Menilik Kreativitas Warga Yogya Mendaur Ulang Sampah untuk Fesyen

Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Srie Nurkyatsiwi saat meninjau pameran eco-print hasil karya warga Wonorejo (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Meski usianya tak lagi muda, namun Bu Rahmi, begitu perempuan 57 tahun ini disapa, terlihat percaya diri saat memeragakan busana, di Pendopo Kebon Deso, Wonorejo, Sariharjo, Ngaglik, Sleman.

Bacaan Lainnya

Tunik Rample dengan selendang sulam capung berwarna coklat yang diperagakan Rahmi di hadapan warga itu pun terlihat etnik. Produknya juga terbilang istimewa karena dibuat dari kain eco-print bermotif daun pepaya, paku-pakuan, red panama, anggur laut, serta kulit bawang merah. Rahmi membuatnya bersama ibu-ibu kelompok UMKM Eco-print perempuan di Wonorejo.

Salah satu warga Wonorejo, Rahmi saat memeragakan busana hasil eco-print buatannya (dok. kabarkota.com)

“Sebenarnya kalau dilihat dari usia, saya sudah tidak produktif tetapi bukan berarti kami tidak bisa berkarya,” ungkap Rahmi kepada wartawan di sela-sela acara fashion show, pada 25 Juli 2023.

Kegiatan fashion show yang digelar kali ini merupakan rangkaian kegiatan dari Gayatri Rajapatni Project yang digagas oleh Kharolin Hilda Amazona. Salah satu Pemuda Pelopor Sleman yang akrab disapa Olin ini menjelaskan bahwa ini merupakan proyek sosial untuk memberdayakan perempuan desa supaya bisa bangkit bersama pasca pandemi dengan pendampingan kewirausahaan go digital di Padukuhan Wonorejo yang dilakukan oleh Pemuda, sejak dua bulan terakhir.

“Salah satu kegiatan kami adalah eco-print yang dibuat menjadi produk fesyen,” ungkap Olin.

Menurut Olin, selama ini, para ibu menghasilkan sampah rumah tangga dari sayuran, Jika dulu mereka membuang sampah organik tersebut, sekarang justru dikumpulkan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan eco-print.

“Kami juga membuat biopori dan limbah dari eco-print itu kami masukkan ke biopori supaya nanti bisa menjadi pupuk organik dan filtrasi penyerapan air tanah,” sambungnya.

Di lain tempat, sekitar 47 pedagang Lorong S-R di Teras Maliboro 2 dari mengikuti jalan sehat dengan mengenakan kostum yang dibuat dari daur ulang sampah kantong plastik.

Para pedagang Teras Malioboro saat jalan sehat dengan mengenakan kostum daur ulang sampah plastik (dok. kabarkota.com)

“Kami mengambil tema daur kantong plastik itu sebagai upaya untuk menanggulangi permasalahan sampah. Jadi kami memanfaatkan plastik-plastik sisa jualan kami,” jelas ketua lorong S-R Teras Maliboro 2 Yogyakarta, Imam Heriyanto.

Kegiatan Jalan sehat tersebut digelar oleh Pengurus Koperasi Tridharma di Teras Malioboro 2 pada 25 Juli 2023, guna memperingati HUT Koperasi ke-76.

Dua kegiatan yang digelar oleh dua kelompok masyarakat berbeda tersebut hanyalah sebagian kecil dari bentuk kreativitas warga dalam memanfaatkan sampah di tengah penutupan sementara Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, sejak 23 Juli – 5 September 2023 mendatang.

Dalam pandangan Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Srie Nurkyatsiwi, upaya yang dilakukan warga dalam memenfaatkan bahan dari alam dan daur luang sampah plastik merupakan bentuk kepedulian terhadap lingkungan yang juga disebut sebagai ekonomi hijau.

Walhi: Pengelolaan Sampah di Yogya masih Pelik

Sementara Deputi Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Dimas R Perdana menilai, pengelolaan sampah di DIY masih menjadi persoalan Pelik.

Dari sisi kebijakan, kata Dimas, ketentuan pengelolaan sampah DIY sudah tertuang dalam Perda DIY No. 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

“Secara normatif, kebijakan pengurangan dan penanganan sampah di DIY diatur dengan skema pembatasan timbulan sampah, pemanfaatan kembali, dan pendaurulangan sampah,” sebut Dimas dalam siaran pers, 25 Juli 2023.

TPST Piyungan (dok. kabarkota.com)

Dalam skema ini, lanjut Dimas, produsen sampah wajib menghasilkan produk dengan kemasan yang mudah terurai dan melakukan pengelolaan daur ulang hingga pemanfaatan kembali. Sayangnya, ketentuan tersebut belum optimal dalam proses implementasinya karena tidak ada sanksi berat dan tegas sehingga tidak ada daya tekan khusus untuk sektor bisnis yang memproduksi sampah non organik.

Padahal, menurut Data Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIY, volume sampah yang ditangani pada tahun 2022 saja sudah mencapai 757,2 Ton per hari. Itu pun hanya menampung sampah dari warga Kota Yogyakarta, Wilayah perkotaan di Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Sementara, TPST yang berdiri tahun 1995 di atas lahan seluas 12 hektar itu, kapasitas maksimalnya sekitar 2.7 juta meter kubik.

Wakil Ketua DPRD DIY: Penyelesaian Masalah Sampah Jangan Dibuat Rumit

Di lain pihak, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana justru berpendapat bahwa jika paradigma kebijakan diubah dengan dekatkan dan musnahkan secara efisien, maka pihaknya meyakini bahwa persoalan tersebut akan selesai dalam beberapa bulan saja, bukan bertahun-tahun.

“Teknologi yang digunakan standar saja, tidak perlu muluk-muluk dan mahal. Sampah jangan dianggap komoditas ekonomi bisnis mahal tapi sebagai resiko bersama yang butuh biaya pemusnahannya,” tegasnya.

Selain itu, masyarakat harus paham bahwa sampah itu berbiaya sehingga harus diminimalkan. Pemerintah juga perlu menggandeng pihak ketiga untuk menyelenggarakan layanan tersebut.

“Masalah TPST piyungan yang sudah menumpuk puluhan tahun perlu diselesaikan terpisah, dengan reklamasi, dipersempit untuk lokasi pemusnahan atau ditutup malah lebih baik. Sekaligus, pemerintah membangun masyarakat sekitar sebagai balas budi karena selama ini terganggu,” pintanya.

Penggagas Gayatri Rajapatni Project di Padukuhan Wonorejo, Kharolin Hilda Amazona saat membuat eco-print dari limbah kulit bawang merah. (dok. kabarkota.com)

warga masyarakat, menurut Huda, juga perlu dibangkitkan kesadarannya agar bisa mengelola sampah, baik secara mandiri maupun berbasis komunitas, seperti bank sampah.(Rep-01)

Pos terkait