Memberikan Makan Rakyat dan Membantu Warga Dunia

Belakangan ini, kegagalan Pemerintah dalam upaya menyediakan pangan melalui proyek food estate menjadi tekanan bagi Prabowo Subianto dan Presiden, Joko Widodo (Jokowi) selaku mentornya.

Betapa kasihannya para pemimpin itu karena harus menjadi bulan-bulanan atas hal yang tidak diketahui namun dilakukan.

Proyek yang “dikerjakan” oleh kedua pemimpin itu mirip dengan yang dulu pernah dilakukan oleh Presiden, Soeharto (Pak Harto) atas lahan yang juga berada di Kalimantan, menjelang akhir kekuasaannya.

Dari Menteri Lingkungan Hidup era Soeharto, Sarwono Kusumaatmaja, kita mendapatkan kisah bagaimana Pak Harto sebagai pemimpin ingin menyiapkan cadangan pangan rakyat agar tidak perlu lagi mengimpor pangan.

Ketika itu, lahan di Jawa sudah sempit dan jumlah penduduk terus membesar. Sementara di Kalimantan tersedia lahan luas dan menganggur sesudah kayunya yang tumbuh di kawasan jutaan hektar diambil. Jadi wajar jika seorang presiden menginginkan lahan-lahan itu dimanfaatkan agar menghasilkan pangan bagi rakyat.

Tapi, perintah Pak Harto tersebut ternyata segera tidak ditindaklanjuti oleh para pembantunya di bidang terkait. Sebagai sesama pembantu presiden, Sarwono mengingatkan supaya para menteri dan pejabat di bawahnya.

Benar saja, ketika waktu sudah mepet, proyek tersebut akhirnya dilaksanakan, dengan tergesa-gesa. Lahan satu juta hektar dibuka dan kayunya diambil oleh pengusaha yang mungkin sebagian publik tahu siapa oknumnya.

Dalam waktu singkat tersedia lahan seluas kurang lebih 1 juta hektar yang kemudian populer dengan lahan sejuta hektar. Langkah cepat pun segera dilakukan melalui proyek penanaman lahan tersebut dengan padi dan tanaman pangan lain.

Lalu, apa yang terjadi? Proyek itu gagal total dan menyisakan lahan terbuka, yang belakangan diketaui publik bahwa lahan tersebut telah dikapling-kapling oleh para pengusaha.

Pertanyannya kemudian, apa yang salah dari cerita ‘horor’ ini? Satu perkara yang paling pokok adalah nihilnya studi atau kajian pendahuluan yang jujur dan benar untuk proyek raksasa tersebut.

Presiden Jokowi ternyata melakukan hal yang hampir sama dengan Pak Harto. Ia ingin gerak cepat jelang purna tugas. Para menteri tentulah tahu ihwal cerita pilu lahan sejuta hektar itu, tapi agaknya Jokowi ngotot.

“Kalangan” yang siap melaksanakan tugas tanpa reserve tentulah tentara. Siapa lagi kalau bukan Prabowo? Kisah selanjutnya pun mirip karena lahan disiapkan dengan membabat hutan. Kemudina, kayunya dipanen oleh kalangan pengusaha dan ujung kisahnya juga sama, gagal.

Apa yang salah di balik kegagalan proyek itu? Tetap sama persis, yakni tiadanya studi atau kajian pendahuluan yang dilakukan dengan benar dan disampaikan dengan jujur.

