Ilustrasi (dok. kabarkota.com)
JAKARTa (kabarkota.com) – Menteri Agama (Menag) RI, Lukman Hakim Saifuddin menegaskan bahwa pada dasarnya semua agama tidak mentolerir terhadap perilaku atau praktek Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) yang akhir-akhir ini masif dikampanyekan dan meresahkan sebagian besar masyarakat di tanah air.
Menurut Menag, semua agama melalui kitab sucinya menyinggung tentang LGBT. Hanya saja, sejauh ini masih ada kesan simplikasi atau generalisasi atas LGBT, dalam tinjauan agama misalnya Islam, Lesbian, gay dan Biseksual (LGB) itu satu kelompok tersendiri yang lebih menitiktekankan kepada orintasi seksual, sementara transgender tidak ada hubungannya dengan orientasi seksual, karena transgender adalah ketidaksamaan indentitas terhadap jenis kelamin dirinya.
Menag juga mengilustrasikan, agama Buddha menafikannya dalam instrumen relasi sosial masyarakat, sementara agama Hindu mengakui eksistensinya tapi tidak memberi legitimasi.
Dalam Fiqh Islam, papar Menag, dibedakan penerapan hukum terhadap transgender dan LGB. Misalnya prilaku LGB dalam istilah fiqh dikenal Liwath adalah prilaku yang amoral dan ditentang. Itu adalah norma yang tidak di bolehkan karena merusak generasi dan peradaban.
“Dan yang terkait dengan transgender yang dalam istilah fiqh dikenal dengan Khunsa itu dianggap sesuatu yang kodrati. Dalam kajian fiqh, orang yang menjadi LGB itu lebih karena pengaruh lingkungan bukan sesuatu yang kodrati (given),” jelas Menag melalui laman Kemenag, Jumat (19/2/2016)m
Indonesia, sebut Menag, adalah masyarakat yang religius, sehingga konstitusinya pun tidak memberikan porsi terhadap prilaku, termasuk dalam Undang Undang Perkawinan dan Adminduk.
Selain dari sisi agama, Lukman berpendapat isu LGBT dalam konteks global adalah bagian dari kapitalisasi .
“LGBT adalah komoditi menggiurkan dalam pasar yang potensial, bagaimana LGBT ini menjadi industri tersendiri, jadi tidak hanya paham berkembangnya liberalisasi tapi ini juga bagian dari kapitalisasi dunia,” tuturnya.
Menag mencontohkan negara Thailand yang mengembangkan industri pariwisata (tourism), dan aktivitas LGBT menjadi industri tersendiri lalu dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga menjadi sesuatu yang sangat besar dari sisi dana yang bisa dihimpun. Amerika Serikat melakukan pendekatan yang sama tapi melalui teknologi informasi dan industri kreatif seperti fashion dan gaya hidup dan sektor pariwisata. (Rep-03/Ed-03)