Menag Prihatin soal Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren

Menag RI, Lukman Hakim Saifuddin (sutriyati/kabarkota.com)

CIREBON (kabarkota.com) – Menteri Agama (Menag) RI, Lukman Hakim Saifuddin mengaku prihatin dengan adanya penurunan pengajaran kitab kuning di pondok pesantren.

Bacaan Lainnya

Penurunan tersebut didasarkan pada temuan penelitian Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, pada tahun 2010 lalu. Menurutnya, temuan tersebut menunjukkan bahwa kitab kuning yang diajarkan para kyai pesantren jumlahnya rata-rata 13 kitab dari ratusan bahkan ribuan yang ada. Sementara  para santri hanya mengaji sembilan kitab kuning saja.

“Sungguh ini menjadi tantangan yang sangat luar biasa bagi kita semua, dunia pesantren dan Kementerian Agama sekaligus,” kata Menag di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, seperti dikutip laman Kemenag, Minggu (10/4/2016).

Meski begitu, Menag mengapresiasi komitmen para kyai dan santri, khususnya di pondok Pesantren Buntet Cirebon yang tetap konsisten mengaji kitab kuning dengan pola salafiyahnya, sebab, pihaknya meyakini, semakin mendalami kitab kuning, santri akan semakin kuat ilmu keagamaannya. 

Sebagai langkah afirmatif,  lanjut Menag, Kementerian Agama telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, baik terkait kelembagaan maupun bantuan.

Pada aspek kelembagaan, kata Lukman, pihaknya telah membuka ruang kelembagaan baru untuk memberikan pilihan kepada masyarakat dalam mendidik putera-puterinya menjadi kader ulama. Kelembagaan baru itu adalah Pendidikan Diniyah Formal, Satuan Pendidikan Muadalah,  dan Ma’had Aly. 

“Ketiganya merupakan entitas kelembagaan pendidikan keagamaan Islam yang bersifat formal untuk menghasilkan lulusan mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama),” paparnya.

Ditambahkan Menag, penyelenggaraan ketiga lembaga ini berada di pesantren. Sebagai satuan pendidikan yang bersifat formal, Pendidikan Diniyah Formal dan Satuan Pendidikan Muadalah pada Pondok Pesantren memiliki civil effect yang sama dengan sekolah dan madrasah. Civil effect tersebut antara lain, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tunjangan sertifikasi guru, dan akreditasi.

Sedangkan kurikulum Pendidikan Diniyah Formal dan Satuan Pendidikan Muadalah terdiri dari pendidikan umum (20%) dan pendidikan keagamaan Islam berbasis kitab kuning (80%).

Lulusannya, imbuh Lukman, selain dapat melanjutkan pada jenjang di atasnya, juga pada jenis pendidikan umum (SD/SMP/SMA/SMK/PTU) atau jenis pendidikan umum berciri khas Islam (MI/MTs/MA/PTKI).

Adapun Ma’had Aly, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 2015 tentang Ma’had Aly, menjadi salah satu bentuk Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Ma’had Aly memiliki kewenangan dan hak yang sama sebagaimana UIN, IAIN, STAIN, atau PTKI lainnya. Ma’had Aly didesain untuk melahirkan tokoh agama dan kyai yang berwawasan luas, matang dalam ilmu keislaman, menguasai khazanah pondok pesantren yang berbasis kitab kuning, serta menjadi pengayoman masyarakat. Karenanya, Ma’had Aly hanya dapat didirikan oleh dan berada di lingkungan pesantren.

“Kami berharap inisiasi kelembagaan pendidikan keagamaan Islam berbasis pondok pesantren ini menjadi ikhtiar bersama yang memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan untuk pondok pesantren, negara, dan bangsa,” tutur Menag.

Terkait bantuan,  Kementerian Agama memberikannya kepada santri pondok pesantren yang tidak mengikuti layanan pendidikan umum dan berasal dari keluarga miskin dalam usia pendidikan. Bantuan yang diberikan masuk dalam Program Indonesia Pintar (PIP), sebagai wujud kehadiran negara agar semua anak bangsa dapat mengikuti layanan pendidikan. (Rep-03/Ed-03)

Pos terkait