Logo MUI (dok. wikipedia)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menyikapi disertasi kontroversial dari mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Aziz, yang berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrour sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital.”
Ketua Umum MUI, Yunahar Ilyas menganggap, hasil penelitian Aziz terhadap konsep milk al yamin Muhammad Shahrour yang membolehkan hubungan seksual di luar pernikahan (nonmarital), saat ini bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, serta kesepakatan ulama (ijma’ ulama). Bahkan termasuk dalam katagori pemikiran menyimpang (al-afkar al-munharifah) dan harus ditolak karena dapat menimbulkan kerusakan (mafsadat) moral atau ahlak umat dan bangsa.
“Konsep hubungan seksual nonmarital atau di luar pernikahan tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesia,” tegas Yunahar dalam siaran pers, Selasa (3/9/2019).
Menurutnya, hal itu mengarah kepada praktik kehidupan seks bebas yang bertentangan dengan tuntunan ajaran agama (syar’an), norma susila yang berlaku (‘urfan), dan norma hukum di Indonesia (qanunan). Diantaranya UU Nomor 1 Tahun 1974, dan nilai-nilai Pancasila.
“Praktik hubungan seksual nonmarital dapat merusak sendi kehidupan keluarga, dan tujuan pernikahan yang luhur untuk membangun sebuah rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah, tidak hanya untuk kepentingan nafsu syahwat semata,” imbuhmya
Untuk itu MUI meminta agar seluruh masyarakat, khususnya umat Islam tidak mengikuti pendapat tersebut, karena dikhawatirkan dapat tersesat dan terjerumus ke dalam perbuatan yang dilarang oleh syariat agama.
Pihaknya juga menyesalkan promotor dan penguji disertasi yang terkesan tidak memiliki kepekaan perasaan publik dengan meloloskan dan meluluskan disertasi tersebut. Padahal dapat menimbulkan kegaduhan, dan merusak tatanan keluarga, serta akhlak bangsa.
Abdul Aziz Minta Maaf
Sementara dalam konferensi pers yang digelar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (3/9/2019), Abdul Aziz menyampaikan permintaan maafnya kepada umat Islam atas kontroversi dalam disertasinya.
“Saya juga menyampaikan terima kasih atas saran, respon, dan kritik terhadap disertasi ini, dan terhadap keadaan yang diakibatkan oleh kehadirannya dan diskusi yang menyertainya,” ucap Aziz.
Lebih lanjut Aziz juga menyatakan akan melakukan revisi disertasi berdasarkan kritik dan masukan dari para promotor dan penguji, pada ujian terbuka. Termasuk mengganti judul menjadi “Problematika Konsep Milk al-Yamin dalam Pemikiran Muhammad Shahrour”.
Kritik Promotor dan Penguji Disertasi
Sebelumnya, pada 30 Agustus 2019 lalu, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga menggelar jumpa pers guna mengklarifikasi tentang disertasi dari Abdul Aziz yang juga Dosen IAIN Surakarta tersebut.
Pihak UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan bahwa disertasi “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” adalah hasil penelitian Sdr. Abdul Aziz tentang penafsiran Muhammad Syahrur atas istilah milk al-yamin (atau yang semisalnya) dalam Al-Qur’an, dan telah disidangkan melalui ujian terbuka pada 28 Agustus 2019.
Sebagai peneliti, Aziz dituntut mampu mendeskripsikan pandangan dan penafsiran Shahrour atas kata tersebut. Mengingat, Shahrour mempunyai pandangan bahwa milk al-yamin itu tidak hanya budak, tetapi ‘semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’.
Khoiruddin Nasution selaku promotor berpendapat bahwa Shahrour mengkontekstualkan konsep milk al-yamin dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni nikah al-mut’ah, nikah al-muhallil, nikah al-‘irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah (samen leven).
Nikah-nikah sejenis ini sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Shahrour hidup lama. Secara hermenutika konteks inilah barangkali yang menginspirasi Syahrur.
Dalam disertasinya, Aziz yang mengkritik konsep Shahrour dengan menyebut tampaknya ada bias-bias subjektivitas pencetusnya. Di antara bias dimaksud barangkali adalah Shahrour ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentiment pribadi (politik), bukan atas pembuktian. Sebab pensyaratan pembuktian zina yang demikian ketat, menurut Shahrour, ingin menunjukkan agar janganlah mudah menghukum orang berzina.
“Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Shahrour ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital. Kalimat terakhir ini juga yang menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi. Selanjutnya tim meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak untuk disesuaikan dengan isi disertasi,” ungkapnya.
Sahiron yang juga menjadi promotor berpandangan bahwa penafsiran Shahrour terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang milk al-yamin atau yang semisalnya itu cukup problematik.
“Problemnya terletak pada subyektivitas penafsir yang berlebihan, yang dipengaruhi oleh wawasannya tentang tradisi, kultur dan sisitem hukum keluarga di negara-negara lain. Subyektivitasnya yang berlebihan ini kemudian memaksa ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan pandangannya, sehingga ayat-ayat tentang milk al-yamin yang dulu ditafsirkan oleh para ulama dengan ‘budak’ dipahami oleh Shahrour dengan ‘setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’,” anggapnya.