Mungkin saja muncul pertanyaan yang tak kalah penting. Apakah tidak ada ahli yang paham ihwal lahan di Kalimantan dan cara mengolah lahan di kawasan ini untuk pertanian? Tentu saja, ada! Hanya masalahnya, mereka tidak dimintai pendapat. Bahkan, para mantan dosen Jokowi dan rekan-rekannya di Fakultas Kehutanan serta para koleganya yang merupakan ahli pertanian kesulitan mendapatkan akses langsung ke Presiden. Kita paham bahwa ketika kekuasaan semakin besar dan absolut, maka ia kerap menutup diri.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara menyelesaikan persoalan ini? Sederhana saja, cukup ajukan pertanyaan kepada para ahli terkait tentang cara menyediakan pangan untuk rakyat. Bukan kepada para pengusaha, karena jawabannya bisa jadi lain. Sebab, para penguasaha akan cenderung suka dengan proyek-proyek pemerintah seperti itu, dengan harapan dananya bisa mereka serap. Perkara pemerintah gagal bukan urusan mereka.

Sayangnya, yang terjadi pada Pak Harto dan Jokowi sama, masalah itu ditanyakan ke pengusaha, padahal itu bukan urusan mereka. Apalagi pengusaha pada era kedua pemimpin itu sama jenisnya, yakni pengusaha yang rangkap jabatan sebagai penguasa.

Kembali ke para ahli. Apa kata mereka? Pertama, mohon pahami dulu karakter lahan di setiap kawasan. Jangan srudak-sruduk langsung tanam ini dan itu. Lahan punya jiwa seperti manusia. Ia mampu berkata, “Emang lu siapa!”.

Salah satu guru Jokowi yang kini menjadi sesepuh Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Dr. Mohammad Na’iem pernah mengatakan, jika kita memahami setiap jengkah lahan yang ada di NKRI, kita akan dikaruniai pemahaman yang cukup untuk memanfaatkannya. Kita akan tahu mana jenis lahan untuk pangan dan lahan untuk hutan; mana jenis lahan untuk buah dan lahan untuk peternakan, perikanan, dan seterusnya.

Penguasa yang memahami karakter lahan di Indonesia hampir dipastikan akan dapat membawa negeri ini menjadi lumbung pangan, bahkan di tingkat dunia. Dengan menjadi lumbung pangan, kebutuhan rakyat sendiri tentu akan tercukupi. Rentetannya, buah hubungan atau pergaulan antarnegara-bangsa yang baik akan menumbuhkan Indonesia menjadi negara-bangsa dengan sifat pemurah kepada sesama.

Masih menurut Prof. Naiem, jika Anda ingin menanam tanaman pangan, tanamlah di lahan-lahan subur, seperti di Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua. Sementara lahan asam seperti di Kalimantan lebih cocok untuk tanaman buah-buahan dan sayuran.

Agar air selalu tersedia tapi bencana banjir dan longsor bisa dihindari, maka Anda harus memastikan bahwa hutan dalam jumlah yang cukup harus tetap tersedia.

Di teknik budidaya hutan pangan bisa diatur jarak tanam pohon hutan yang panjang dengan sela pohon ditanami tanaman pangan buah dan sayur serta tanaman obat.

Jika hutan Indonesia telanjur dirusak oleh manusia, maka Anda harus menanam lagi. Adakan proyek penghijauan dalam skala besar, dan yang namanya menanam tanaman penghijauan itu harus dilakukan pada musim penghujan, bukan di musim kemarau agar bibit tanamannya bisa tumbuh dengan baik.

Perlu diketahui juga bahwa pada setiap tahun itu terdapat masa atau periode gagal tanam. Pada bulan-bulan tertentu itu, bumi sedang menyembuhkan diri dengan bantuan matahari dan makhluk Allah SWT yang lain di alam semesta ini.

Para pemeluk agama dan kepercayaan tentu sangat paham tentang karakter lingkungannya, termasuk lahan di sekitar mereka. Dalam satu kabupaten saja, karakter lahan bisa berbeda.
Sebagai ilustrasi, jika Anda tinggal di pegunungan yang tinggi, dengan angin dan hujan yang datang dari Asia pada satu sisi dan angin serta hujan dari kawasan Australia pada sisi lain, maka hampir bisa dipastikan bahwa hasil panen akan bisa didapat sepanjang tahun.

