Mengapa perang tak juga selesai?
Sesudah perang dimenangkan tentara dan kelompok Islam, penyelesaian perang bukanlah mudah bagi semua. Kecurigaan berlebihan dan semangat menghabisi semua yang terdefinisi lawan terjadi.
Saya ingin mengambil contoh kongkrit. Kali ini dari keluarga istri saya yang berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Almarhum ayah mertua saya sebelum peristiwa 1965 bekerja sebagai pegawai tata usaha di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Temanggung. Organisasi guru SMEP dianggap berafiliasi ke PKI. Bapak mertua yang mantan pejuang Islam Hisbulah itu, akhirnya harus keluar dari pekerjaannya.
Ketika melamar menjadi kondektur bus milik tetangga pengusaha Tionghoa, dia dilaporkan intel ke penguasa tentara. Batal pekerjaan pengganti yang sudah di tangan. Juragan bus itu meminta maaf karena tak berani melawan perintah penguasa lokal yang mendapat masukan dari intel amatir yang juga tentangga sendiri. Keluarga ini akhirnya kesulitan ekonomi. Salah seorang kakak istri saya sempat dititipkan untuk diasuh pamannya.
Pemecahan masalah ekonomi akhirnya didapat. Bapak mertua yang ahli administrasi sekolah itu pindah profesi sebagai penjual makanan di rumah. Dia menjual hasil masakan ibu mertua. Sementara ibu mertua tetap mengajar sebagai guru SD. Hari yang berat dilalui dengan ibu mempersiapkan dagangan bapak sejak dini hari selama bertahun-tahun. Pekerjaan ini baru berhenti ketika anak-anak sudah selesai kuliah, bekerja dan menikah.
Penderitaan keluarga kakek saya dan keluarga mertua saya itu menguatkan secara mental. Semua anak mertua berhasil menjadi sarjana dan jadi orang. Semua anak kakek saya yang mantan sinder minyak dan berubah jadi juragan tahu, sukses semua jadi orang. Sebagai orang beragama, kami mengatakan ini adalah berkah dari penderitaan. Tapi, sebagai seseorang yang mendapat kesempatan mendalami ilmu sosial, saya bekesimpulan lain. Ada yang tak selesai dan itu membahayakan kehidupan berbangsa.
Ketika perang usai dan tak ditutup dengan usaha saling maaf, tak saling menyembuhkan luka bersama, maka perang akan berlangsung kembali. Teori konflik memang sesederhana itu jalannya.
Selama beberapa tahun mendapat kesempatan menyusuri bekas daerah perang seluruh Indonesia dan mengunjungi beberapa bekas daerah perang di negara-negara ASEAN, saya mendapat pelajaran. Tentang usaha para pihak di negara-negara itu. Tentang cara penyelesaian yang baik dan tentu saja ada contoh penyelesaian yang buruk.
Salah satu contoh penyelesaian ini, silakan menilai baik atau buruknya. Di ladang pembantaian pinggiran Pnom Penh, Kamboja, saya menyaksikan di antara sisa-sisa mengerikan timbunan jenazah, tulang belulang, yang sesudah sekian tahun, tetap saja menyisakan bau anyir, Raja Norodom Sihanoek memerintahkan untuk mendirikan Pagoda.
Sebagian kerangka yang jumlahnya amat banyak di tumpuk di Pagoda. Para pendeta Budha diminta mendoakan agar para arwah dihormati dan ruhnya tidak gentayangan. Di luar kepercayaan tentang dunia sesudah mati yang bisa saja berbeda-beda, kita melihat bagaimana negara membuat sebuah tindakan pengakhiran tragedi. Bahkan untuk para si mati.
Dalam kasus Indonesia, jika boleh menilai, Suharto sebagai pemenang perang membuat kesalahan dengan tak segera menutup perang dengan baik. Tentu saja menyalahkan Suharto yang sudah mati dan tak berkuasa lagi itu tidak ada gunanya. Saya mohon maaf untuk pak Harto dan pendukungnya.
Tetapi, mengikuti Syariah Islam dalam praktek, memuliakan yang kalah dalam perang adalah wajib bagi pemenang. Gunanya agar perang tidak lagi terjadi, dan luka perang segera dipulihkan. Kalau boleh menilai, rejim Suharto tidak melakukan itu sebagai pilihan.
Baca juga: Menyembuhkan luka perang – tulisan pertama
Ia memilih jalan ekonomi populis bagi seluruh rakyat sebagai cara penyembuh luka. Cara membuat rakyat sejahtera agar lupa masa lalunya ini tak beda dengan yang dilakukan di Jerman. Kesejahteraan akan menyebabkan penderitaan rakyat terlupakan. Tetapi, jelas konteks Jerman yang kalah perang melawan sekutu, berbeda dengan Indonesia, yang perangnya terjadi antar warganya sendiri.
Tentu saja, tidak bisa diabaikan peran asing sebagaimana catatan-catatan sejarawan kita. Juga, dokumentasi CIA yang baru saja dibuka menyangkut peristiwa 1965, menambah catatan penting akan arti peristiwa ini.
