Mengatasi Krisis Ekonomi (Bagian-1)

Ilustrasi (sumber: liputan6.com)

Oleh: Moch. Faried Cahyono*)

Bacaan Lainnya

Sebagai jurnalis yang pernah kuliah di FE UGM, tentulah saya mendapatkan pelajaran soal, apa itu krisis ekonomi dan bagaimana solusi mengatasi krisis. Jika sedang jadi pengajar tidak tetap untuk mata kuliah Makro Ekonomi atau Ekonomika Publik, saya selalu menyempatkan betul menjelaskan soal krisis ekonomi dan cara mengatasinya ke mahasiswa saya, dengan ilustrasi panjang lebar.  

Saya membayangkan sebagian di antara mereka nantinya duduk di  jabatan publik di pusat maupun daerah. Mereka yang akan berbisnis juga harus paham soal ini, agar mampu mengatasi ancaman kebangkrutan. Mereka harus lebih tanggap dibanding generasi saya yang ketika mengalami mengalami krisis ekonomi, berimbas ke krisis politik, yang kemudian menciptakan konflik sosial berdarah. Krisis ekonomi 1996 itu memang berlanjut ke krisis 1998, dan dampak sosial politik dan ekonominya berlanjut hingga tahun  2000. (Baca juga: Mengatasi Krisis Ekonomi (Bagian-2))

Sesudah periode itu, kita juga pernah kembali mengalami krisis ekonomi, namun tertangani dengan baik. Namun kita menyaksikan bagaimana Yunani, Spanyol, Portugal, dan banyak negara lain mengalami krisis yang parah.

Krisis ekonomi sebetulnya sesuatu yang reguler. Kejadian dari dulu sampai sekarang secara substantif, sama saja. Bahkan catatannya sudah ribuan tahun bisa kita saksikan di Alkitab dan Quran.

Begitu jelas krisis itu selalu terjadi, bahwa akan terjadi dengan periode tujuh tahunan (mengikuti Nubuat nabi Yusuf). Ada periode tahun gemuk atau panen dan masa kurus atau krisis. Pada tahun gemuk, menabunglah, dan pada tahun kurus bertahanlah. Pernah dulu almarhum Profesor Mubyarto, mengungkapkan soal ini dalam suatu forum diskusi bulanan, ditertawakan oleh koleganya yang seorang Profesor disiplin sosial. Barangkali karena Mubyarto tidak menyertai dengan ilustrasi yang cukup.

Saya sendiri cukup lama mencari kebernaran periode krisis tujuh tahunan itu, namun tetap belum mendapatkan konfirmasi  apakah  Federal Reserve punya pemerintah Amerika Serikat, juga  BI kita mengikuti logika itu. Juga pemerintahan kita dalam mengelola ekonomi. Bahwa ada masa gemah ripah atau panen, dan ada masa susah atau krisis.

Siapa yang mampu bertahan dan menyesuaikan diri, maka dia baik secara personal maupun sebagai sebuah pemerintahan, akan menjadi semakin kaya sesudah krisis, dengan membeli, mengambil alih kekayaan orang lain yang lagi bangkrut, maupun mengakuisisi aset-aset maupun sumberdaya negara lain, yang dijual sangat murah, ketika menghadapi krisis. Singapura dan Cina adalah contoh dua negara yang menjadi semakin kaya ketika krisis di Asean dan krisis Eropa dan dunia terjadi.

Soal penting yang harus dipahami sekarang adalah dunia kita menyatu. Jika terjadi krisis di satu negara maka bisa menyebabkan krisis di negara lain. Fakta pula bahwa Amerika Serikat adalah negara yang sangat berpengaruh atas nasib negara lain karena mata uangnya dipakai sebagian besar negara untuk transaksi. Kebijakan moneter yang dilakukan Paman Sam, apakah suku bunga diturunkan, tetap atau naik, harus diantisipasi oleh negara-negara yang transaksi dan cadangan devisanya menggunakan dollar US.

Pun jika Amerika Serikat mengalami krisis, negara lain bisa terimbas krisis. Repotnya, jika ekonomi Amerika bangkit, belum tentu negara lain ikut bangkit. Yang kemudian sama-sama diketahui adalah, bahwa setiap kali Amerika mengalami krisis, maka dia akan berusaha mengalihkan dampak negatif krisis ke pundak negara lain.

Dengan demikian, sejauh mana negara-negara di luar Amerika Serikat mampu menghadapi krisis ekonomi, tergantung kesiapan masing-masing negara.  

Pos terkait