Menjaga Semangat Kebangsaan (5)

oleh: Iwan Satriawan, pengamat Hukum Tata Negara

Salah satu peserta demo 4 November lalu, seorang Tionghoa, memberikan testimoni yang beredar luas di media sosial. Peserta demo ini menyayangkan sikap Presiden yang tidak bersedia menemui perwakilan demonstran, menyayang sikap aparat kepolisian yang terkesan lamban dalam menindaklanjuti kasus tuduhan penistaan agama dan ulama yang dilakukan BTP . Menurut demonstran Tionghoa tersebut seharusnya tidak harus menunggu orang-orang Islam demo. Buktinya sudah jelas dan sudah ada rekomendasi dari MUI. Mau nunggu apa lagi. Hukum harus ditegakkan karena negara Pancasila ini berdasarkan hukum. Jangan gara-gara satu orang bernama BTP, hukum menjadi rusak dan berbelok-belok. Statemen bapak Tionghoa ini menarik secara hukum dan ketatanegaraan. Tulisan di bawah ini akan melihat kasus BTP dari sisi penegakan konsep negara hukum (rule of law).

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah jaminan adanya prinsip equality before the law. Semua orang, siapapun dia, sama di hadapan hukum. Kasus BTP adalah pertaruhan penegakan konsep negara hukum ini. Apalagi sebelum kasus BTP telah banyak pejabat negara yang sudah ditangkap dan dipenjara karena melakukan pelanggaran hukum. Lalu, apa bedanya kasus BTP dengan kasus-kasus sebelumnya? Apakah BTP orang yang kebal hukum sehingga hukum menjadi kelihatan tidak berdaya menyentuhnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang banyak muncul di akar rumput.

Equality before the law, selama ini, ibarat mantra yang hanya dibaca-baca di kampus. Di dunia praktik, mantra itu seakan tidak bergema karena hukum telah diperdagangkan. Hukum menjadi milik orang-orang kuat dan kaya karena mereka bisa membelinya secara murah. Keadilan bagi orang miskin seperti utopia dan hanya dilihat bagai dunia maya yang menggeramkan. Pisau hukum itu tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Dalam kasus BTP sangat mudah dilihat betapa institusi peradilan seperti gagap, lamban dan berkelok-kelok menghadapi kasus yang sederhana. Akibatnya, ongkosnya menjadi besar. Rakyat harus bersitegang urat leher dulu di jalan agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Seharusnya rakyat tidak perlu turun berdemo seperti tanggal 4 November lalu ika aparat kepolisian bertindak cepat. Demo tanggal 4 November tersebut hanya salah satu bukti bahwa tingkat kepercayaan publik kepada insititusi kepolisian masih rendah. Justice delayed is justice denied.

Bangsa ini tdiak mungkin menjadi besar jika tidak bisa menegakkan hukum. Penegakan hukum adalah salah satu pilar peradaban sebuah bangsa. Sebuah bangsa akan baik jika penegakan rule of law nya baik. Oleh karena itu, para pemimpin harus menjadi contoh dalam penegakan hukum. Kita belum pernah dengar ada pejabat yang mundur ketika tersangkut skandal hukum. Yang ada adalah tradisi kambing hitam. Kapolri baru yang konon pintar dan educated juga sedang diuji, apakah kepintaran bisa digunakan untuk perubahan.

Kasus BTP adalah ujian penting apakah “rule of law” itu hanya mantra atau memang nyata. Kasus ini menguji banyak hal dalam kehidupan bernegara kita. Semoga kita semua lolos dalam ujian ini sehungga bangsa ini bisa naik tingkat. Wallahu a’lam bishawwab.

(facebook Iwan Satriawan)

Pos terkait