Ketua PCNU Kota Yogyakarta, Muhammad Yazid Afandi. (dok. kabarkota.com)
BANTUL (kabarkota.com) – Tahun 2020 mendatang, Nahdlatul Ulama (NU) akan menggelar Muktamar ke-34.
Salah satu dasar berdirinya NU pada 31 Januari 1926 ini adalah sebagai upaya untuk melembagakan wawasan tradisi keagamaan, dengan menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, sebagai salah satu Organisasi Masyarakat (Ormas) berbasis keagamaan yang terbesar di Indonesia, dalam perjalanannya NU mengalami banyak dinamika.
Ketua Pengurus Cabang NU (PCNU) Kota Yogyakarta, Muhammad Yazid Afandi mengatakan, saat ini di NU ada arus baru yang lebih menegaskan bahwa NU berada di ranah kultural, meskipun ada juga yang memanfaatkan ini untuk kepentingan politik.
Pihaknya menyebut, menguatnya Islam garis keras, khususnya yang mengusung khilafah menjadi bagian dari tantangan yang dihadapi sehingga NU ingin memastikan bahwa Negeri ini tidak akan terkoyak. Pancasila tetap menjadi dasar Negara, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak bisa diganggu gugat.
“Alhamdulillah ada satu gerakan yang sangat massif di tingkat grassroot untuk merespon itu,” ungkap Yazid saat ditemui di kediamannya di Bantul, baru-baru ini.
Namun selain itu, menurut Yazid, NU juga masih menghadapi tantangan internal yang tak kalah berat. Yakni, masuknya NU ke ranah politik praktis.
“Format seperti apa yang seharusnya dimainkan, ketika harus ada keterlibatan dalam proses politik praktis? sampai sekarang masih tarik menarik,” anggapnya.
Namun demikian, Yazid tak memungkiri bahwa faktanya, dalam urusan politik, mau tidak mau NU memang juga harus terlibat di situ sebagai bagian dari proses bernegara.
Hanya saja, pihaknya berpendapat, semestinya ada pembagian peran antara pihak yang masuk ke ranah politik praktis, dan pihak yang khusus mengurusi masalah keumatan. Mengingat, urusan NU masih terlalu besar.
“NU itu harus tetap mengawal umat. Kalau kemudian ada proses politik, NU juga tidak boleh meninggalkan itu, tapi jangan pengurus puncaknya ikut terlibat. Cukup dengan menitipkan kepada kader-kader NU yang dianggap mampu untuk bersaing di tingkat politik praktis,” ucapnya.
Siapa Sosok Ideal untuk Memimpin NU ke Depan?
Oleh karenanya, Muktamar NU ke-34 mendatang menjadi momen yang tepat untuk menentukan siapa orang yang tepat untuk menahkodai NU dalam lima tahun ke depan.
Terkait hal ini, Yazid mengaku belum dapat menyebut sosok yang dianggap pantas untuk memimpin NU ke depan. Namun demikian, ada beberapa kriteria ideal yang ia harapkan dari calon pemimpin NU. Pertama, orang yang sudah tak mempunyai keinginan untuk menduduki jabatan politik.
“Pengurus NU apalagi PB (Pengurus Besar) harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga yang dipikirkan hanya untuk umat,” pintanya.
Kedua, lebih mementingkan pengkaderan supaya mereka mengerti tentang NU yang memiliki empat kriteria. Yakni, fikrah (pemikiran); I’tiqad (akidah Ahlussunnah wal Jamaah); Amaliyah (tindakan); dan Harakah (gerakan).
Ketiga, pemimpin NU ke depan harus mempunyai jaringan yang baik dengan semua lapisan. Termasuk, kelompok-kelompok Islam garis keras, baik itu radikal kanan maupun radikal kiri. Bahkan juga kelompok-kelompok ekstrimis.
“Pimpinan NU harus mampu menjangkau ke sana, paling tidak berkomunikasi untuk bagaimana baiknya Negeri ini, bukan sosok yang selalu menyakiti mereka,” anggapnya. Karena bagaimana pun, mereka juga bagian dari umat Islam. (Rep-01/Ed-01)