlibatan publik. Mekanisme persidangan di pengadilan yang dibuka dan terbuka untuk umum adalah salah satu ciri pemenuhan hak publik dimaksud.

Anang menambahkan, semestinya penerbitan dan pencabutan izin dipisahkan dengan pembubaran. Sebab, penerbitan maupun pencabutan izin merupakan instrumen administratif pemerintahan. Sedangkan pembubaran merupakan ranah penegakan hukum. Hal itu dikarenakan pembubaran suatu ormas sejatinya “penghilangan paksa” atas hak ormas untuk eksis dan secara tidak langsung merupakan penghilangan hak/kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

“Apa yang dilakukan pemerintah dengan memproses pembubaran HTI, potensial digugat di PTUN,” anggap Dosen FH UII Yogyakarta ini.

Meski demikian, tak semua ormas menentang kehadiran Perppu tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY, Nizar Ali justru secara terang-terangan mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah dalam mengontrol eksistensi ideologi Negara yang berdasar pada Pancasila dan UUD 45. Terlebih, mantan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) DIY ini mensinyalir di Yogyakarta juga ada sejumlah ormas yang berpotensi terjerat aturan baru tersebut.

“Selama ormas berada dalam koridor yang benar, sebenarnya tidak perlu takut dengan keluarnya Perppu itu,” ujarnya. (Rep-03)

SUTRIYATI

Pos terkait