Mencari Jalan Tengah untuk Memuluskan Pembangunan Bandara YIA dari Penolakan Warga

Ilustrasi (dok. ig kulon.progo)

SLEMAN (kabarkota.com) – Sejumlah warga di Temon, Kulon Progo, DIY yang menamakan diri Paguyuban Warga Penolak Penggusuran – Kulon Progo (PWPP – KP) hingga kini masih menolak pembangunan Bandara Yogyakarta International Airport (YIA).

Bacaan Lainnya

Hal tersebut sebagaimana ditegaskan salah seorang warga PWPP-KP, Sofyan kepada kabarkota.com baru-baru ini, yang pada intinya masih tetap pada pendirian semula.

Baginya, seberapapun kompensasi yang diberikan tak akan sebanding dengan apa yang menjadi hak mereka sebagai warga terdampak pembangunan bandara baru tersebut.

Karenanya, Sofyan bersama puluhan warga PWPP – KP lainnya memilih untuk tidak menerima tawaran apapun, agar menyetujui mega proyek senilai Rp 10.5 Triliun tersebut.

Di lain pihak, PT Angkasa Pura I (Persero) dan Perintah Daerah (Pemda) Kulon Progo juga telah mencoba melakukan pendekatan kepada warga terdampak yang belum menerima kehadiran Bandara YIA, agar hati mereka “luluh”.

Menurut General Manager PT Angkasa Pura I Yogyakarta, Agus Pandu Purnama, selain membayarkan uang ganti rugi sesuai penghitungan appraisal, pihaknya juga menggelontorkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan untuk membangun sejumlah rumah layak huni bagi warga terdampak, sekaligus sebagai bentuk dukungan program dari Pemda Kulon Progo.

Pertanyaannya, apa jalan tengah yang bisa ditempuh agar permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan baik?

Peneliti PSKP UGM: Perlu Pendekatan Kultural

Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Arifah Rahmawati berpandangan bahwa dari perspektif resolusi konflik, untuk menyelesaikan persoalan terkait penolakan warga atas pembangunan bandara YIA maka harus dicari terlebih dahulu akar masalah yang melatar-belakangi penolakan itu.

“Tanah tidak selalu berarti materi tetapi ada makna lain dari tanah tersebut bagi mereka. Bisa jadi itu bagian dari identitas mereka, sehingga berapapun ganti untung yang ditawarkan itu tidak bisa menggantikan,” kata Arifah kepada kabarkota.com, Selasa (18/6/2019).

Karena kemungkinan itu ada kaitannya dengan identitas dan kebudayaan, maka Arifah menganggap, pendekatannya juga harus melalui pendekatan sejarah dan kultural.

“Tidak bisa hanya dengan pendekatan ekonomi dan hukum saja,” tegasnya. Mengingat, sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki kedekatan emosional dengan tanah dan lingkungannya.

Selain itu pihaknya juga menambahkan, negosiasi win-win solution perlu dilakukan terus menerus dan penuh kesabaran, karena memang untuk menemukan titik kompromi membutuhkan waktu panjang.

Di samping upaya lain yang bisa dilakukan, misalnya dengan mendirikan monumen yang mencantumkan ucapan tetimakasih kepada warga masyakat yang telah ikut membantu terbangunnya bandara, dengan merelakan tanah mereka. Bahkan jika memungkinkan, di dalam area bandara YIA nantinya dibuat stand khusus untuk produk-produk lokal. Termasuk penampilan atau pementasan budaya setempat secara reguler.

Hal itu sebagaimana yang ada di bandara Korea. “Di Korea itu ada panggung khusus untuk pementasan kebudayaan lokal, ditata dengan apik dan nyaman sehingga orang asing yang menunggu waktu peberbangan bisa menikmatinya,” ungkpanya.

Jika dengan cara-cara tersebut masih ada warga yang tetap menolak, maka Arifah meminta, agar mereka tetap dihargai sebagai warga negara yang juga mempunyai hak. Meskipun tidak setuju dan secara realistis pembangunan bandara tak bisa dibatalkan. (Rep-02)

Pos terkait