oleh: Iwan Satriawan, pengamat Hukum Tata Negara
Berbuat adillah karena sikap itulah yang membuat kita bisa menjadi warga negara yang baik bagi bangsa ini. Hari-hari ini etika berbangsa kita sebagai bangsa benar-benar diuji. Kasus Ahok adalah salah satu batu ujiannya. Sebagian orang secara ekstrem mendukung Ahok dan secara konstitusional itu sah. Yang lain juga secara ekstrem menentang Ahok dan itu juga bagian dari hak konstitusional warga negara. Namun, seringkali ekspresi dukungan dan penolakan itu dilakukan dengan tidak memperhatikan etika konstitusional (constitutional ethics). Perbedaan pandangan atau pendapat faktanya menihilkan “constitutional ethics” dalam berbangsa dan bernegara.
Tulisan saya pertama telah menyinggung spirit konstitusi Indonesia yang religius. Oleh karena itu warga negara, apalagi para pemimpin, harus memahami bahwa diperlukan etika konstitusional yang baik dalam berinteraksi dengan agama, termasuk di dalamnya terhadap Tuhan, Nabi dan para ulama/pendeta/pastor/rahib dan sebutan lainnnya. Kesalahan persepsi dan diksi yang digunakan terhadap elemen-elemen ini faktanya berakibat fatal dan bisa mengganggu kenyamanan bernegara. Para Pemimpin harus memberi contoh yang baik dalam berinteraksi dengan agama. Pemimpin harus menjaga hubungan yang harmonis antara Negara dan Agama agar bangsa ini diberkahi Tuhan Yang Maha Esa. Ini adalah etika konstitusional yang pertama.
Tulisan keempat ini akan lebih menekankan pada aspek etika konstitusional kedua, yaitu warga negara perlu memiliki sikap yang adil dan beradab dalam berkomunikasi sebagai anak bangsa. Sila kedua dari Pancasila menyebutkan bahwa negara ini berdasarkan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Artinya hubungan kemanusiaan antara warga negara harus dibangun berdasarkan keadilan dan keadaban.
Dalam kasus Ahok, etika konstitusional kedua ini mendapatkan ujian berat. Sikap ekstrem dalam membela dan menolak seseorang kadang mendorong orang kehilangan etika konstitusionalnya. Di media sosial bisa kita lihat, para pembela Ahok menyerang para penentang Ahok dengan kata-kata yang kasar dan tak pantas. Sakit otak, tai kucing, dan berbagai kata tidak pantas berseliweran tanpa etika. Di sisi lain, penentang Ahok juga kadang kehilangan kontrolnya dengan mengeluarkan kata-kata yang lebih sama seperti kafir, munafik dan berbagai kata pedas lainnya. Tiba-tiba orang kehilangan adabnya dalam bernegara.
Apakah kita tidak bisa menyampaikan pandangan dan pendapat dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar? Naquib al Attas memang pernah menyindir bahwa manusia moderen sekarangg ini telah sampai pada tahap kehidupan yang mengalami “the loss of adab”, kehilangan adab. Manusia sekarang tidak tahu lagi cara berkomunikasi dengan Tuhan, bahkan meremehkannya, Nabi tidak dimuliakan, tapi manusia dipuji melebihi kemanusiaanya hanya karena pundi uang dan jabatan. Manusia sekarang maunya dihargai tingggi, tapi susah menghargai orang lain.
Bagaimanakah mengurai benang kusut peradaban bangsa ini dalam berkomunikasi dengan sesama warga negara? Jawabannya sederhana. Para pemimpin dan yang merasa pemimpin harus memberi contoh teladan dalam bersikap dan berbahasa yang santun dalam menykapi perbedaan. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang visioner sekaligus berakhlak mulia. Pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah yang pintar dan mampu menjadi contoh yang baik dalam berbahasa karena bahasa menunjukkan jati diri sebuah bangsa.
Salam Satu Indonesia!
(sumber: facebook Iwan Satriawan)