Mengembalikan Generasi Muda Petani kita

Generasi Muda
Perempuan tua petani/pixabay.com

Dalam diskusi-diskusi panjang dengan berapa sahabat saya, para pakar dan aktivis yang bergerak di dunia pertanian, saya menyimpulkan. Kita akan kehilangan para petani. Tak ada anak muda yang bersedia menjadi petani. Generasi tua petani kita , tidak memiliki pengganti, karena hidup di dunia pertanian, berat dan tidak menarik. Jika tidak ada strategi besar untuk mencegahnya, maka hal itu akan betul-betul terjadi.

Kami mempunyai kebun benih jati unggul di Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Dengan ada kebun bibit itu, saya memiliki keharusan untuk datang secara reguler. Saya intens mengamati dunia pertanian disepanjang jalan menuju dan di sekeliling desa lokasi kebun benih kami, dalam 5 tahun terakhir ini.

Beberapa kali saya mendapat kesempatan mengamati dunia pertanian bersama sahabat saya, ahli pertanian Rofandi Hartanto, maupun beberapa kali ke luar Jawa, kesimpulan yang saya dapatkan sama. Petani kita akan punah karena tak akan ada anak muda pengganti.

Mengapa dunia pertanian dijauhi anak-anak muda? Meminjam analisis marxian, karena petani dan dunia pertanian kita adalah kelompok dan lingkungan hidup yang tereksploitasi. Pelaku eksploiasi banyak pihak. Mereka yang menginginkan mendapatkan pangan murah dari konsumen langsung, para pedagang yang mengambil untung terlalu banyak, sampai negara yang tidak melindungi dan para kapitalis lokal hingga internasional.

Kondisi di lapangan atas petani di tempat kami di Pracimantoro dan sekitarnya, dicatat oleh Ayib Rudi, kapala kebon bibit jati kami di Pracimantoro. Ia seorang sarjana pertanian lulusan UGM yang memilih hidup menjadi petani, tinggal di lingkungan pertanian dengan musim kemarau yang panjang.

Catatannya membuat miris. Generasi muda tidak tertarik menjadi petani. Usia petani di Pracimantoro, rata-rata sudah diatas 50 tahun. Banyak yang sudah masuk usia 60 tahun atau lebih dan tidak memiliki pewaris pekerjaan ini. Kesimpulan dia, jika tidak diantisipasi maka dalam 10 tahun lagi, tidak akan ada petani di Pracimantoro dan Wonogiri secara umum. Lahan-lahan akan kosong menganggur. Kondisi sama saya saksikan terjadi di wilayah lain.

Lalu kemana anak-anak muda keturunan para petani itu? Mereka lebih suka pergi ke kota bekerja sebagai buruh pabrik, pedagang kaki lima dan pekerjaan lain di kota. Tentu saja ada yang sukses menjadi pengusaha di luar sektor pertanian. Para petani mengarahkan anak-anaknya untuk bisa bekerja sebagai buruh dan pegawai. Khusus pekerjaan sebagai PNS, tentara atau polisi amat diinginkan, karena pekerjaan itulah yang lebih memberikan jaminan pendapatan dan pensiun.

Peralian kepemilikan lahan sebetulnya cukup cepat terjadi. Lahan-lahan yang tidak dikerjakan karena para petani sudah menua dan anak-anak bekerja di kota, diputuskan dijual. Uang digunakan untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan, juga sebagai modal buat mereka yang memilih tinggal di kota.

Terhadap lahan itu, ada sikap lumayan jika yang membeli adalah orang-orang yang masih memiliki hubungan romantis atas lahan itu. Pembeli masih memiliki orangtua atau kerabat di Wonogiri. Lahan dengan kepemilikan jenis pemilik ini, akan diserahkan kepada petani penggarap untuk bisa ditanami apa saja.

Tetapi, jika lahan yang dimiliki oleh orang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, maka hampir pasti lahan akan menganggur. Ada masalah yang perlu diantisipasi, ketika lahan-lahan yang dijual itu, jatuh ke pemilik yang berbeda, dalam hal ini khususnya saudara-saudara kita Tionghoa.

Meskipun wajar bagi pengusaha menimbun lahan sebagai investasi jika ada uang menganggur, tetapi kaitan kepemilikan itu, perlu ditimbang potensi konflik yang terjadi. Terutama jika ada krisis sosial. Soal ini pernah terjadi pada tahun 1965 dan sesudahnya, dimana sentimen pada suku Tionghoa pernah terjadi.

