Mengapa Kemiskinan sulit Diberantas?

Rembug Kritis “Yogyakarta Darurat Kemiskinan”, di UMY, Selasa (19/2/2019). (dok. kabarkota.com)

BANTUL (kabarkota.com) – Kemiskinan menjadi persoalan yang hingga kini belum teratasi. Meskipun beberapa kali pemerintah mengklaim ada penurunan tingkat kemiskinan.

Bacaan Lainnya

Di DIY, menurut paparan dari Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kabijakan (PSKK) UGM, Sonyaruri Satiti, persentase penduduk miskin di DIY sebenarnya juga mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada September 2017, persentasenya masih 12.36%, sedangkan Maret 2018 menjadi 12,13%.

Namun, angka tersebut masih jauh dari angka nasional yang sudah di bawah 10%. Merujuk pada Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82%). Angka tersebut berkurang sebesar 633,2 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2017 yang angkanya masih 26,58 juta orang (10,12%).

Menyikapi persoalan kemiskinan ini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, dalam Rembug Kritis “Yogyakarta Darurat Kemiskinan”, di UMY, Selasa (19/2/2019), berpendapat bahwa sulitnya memberantas kemiskinan itu tak lepas dari kebijakan Negara yang justru memiskinkan rakyatnya. Sehingga, program-program pengentasan kemiskinan, seperti stabilitas harga, subsidi dan bantuan sosial, serta dana desa, tak berdampak signifikan di masyarakat.

“Ada kebijakan Negara yang menghadirkan kantong-kantong kemiskinan di daerah”, anggap Yogi.

Pihaknya mengambil contoh, kebijakan pembangunan infrastruktur Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Temon Kulon Progo, DIY, dan pembangunan bendungan Bener di Purworejo, Jawa Tengah yang keduanya sama-sama menggusur lahan-lahan produktif milik warga setempat. Selain itu, di Kota Yogyakarta, juga sempat ada penggusuran kios-kios milik warga di wilayah Pasar Kembang, tepatnya selatan stasiun Tugu Yogyakarta, tanpa adanya solusi yang jelas bagi korban penggusuran.

Persoalan lain yang juga memicu kemiskinan, menurut Yogi adalah adanya stratanisasi atau tatanan sosial yang berlapis-lapis, di antara pemerintah, entitas kapital, dan rakyat. Sayangnya, antara pemerintah dan entitas kapital yang dalam hal ini korporasi justru berkongsi, sehingga tak jarang ikut mempengaruhi kebijakan yang diambil Negara.

“Bagaimana korporasi bisa diatasnya Negara? Bagaimana korporasi bisa mengintervensi kebijakan Negara?” ujar Yogi.

Tak hanya di level kebijakan, kata Yogi, hukum pun dijadikan sarana bagi mereka yang berada (korporasi) untuk mengamankan dan melegitimasi kedudukannya. Maka tak heran jika yang terjadi kemudian hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

“Penguasa juga menciptakan perspektif untuk pengaruhi perspesi publik melalui media massa dengan berita yang hegemonik, tidak berimbang dan condong berpihak kepada penguasa, ditambah gemar menyudutkan perjuangan masyarakat dengan berita bernada minor,” sesalnya. (Rep-02)

Pos terkait