Akses difabel tuna netra di Gereja Kristen Jawa Wirobradjan (27/9/2016) (Anisatul Umah/kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Banyak tempat ibadah di Yogyakarta yang belum memiliki aksesibilitas terhadap kaum difabel. Sebagian kaum disabilitas belum bisa mengakses tempat ibadah karena mayoritas tempat ibadah belum memberikan akses bagi penyandang disabilitas.
Bagi difabel tuna netra, mereka membutuhkan akses kitab suci berhuruf braille. Sedangkan bagi difabel tuna rungu mereka belum leluasa beribadah karena belum ada penerjemah bahasa menjadi isyarat untuk khutbah maupun doa. Meskipun masih minim, beberapa tempat ibadah sudah menyediakan ramp dan guiding block untuk membantu akses difabel.
Dria Manunggal mengadakan Media Gathering : Mewujudkan Aksebilitas Peribadatan untuk Semua (27/9/2016). Dalam acara ini di isi dengan mengunjungi lima tempat ibadah untuk melihat kondisi objektif dari masing-masing tempat ibadah. Lima tempat ibadah itu antara lain Masjid Baitul Makmur, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Wirobrajan, Gereja Katholik Kemetiran, Wihara Karangjati, dan Pura Jagatnata.
Direktur Dria Manunggal, Setia Adi Purwanta, menjelaskan bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan produk yang gagal. Akan tetapi kondisi yang membentuk mereka tidak bisa mengakses, seharusnya para penyandang disabilitas diberikan akses sehingga mereka bisa mengakses fasilitas umum.
“Ciptaan Tuhan itu semua sempurna. Mereka yang difabel menjadi tidak sempurna karena fasilitasnya yang belum mendukung,” ungkapnya (27/9/2016).
Setia menceritakan beberapa difabel ada yang tidak menghafal bacaan solat, karena tidak ada yang mengajari penyandang disabilitas belajar. Apalagi, tambahnya mereka yang autis dianggap mengganggu, sehingga persepsi semacam ini harus dirubah.
“Mari kita buka aksebilitas,” tandasnya.
Takmir Masjid Baitul Makmur, Dodik Junaidi mengatakan, pihak masjid ingin memberikan akses kepada penyandang disabilitas untuk mendapatkan akses. Di masjid ini sudah disediakan akses untuk tuna daksa dan tuna netra, termasuk dalam bentuk akses untuk wudhu.
“Harapan kita, di kampung kita bisa beribadah” jelasnya.
Pendeta GKJ Wirobradjan Yosef Tri Setyo Nugroho mengatakan sejak tahun 2006, Gereja sudah mulai menyediakan layanan bagi penyandang disabilitas. Menurutnya kaum disabilitas memiliki hak untuk dilayani dalam beribadah.
“Selama mereka masih bisa beribadah kami akan tetap mendukung. Kalau difabel dianggap menjadi beban adalah salah besar,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Wihara Karangjati, Toto Tejamano. Menurutnya kaum difabel bukan menjadi penghalang, perlu diberikan akses untuk mereka beribadah. Wihara Karangjati memberikan akses Buku doa harian dalam bentuk braille.
“Memang masih perlu ngangsu kawruh (belajar lebih.red) untuk memperbaiki fasilitas difabel. Bagaimana agar Wihara itu bisa menjadi tempat untuk orang-orang yang mencari perdamaian,” tuturnya.
Salah satu penyandang disabilitas tuna daksa, Ida Ayu Putu Sudiartini Damayanti, mengatakan awalnya dirinya tidak pernah ke tempat ibadah karena tidak ada akses untuk masuk ke ruang ibadah. Namun, setelah beberapa tempat ibadah mulai memberikan fasilitas bagi difabel, dirinya mulai beribadah lagi.
“Ini salah satu langkah baik,” ceritanya (Rep-04/Ed-01)