Membangun BUMDes dengan Semangat Kewirausahaan Sosial

Diskusi Bulanan tentang “Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Aset”, di Joglo Winasis IRE Yogyakarta, Selasa (31/7/2018). (sutriyati/kabarkota.com)

SLEMAN (kabarkota.com) – Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi salah satu yang diamanatkan dalam Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam perjalanannya, tidak mudah bagi desa-desa untuk mewujudkan badan usaha tersebut. Meskipun sebenarnya masing-masing desa memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar.

Bacaan Lainnya

Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Sunaji Zamroni menduga, ada dua narasi besar yang kemungkinan tengah terjadi dalam pengelolaan BUMDes. Pertama, BUMDes sebagai alat untuk melakukan industrialisasi aset-aset desa. Kedua, BUMDes digunakan sebagai instrumen untuk memberdayakan masyarakat di desa.

“Sesungguhnya BUMDes ini mau dibawa ke mana?” kata Naji saat membuka Diskusi Bulanan tentang “Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Aset”, di Joglo Winasis IRE Yogyakarta, Selasa (31/7/2018).

Peneliti IRE Yogyakarta, Bambang Hudayana berpendapat bahwa kewirausahaan sosial di desa menjadi bagian terpenting dalam menjalankan BUMDes. Mengingat, BUMDes yang tumbuh baik, memberikan dampak positif bagi pemberdayaan masyarakat itu ternyata lahir dari para wirausahawan sosial di desa yang benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat.

“Jadi tidak berdiri dari SK Kepala Desa, ataupun adanya UU Desa tapi sudah ada embrio dari aktor-aktor wirausahawan sosial itu,” sebut Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Selain itu, lanjut Bambang, kemajuan BUMDes juga ditopang oleh dua pilar lainnya, yakni kepala desa yang inovatif, dan warga yang memiliki modal sosial besar untuk menghasilkan penghidupan yang produktif.

“Kata kuncinya bukan pada kekayaan desanya tapi SDM-nya,” tegas Bambang.

Sarbini selaku Kepala Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, DIY, mengamini bahwa SDM menjadi permasalahan dalam pengembangan ekonomi desa. Terlebih, desanya sempat mengalami kekosongan jabatan Kepala Desa selama 15 tahun.

“Pihak swasta lebih dulu mengambil posisi strategis, baik dari sisi sosial maupun ekonomi sehingga kami hanya menjadi penonton,” sesalnya. Namun akhirnya Desa Sariharjo kini mampu membangun perusahaan air minum, setelah menjalin kerjasama dengan ITB.

Meski begitu, pihaknya masih berharap agar uang yang dikelola dengan nilai sekitar Rp 7,5 Milyar dari berbagai sumber itu bisa lebih dimanfaatkan untuk membangun desanya.

Berbeda dengan cerita Direktur BUMDes Karangrejek, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, Ton Martono yang mengaku telah memetik hasil besar dari pengelolaan sumber air di wilayahnya, sejak tahun 1980-an lalu.

Menurutnya, Karangrejek sebelumnya masih dalam kategori Desa Tertinggal dan Terpencil, dengan permasalahan utama kekurangan air bersih saat kemarau panjang melanda setiap tahunnya. Kondisi tersebut mendorong dirinya bersama warga ketika itu untuk membangun instalasi air bersih yang pada awalnya untuk mencukupi kebutuhan warga sekitar.

Seiring berjalannya waktu, kini jumlah pelanggan air bersih di Karangrejek sebanyak 1.312, dan tidak hanya dari warga sekitar namun juga desa-desa lain di wilayah Gunung Kidul. Kesuksesan mengelola satu produk unggulan itu, kini Desa Karangrejek juga mengembangkan berbagai unit usaha lainnya sehingga mampu memberdayakan masyarakat, sekaligus membantu warga yang kurang mampu, dengan berbagai program sosial dari dana yang bersumber dari unit-unit usaha tersebut.

“Tahun 2023 kami siap menjadi desa metropolitan,” ungkapnya Bangga dan disambut tepuk tangan dari para peserta diskusi. (sutriyati)

Pos terkait