Sebaliknya, ada juga wilayah-wilayah yang memang sulit ditanami apa pun. Namun Sang Maha Pemurah memberikan ganti berupa limpahan ikan dan hasil budidaya peternakan. Semua itu tentu bisa didapatkan apabila kita memiliki kerendahan hati yang diikuti kemauan besar untuk memahami bumi dan berbagai karakternya yang tidak tunggal.

Apakah lahan Kalimantan tidak cocok untuk tanaman pangan? Tentu saja cocok. Dengan catatan, kita benar-benar memahami jenis tanaman pangan yang sesuai dengan karakter lahan dan cara menanamnya.

Saudara kita dari etnis Dayak telah membuktikan bahwa mereka bisa menghasilkan jenis beras yang rasanya jauh lebih enak dibanding beras produksi di Pulau Jawa. Mereka menerapkan sistem intensifikasi di Kalimantan.

Hanya saja, kebutuhan beras yang semakin tinggi akibat politik beras pada masa lalu telah meminggirkan cara tanam masyarakat lokal di sana. Dampaknya, masyarakat Dayak di Tenggarong, misalnya, kini mengikuti cara tanam para petani Jawa yang dari sisi biaya sangat mahal. Meskipun Pemda setempat telah menyediakan dana untuk itu.

Sekarang apakah yang harus dilakukan agar lahan di Kalimantan yang tergolong lahan asam dapat ditanami padi yang menutup ph netral? Tambahkan saja kapur di sana. Oleh karena itu, para petani Dayak seharusnya tidak hanya mendapatkan subsidi pupuk, tapi juga subsidi kapur untuk lahan pertanian sehingga lahan mereka berubah jadi lahan seperti di Jawa. Kebutuhan kapur itu bisa didatangkan dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Jadi jika Anda mempunyai satu hektar lahan asam di Kalimantan yang ingin diubah menjadi lahan pertanian seperti di Jawa, maka kebutuhan kapurnya kira-kira sebesar Gunung Sumbing di Jawa Tengah.

Dulu ketika kebutuhan kapur untuk 1 juta hektar sebanyak itu disampaikan, para staf Pak Harto justru mengira itu sebagai ejekan. Kini, ketika para ahli tanah, pertanian, dan pangan memberikan masukan agar mimpi food estate di Kalimantan terwujud maka dibutuhkan pasokan batu kapur sebanyak itu, juga dianggap sebagai olok-olok.

Tapi sekali lagi, sebenarnya lahan di Kalimantan itu cocok untuk tanaman buah dan sayur-mayur, tanpa harus mengubah karakter tanahnya.

Sementara lahan di wilayah Timur dapat dimanfaatkan untuk peternakan sapi, kuda, dan kambing. Lalu di mana lahan yang cocok untuk budidaya kerbau, domba, ayam dan ikan? Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan termasuk cocok untuk peternakan kerbau. Sedangkan Pulau Bali dan wilayah Timur Indonesia lebih cocok untuk peternakan sapi Bali, sapi asli Indonesia keturunan banteng. Sapi ini memiliki karekter unik, yakni mampu hidup dan berkembang biak dengan baik di lahan tandus dan dengan makanan yang kualitasnya buruk, seperti di lahan sawit.

Guru besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Ali Agus menjelaskan, jika saja dalam satu hektar lahan sawit terdapat sepasang sapi Bali, maka jutaan ekor sapi dapat dihasilkan dari sana.Tentu ada syarat yang harus dipenuhi, yakni kita dituntut memahami dan menghormati hak lahan atau hak tanah dan lingkungan. Syarat itu bisa dipenuhi, jika kita mengetahui karakternya. Selain itu, kita juga perlu mendorong warga agar mau menjadi petani yang berpengetahuan tentang bumi dan tanah, serta bisa mengembahkan pertanian yang ramah lingkungan. (mfc)

Tulisan ini juga telah dipublikasikan di laman facebook M Faried Cahyono

Pos terkait