Balik ke soal terancam hilangnya generasi petani muda, ternyata bukan monopoli Indonesia saja. Jepang mengalami hal yang sama. Saat ini, lahan-lahan pertanian Jepang mulai banyak yang menganggur tanpa petani. Seperti diceritakan salah seorang sahabat kami, prof Kei Mizuno, dosen ahli Teknik Pertanian dari Kyoto University.

Lahan-lahan pertanian menganggur karena anak-anak petani Jepang, lebih memilih bekerja di luar sektor pertanian, yang lebih menjanjikan dari sisi pendapatan. Menurut pak Kei, mereka bisa dipastikan kembali ke sektor pertanian, jika sektor pertanian menawarkan keuntungan yang bagus dibanding yang ditawarkan dari luar.

Soal hilangnya petani muda ini, sama dengan di Indonesia, menjadi issue nasional Jepang. Dan menjadi keprihatinan para intelektual pertanian di negara matahari terbit.

Pertanyaan tematik yang harus dicari jawabnya adalah, bagaimana cara mengembalikan orang muda, agar bersedia kembali bekerja sebagai petani. Orang muda yang dimaksud bisa berasal dari anak-anak petani sendiri, dapat pula berasal dari luar keluarga petani.

Kata kuncinya sudah ketemu. Yaitu, sektor pertanian akan diambah lagi oleh generasi muda, jika sektor ini memberikan penghasilan yang lebih baik dibanding sektor di luar pertanian. Tetapi, ini bukan satu-satunya. Pertanian akan kembali rentan hancur jika ada sektor baru yang tumbuh menjanjikan orang muda untuk datang.

Mereka yang ke sektor pertanian, akan balik lagi ke sektor non pertanian. Maka dunia pertanian akan ditinggalkan lagi. Karena itu perlu ditinjau lebih dalam alasan-alasan lain, selain masalah kesejahteraan, yang menjadi sebab mengapa dulu orang bersedia bekerja di sektor pertanian. Dan bagaimana agar sektor pertanian tidak dengan mudah ditinggalkan.

Bukti bahwa dulu sektor pertanian memberikan kesejahteraan, bisa didapat dengan melakukan wawancara-wawancara ke petani tua. Tapi di luar soal kesejahteraan yang didapat dari menjadi petani, para petani juga diikat dengan tradisi yang berasal dari ajaran agama atau etika. Jadi, menjadi petani adalah melaksanakan ajaran agama.

Di Indonesia dengan agama yang banyak dengan agama Islam sebagai mayoritas dan agama dan kepercayaan lain diikuti penduduknya, pekerjaan petani adalah pekerjaan ibadah. Upacara-upacara ada di sini. Musim tanam di Jawa misalnya ada tradisi wiwit, memulai tanam dengan doa agar penanaman sukses dilakukan, tanaman tumbuh sehat, bebas hama dan penyakit, memberikan hasil bumi sebagaimana diharapkan petani.

Tradisi agama-agama juga menempatkan dan menjanjikan posisi yang mulia pada petani dengan apa yang di usahakan. Di tradisi pertanian Islam misalnya, berlalu beberapa hadist.

“Nabi Muhammad mengatakan, mereka yang menanam akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala amal jariyah, yang dihitung hingga hari kiamat. Pahala amal jariyah dari menanam ini, tidak akan hilang seandainya hasil tanaman dimakan burung, dimakan binatang lain, bahkan dicuri manusia”

Nabi juga menekankan pentingnya menanam, menghijaukan bumi, melalu hadist.
“Jika (seandainya kamu tahu) besok adalah hari kiamat, dan di tanganmu masih ada biji kurma (bibit tanaman) dan kamu masih bisa menanam, maka tanamlah,”

Dukungan ke sektor pertanian juga dilakukan Nabi dengan pengharaman menjual beli kotoran hewan, bahan pupuk penyubur tanaman, lebih dari sekedar bahwa barang tersebut najis atau kotor. Sarana faktor produksi harus murah. Sarana utama dalam pertanian, dalam hal ini lahan, jika menganggur, harus dibudidayakan.

Atas lahan menganggur milik kaum muslimin, Nabi meminta agar dimanfaatkan, dilarang dianggurkan. Nabi juga melarang pemilik lahan menarik uang sewa ke sesama muslim yang menggunakan lahan tersebut. Kepada non muslim yang memanfaatkan, dalam hal ini dicontohkan ada petani Yahudi yang ingin memanfaatkan lahan milik muslim, dikenakan kerjasama bagi hasil, yang juga menyenangkan si Yahudi.

Tidak sampai disitu saja. Memuliakan petani juga terjadi sesudah hasil bumi sampai ke konsumen akhir untuk dikonsumsi. Bagi mereka yang memakan hasil pertanian dikenakan kewajiban mendoakan bagi semua pihak yang terlibat. Doa orang Islam ketika makan, adalah doa syukur atas adanya makanan itu, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk siapa saja yang terlibat atas adanya makanan tersebut sejak dari prosesnya.

Artinya doa juga untuk yang memasaknya, yang menanam tanaman atau hewan yang dibudidaya, doa untuk yang mengolahnya, bahkan doa untuk tukang angkutnya. Bangunan struktur logika seperti ini, saya kira penting dipahami, jika kita ingin mengembalikan sektor pertanian berjaya kembali, dengan melibatkan anak-anak muda suka bekerja di sektor ini.

Jepang yang saat ini mengalami krisis petani sebagimana kita, juga memiliki tradisi yang kuat di sektor ini. Saya suka membaca novel-novel Jepang dengan latar belakang sejarahnya. Dulu juga saya baca, beberapa kali, buku disertasi Robert N. Bellah berjudul Tokugawa Religion. Banyak film Jepang menjelaskan soal kewajiban anak mewarisi pekerjaan orangtua, sebagai bagian dari ajaran agama. Tapi soal ini pun di Jepang kini mengalami pergeseran.

Ada sebuah film yang bagus memberi ilustrasi. Tentang kesetiaan mewarisi pekerjaan orang tua sebagai tradisi yang harus dijaga. Ramen Girl judul film itu. Menceritakan seorang gadis Amerika belajar masak ramen, mie Jepang, pada seorang juru masak tradisional. Si juru masak ini terus saja ngedumel, karena anaknya sendiri tidak mau meneruskan resto ramennya yang cukup terkenal itu. Si anak malah memilih bekerja sebagai koki masakan Perancis. Tentu ini mengecewakannya. Sampai akhirnya ia menetapkan pewarisnya adalah gadis Amerika itu.

Perpindahan profesi, dulu involusi, dan sekarang malahan disrupsi profesi-profesi memang terjadi di berbagai profesi, termasuk sektor pertanian. Sektor pertanian kehilangan tenaga kerja mudanya dengan pasti, karena sektor ini adalah sektor yang berat, apalagi jika negara tidak memberikan dukungan penuh. Di Indonesia, petani kita biasa mengalami situasi langkanya pupuk ketika musim tanam tiba, dan ancaman impor ketika panen raya datang.

Di Jepang, dimana negara memberi dukungan kepada petani, orang muda anak petaninya pun, malas bekerja di sektor ini. Tapi, dukungan pemerintah Jepang kepada dunia pertanian, tetap tidak surut, meskipun mereka juga masih mencari cara bagaimana agar sektor pertanian, terisi lagi oleh orang muda. Karena itu, pendekatan baru untuk sektor ini, memang diperlukan diluar tekat yang kuat untuk memberi dukungan pada sektor pertanian Indonesia.

Pendekatan dengan basis prinsip ekonomi, hampri pasti menjadi prasyarat. Bahwa jika sektor ini membawa kesejahteraan, maka sektor ini akan didatangi orang muda. Agar bisa seperti itu, maka sarana produksinya harus murah. Dukungan adanya mekanisasi pertanian harus ada. Teknologi dan riset baru yang ditemukan, mudah diakses, menyangkut bibit unggul, pupuk dan sarana dan alat produksi. Selain itu, keamanan menyangkut kepastian pasar menyerap produksi pertanian, harus dijamin pemerintah.

Di negara yang maju pertaniannya, seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, juga negara tetangga Thailand, posisi negara jelas. Negara memfasilitasi petani dan menjaga betul sektor ini. Serapan pasar produk pertanian diamankan sejak dari perencanaan. Syarat seperti yang sudah dipraktekkan di negara yang maju pertaniannya, harus dilakukan pemerintah Indonesia.

Namun, selain itu, secara bersamaan juga harus disosialisasikan bahkan ditanamkan kembali, nilai-nilai agama dan etika di sektor ini. Bahwa bekerja sebagai petani dengan menanam dan beternak dan laku pertanian lain, adalah juga bagian dari ibadah, yang sama mulianya dengan melakukan salat, puasa, zakat dan haji.

Dengan ada agama dan etika, maka etos menjadi petani kuat. Selain di sektor pertanian, di perdagangan hasil bumi pun harus dilakukan perbaikan yang sama di bidang ajaran agama, etika, dan tentu saja tata ataran pedagangan yang baik dan fair pada petani. Karena hancurnya sektor pertanian, juga disumbang dari rusaknya etika dan ajaran agama di sektor perdagangan hasil bumi. Soal ini, akan ditulis sendiri. Insya Allah.

M. Faried Cahyono. 19 April 2021
Ditulis dari bahan FB untuk Kabarkota.com

Pos terkait