Mencari Formula Penanganan Sampah Ideal di Bantul, Pasca Penutupan TPSS Pandansari

Ilustrasi (dok. Pexels/by Lucien Wanda)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul, baru-baru ini mendapat protes dari Warga Gadingsari yang tergabung dalam Forum Peduli Gadingsari (FPG) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta lantaran menggunakan lahan pasir di dekat Pantai Pandansari sebagai Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPSS).

Bacaan Lainnya

Meskipun DLH Bantul telah menutup TPSS Pandansari sejak 31 Desember 2024, namun bekas kubangan dan sisa sampah yang berserakan di lahan pasir berpotensi besar menimbulkan pencemaran di laut dan merusak lingkungan sekitar, jika tidak segera ditangani.

Lalu, bagaimana sebaiknya menangani persoalan sampah, khususnya di Kabupaten Bantul pasca penutupan TPSS Pandansari?

Dosen Program Studi Teknik Lingkungan dari Universitas Islam Indonesia (UII), Hijrah Purnama Putra berpendapat bahwa dengan tidak adanya penetapan kondisi darurat sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Kabupaten Bantul, maka seluruh pengelolaan sampah pun tidak mengacu kepada kondisi darurat. Itu artinya, penetapan lokasi pembuangan sampah semestinya didesain melalui perencanaan yang baik sehingga potensi pencemarannya bisa ditekan.

Terlebih, kata Hijrah, sejak adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, kata pembuangan tidak lagi digunakan.

“Jika dulu kita mengenal TPA itu adalah Tempat Pembuangan Akhir sampah, maka semenjak tahun 2008 nomenklaturnya berubah menjadi Tempat Pemrosesan Akhir,” ungkap Hijrah kepada kabarkota.com, pada 19 Januari 2025. Dengan kata lain, sampah tidak boleh hanya dibiarkan menumpuk begitu saja, melainkan harus ada kegiatan pemrosesannya.

Dengan nomenklatur tersebut, lanjut Hijrah, seharusnya setiap wilayah mempunyai Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dengan konsep yang sesuai dengan regulasi, dengan beragam fasilitas.

“Sepengetahuan saya, Bantul sudah mulai melakukan kegiatan pembangunan TPST ini di beberapa lokasi,” sambungnya.

Hijrah mencontohkan, pengelolaan sampah di Pasar Niten, TPST Modalan, dan sejumlah TPS3R yang dikelola masyarakat. Termasuk, depo sampah yang selama ini hanya sebagai tempat transit sampah, kini dinaikkan menjadi TPST dengan penambahan fasilitas pendukung.

“Itu juga menjadi langkah baik, walau pun memang kondisinya tidak bisa secepat dulu yang dalam sehari dapat mengolah ratusan ton,” tegasnya.

Lebih lanjut Hijrah berpandangan bahwa pengolahan sampah tidak bisa dilakukan secara parsial, namun harus dilakukan dari hulu ke hilir. Misalnya, di Hilir ada produk RDF yang akan diangkut ke pabrik semen sebagai bahan baku bahan bakar, maka di hulu mengusahakan agar masyarakat bisa mendukung sistem di hilir tersebut, seperti dengan melakukan pemilahan sampah sehingga beban di hilir dalam mengolah sampah tidak terlalu berat. Selain itu juga harus dipertimbangkan tentang kemungkinan perlunya konsep baru dalam pengelolaan sampah.

“Itulah gunanya rencana induk dan saya kira kabupaten Bantul sudah memiliki rencana induk terkait dengan pengolahan sampah atau yang kita kenal dengan masterplan sampah,” ucapnya lagi.

Hanya saja, menurut Hijrah, masterplan tersebut perlu dibuka dan dilihat kembali kesesuaiannya dengan kondisi sekarang. Jika tidak lagi relevan, maka perlu review, dengan mempertimbangan berbagai masukan dari stakeholders.

Penguatan di berbagai macam aspek pengelolaan sampah, kata Hijrah, juga diperlukan supaya pengelolaan sampah yang baik bisa terwujud. Hal itu bisa saja dilakukan melalui penguatan sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat, seperti di kelompok-kelompok masyarakat pengelola bank sampah, sedekah sampah, dan TPS3R.

Sedangkan terkait dengan biaya ideal untuk masalah persampahan ini, Hijrah menyebut, pengaturan biaya itu sudah ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 7 tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah.

“Kalau berapa angka yang cocok? itu memang tergantung dari peralatan yang ada, tetapi menurut saya, angka minimalisnya antara Rp 150 ribu – Rp 300 ribu per ton sampah itu harus ada,” sebutnya.

Sementara berdasarkan data Bappenas dan Kementerian Keuangan, baru – baru ini, papar Hijrah, dari 500 kabupaten kota di 38 provinsi se-Indonesia, baru ada 6-7 provinsi yang anggaran pengolahan sampahnya di atas 1 persen dari APBD yang ada.

“Jadi kalau berbicara tentang pengolahan sampah, pasti tidak akan terwujud dengan baik, jika penganggaran tidak baik,” tegasnya. (Rep-01)

Pos terkait