Menurut saya, catatan-catatan itu menegaskan bahwa peristiwa 1965 ini adalah bagian dari peristiwa perang semesta, yang kejadiannya terjadi di wilayah-wilayah pinggiran. Bukan terjadi di wilayah pusat Amerika, Eropa.
Tetapi tetap mensikapi para lawan bekas PKI dengan cara politik menghabisi, bahkan hingga ke keturunannya. Ada litsus, cap eks tapol bagi para bekas narapidana PKI. Anak-anak bekas PKI juga sulit mendapat akses sebagai pegawai negeri.
Riset yang kami lakukan dengan narasumber para bekas PKI dan keturunannya menunjukkan fakta yang boleh mengurusi negara hanyalah mereka yang berasal dari keturunan bersih saja. Ibu saya, yang seorang ustadzah pun, dan berniat menyumbangkan pemikiran sebagai wakil rakyat di Blora, sudah menang pemilu. Ia yang dinilai mampu menarik suara terbanyak pada pemilu 1982, mewakili Golkar, gagal dilantik tanpa penjelasan. Dan segera tahu, statusnya sebagai anak kakek, yang tertuduh PKI, pasti sebabnya.
Baca juga: Menyembuhkan luka perang – tulisan kedua
Bisa terjadi, ayah adalah pejuang anti PKI, sementara ibu (istri beliau) dituduh tak bersih lingkungan karena anak tertuduh PKI. Keluarga kami akhirnya tak lagi mendiskusikan soal itu.
Gerakan Reformasi
Sesudah reformasi, situasi ini dipecahkan oleh Habibie. Di Sleman, saya menyaksikan teman main bola masa saya jadi mahasiswa, yang anak PKI Sleman keluaran pulau Buru, dapat menjadi anggota DPRD dari PAN. Hak-hak politik dipulihkan. Namun, keteraturan berpolitik di Indonesia baru dalam tahap belajar. Habibie sang pembuka pintu demokrasi tak diinginkan duduk berlama-lama jadi presiden. Ia diganti Gus Dur, tapi juga hanya sebentar duduk sebagai presiden, karena lemah dalam manajemen orang.
Dalam penyelesaian konflik dengan cara menghindari konflik berdarah, juga masih sulit dilakukan. Ketika Megawati menjadi presiden, pada awal pemerintahan dia melakukan kunjungan ke Aceh. Di Masjid Baiturahman Banda Aceh, anak Sukarno ini dengan berani mengakui kesalahan pemerintah RI terhadap Aceh. Namun kita tahu, sesudah itu ada darurat militer di Aceh yang ditandatangani oleh Megawati.
Apa yang terjadi, baik di pihak pemerintah RI ada faksi TNI yang ingin perang, dan di pihak Aceh, ada tokoh-tokoh GAM yang ingin perang? MPR maupun para aktivis perdamaian tak mampu menahan itu.
Apa yang menjadi latar belakang perang itu? Salah satunya, menurut sumber-sumber yang saya wawancara, adalah ada ketakutan di pihak pemerintah RI, bahwa pihak-pihak yang terlibat kekerasan di masa Orba, dalam hal Aceh adalah soal daerah operasi militer , akan diadili. Sementara dari pihak Gerakan Atjeh Merdeka (GAM) waktu itu, jika damai tercapai, maka perannya akan surut.
Partai-partai politik di Aceh pasca Orba, masih kuat dibanding GAM, jika dilakukan demokrasi penuh.
Sisi yang lain, menurut analisisis seorang jurnalis senior Aceh yang saya wawancarai, ketika Megawati menyampaikan permintaan maaf di masjid Baiturrahman itu, seharusnya segera ditindaklanjuti dengan mendata berapa jumlah korban DOM di Aceh, berapa janda dan anak-anak akibat DOM. Itulah yang kemudian disantuni negara. Perang pun selesai tanpa harus mengadili para jenderal.
Prinsip hukum Islam substantif ketika pengadilan tidak bisa diterapkan atas terdakwa yang mewakili negara, tidak diterapkan di Aceh. Pada kenyataannya, wilayah-wilayah konflik di Indonesia pasca reformasi, seperti Ambon, Poso, Aceh, Kalbar, Papua, diselesaikan dengan tanpa pengadilan.
Karena itu, ada dua soal menyangkut, bagaimana menutup perang berdasar nilai-nilai Islam dan nilai agama itu, dimasukkan berdasar prinsip HAM yang saat ini digunakan secara universal.
Untuk kasus 1965, ketika negara tidak menyelesaikan menyelesaikan perang dengan sebaik-baiknya, tidak membangun peradaban berdasar nilai-nilai kemanusiaan yang utuh, dimana yang menang memuliakan yang kalah, sudah pasti perang akan berkelanjutan.
Dan karena puak Islam yang menang, mestilah mengambil nilai-nilai yang baik dari nilai ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Termasuk, sebagaimana yang dilakukan Mas Isman, mengembalikan para pelaku perang, kembali menjadi manusia normal. Pelakunya tidak hanya masyarakat, tetapi negara.
Muhammad Faried Cahyono (jurnalis senior, dan peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM)