Menjaga Netralitas Jurnalis dalam Mengawal Pemilu 2019

Ilustrasi (dok. Hidayatullah)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Netralitas jurnalis menjadi hal yang harus dijaga dalam setiap penyampaian informasi melalui pemberitaan di media massa, baik cetak, elektronik maupun online atau siber. Tak terkecuali di masa jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 seperti sekarang ini.

Bacaan Lainnya

Tak hanya diatur dalam Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, sejumlah lembaga yang bersinggungan dengan kerja-kerja kewartawanan juga turut mewanti-wanti agar jurnalis tetap netral dalam mengawal proses Pemilu 2019.

Salah satunya, kepolisian. Meskipun tak secara langsung menjadi “wasit” di dunia jurnalistik, namun ada beberapa kasus sengketa media yang dibawa ke ranah pidana. Terlebih, sejak adanya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Oleh karenanya, berkaitan dengan Pemilu 2019, Kepala Bidang Humas Polda DIY, Yulianto turut mengimbau agar dalam pemberitaannya, dapat menyampaikan informasi yang faktual, sekaligus turut menjaga suasana tetap kondusif.

“Tentunya media harus netral. Kami, aparat juga sudah pasti netral. Jika tak netral, maka sanksinya jelas,” tegas Yulianto kepada kabarkota.com, baru-baru ini.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara Pemilu juga menggandeng Dewan Pers serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dalam melakukan pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh media, selama proses Pemilu 2019 berlangssung.

“Media memang diminta netral, harus memberitakan dan menyiarkan secara berimbang sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik.Dii Peraturan KPU diatur terkait ini. Bawaslu juga sudah kerjasama dengan KPI dan Dewan Pers dalam hal ini,” ucap Ketua Bawaslu DIY, Bagus Sarwono.

Sebelumnya, pada 16 Agustus 2018 lalu, Dewan Pers sebenarnya juga telah menerbitkan Surat Edaran No. 2/SE-DP/VIII/2018 tentang Posisi Media dan Imparsial Wartawan dalam Pemilu 2019

Dalam Surat Edaran tersebut, salah satu poin yang ditekankan bahwa pada intinya jurnalis harus tetap independen dalam menyampaikan pemberitaan, dengan berdasarkan informasi yang faktual dan mengedepankan Kode Etik Jurnalistik.

Bagaimana Jurnalis Menjaga Netralitasnya?

Sementara bagi para jurnalis, khususnya di Yogyakarta, netralitas juga merupakan keharusan yang mereka junjung tinggi, dalam setiap kali melakukan peliputan tentang proses Pemilu 2019.

Suryo, salah satu jurnalis media elektronik milik pemerintah mengaku, selama ini kebijakan redaksi mewajibkan reporter untuk mencari dua sisi nara sumber, untuk memenuhi unsur cover both sides, dalam pemberitaan yang akan disiarkan.

“Butuh kehati-hatian, dalam arti ketika kami butuh cover both sides dalam konten berita. Misalnya saat meminta komentar anggota dewan yang sedang nyaleg, maka harus sesuai kapasitasnya saja, meski bedanya tipis tapi tidak untuk kampanye visi-misi dia,” kata Suryo.

Meski begitu, Suryo tak menampik, jika dalam praktiknya, terkadang ada aturan yang membatasi gerak jurnalis, misalnya saat hendak meminta pernyataan dari peserta Pemilu 2019. Padahal, dengan pembatasan tersebut, dikhawatirkan justru akan menimbulkan kesan media tak netral, sehingga sempat memunculkan perdebatan di internal redaksi.

Sedangkan menurut Hakim, salah satu jurnalis online dirinya cukup berpegang pada kode etik jurnalistik.

“imparsial, tidak boleh memihak salah satu pasangan capres-cawapres. Membedakan mana ruang atau posisi sebagai wartawan dan posisi sebagai warga negara yang memiliki hak maupun pandangan politik. Saat memakai “baju”wartawan kita cukup sebagai wasit bukan pemain,” ucapnya.

Ditambahkan Hakim, berdasarkan arahan dari redaksi secara terpusat, dalam pemberitaan pemilu secara tegas tidak boleh melakukan kerja sama formal ataupun komersial dengan kontestan pemilu, serta dilarang terlibat dalam kegiatan pemenangan pemilu.

Ia juga merasa beruntung meskipun bekerja di media yang notabene bagian dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun tetap diberi keleluasaan dalam memberitakan pasangan Prabowo-Sandi atau Jokowi-Ma’ruf.

“Batasannya adalah media cukup berperan menyajikan informasi bagi masyarakat untuk membantu mengenali pasangan capres-cawapres sesuai visi-misi yang diusung masing-masing capres secara berimbang. Tidak boleh sampai masuk pada manuver-manuver politik yang bermuatan fitnah untuk menyudutkan pasangan lain,” imbuhnya.

Begitupun hal dengan pengalaman Danitha, jurnalis di salah satu stasiun TV Swasta Nasional.

“Secara pribadi saya tidak ada kecenderungan berpihak atau condong ke parpol tertentu dan sejauh ini pun tidak ada paksaan dari kantor untuk condong ke pihak tertentu. Kami bebas, tidak ada batasan khusus yang penting cover both sides dan tak menggiring opini publik,” ungkapnya. (Rep-03)

Pos terkait