Selain itu, analogi antara budak dan orang yang diikat kontrak itu sangat simplisistik, karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas. Padahal di sisi lain, ada hal yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat-ayat milk al-yamin, yakni ‘martabat kemanusiaan’ yang oleh ayat-ayat Al-Qur’an sangat dijunjung tinggi.
Sedangkan Agus Moh. Najib sebagai penguji juga menyampaikan kritikan atas hasil penelitian Aziz tersebut. Penyebutan istilah milk al-yamin dalam Al-Qur`an tidak hanya berkaitan dengan “budak perempuan” yang dimiliki laki-laki (ma malakat aimanuhum), tetapi juga “budak laki-laki” yang dimiliki perempuan (ma malakat aimanuhunna).
Shahrour hanya terfokus pada “budak perempuan” yang dimaknai secara kontemporer, sehingga pembahasan yang dilakukan tidak komprehensif dan secara konseptual masih dipertanyakan, apalagi kemudian akan diterapkan dalam masyarakat.
Ditambahkan Agus, hubungan non marital ini berbeda dengan akad nikah yang oleh Shahrour disebut dengan istilah aqd ihson (“akad komitmen”). Kalaupun dianggap sebagai sebuah akad, seharusnya Shahrour mengemukakan syarat dan rukunnya. Shahrour belum menjelaskan syarat rukun akad tersebut secara jelas.
Pandangan Shahrour berangkat dari kebiasaan dan tradisi (‘urf) masyarakat Barat-sekuler saat ini yang mentolerir adanya samen leven (musakanah, kumpul kebo).
“Karena perbedaan ‘urf, kebiasaan dan tradisi semacam itu tidak bisa diterima oleh masyarakat muslim,” tegasnya.
Euis Nurlaelawati sebagai penguji menganggap, penulis lupa menyematkan phrase ‘dalam perspektif Shahrour pada beberapa pernyataan penulis di disertasi dan di ajang promosinya, sehingga yang terbaca dan terdengar adalah bahwa penulis mempunyai pandangan bahwa dengan konsep milk al yamin hubungan seksual di luar nikah itu sah dalam syariat Islam.
“Pemahaman saya sendiri terhadap pemikiran Shahrour adalah bahwa ia lemah dalam berargumen dan tidak konsisten dalam pemikirannya terkait isu-isu hukum keluarga dan pidana terutama. Argumen bahwa ayat-ayat Qur’an masih selalu harus relevan pada masa sekarang ini, sehingga ia perlu membunyikan kembali milk al yamin sangat lemah,” papar Euis.
Selain itu, kata Euis, interpretasi Shahrour terhadap istilah itu dalam batas tertentu bertolak belakang dengan “teori limit/batas hukum”-nya, terutama batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal sama sekali, terkait dengan tindakan yang mendekati hubungan seksual.
Dengan konsep milk al yamin ia malah melegitimasi hubungan seksual di luar nikah, di mana ia juga terkesan abai terhadap posisi ‘urf (tradisi) dan penetapan hukumnya dalam isu ini tidak memenuhi standar kelayakan konsep maslahah, di mana perlidungan terhadap perempuan yang ia ingin realisasikan bertabrakan dengan konsep milk al yamin yang malah merendahkan perempuan.
Penguji lainnya, Samsul Hadi menekankan bahwa menafsirkan ayat hukum tidaklah cukup dengan menafsirkan secara bahasa ataupun didasarkan kepada konteks diturunkannya ayat tersebut.
“Ketika ayat ditafsirkan dengan cara tersebut akan menghasilkan produk hukum yang parsial dan sulit diterima. Diperlukan pemahaman yang komprehensif terhadap metode penetapan hukum (istinbath hukum) yang disebut ushul fikih,” katanya.
Sedangkan Alomatul Qubtiyah yang juga turut menguji disertasi Aziz menjelaskan, pemikiran Shahrour terkait milk al-yamin itu problematis, terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender.
Perspektif yang digunakan lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh ‘dinikahi’ secara non-marital (nikah hanya untuk kepuasan seksual), tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak dan hak-hak perempuan dari ‘pernikahan’ non-maritalnya.
Selain itu, hakekat pernikahan yang dipahami oleh jumhur ulama adalah perjanjian yang sakral dan kuat (mitsaqan ghalizhan) dan berdasar pada konsep kesalingan, tidak sekedar menghalalkan hubungan seksual.
“Karena itu, ‘pernikahan’ non-marital dalam bentuk apapun tidak sesuai dengan hakekat pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan ulama,” sebutnya.
Semaangat Al-Qur’an, ungkap Alomatul, adalah melindungi perempuan dan menghapuskan perbudakan. Namun dengan disebutnya milk al-yamin dalam Al-Qur’an 15 kali, hal itu malah menunjukkan bahwa masalah perbudakan, khususnya budak perempuan, adalah masalah yang serius, karena menjadikan perempuan tidak diakui kemanusiaannya, tidak mendapatkan akses ekonominya, menjadi obyek seksual dan tidak punya otonomi terhadap tubuhnya sendiri.
Oleh karenanya, tidak sepatutnya dicari bentuk perbudakan baru dengan konsep ‘pernikahan non-marital’ yang hanya berorientasi pada pemenuhan hubungan seksual, dan mengabaikan hak-hak perempuan dan anak.
Ketua sidang, Yudian Wahyudi menyatakan, untuk diberlakukan, pemahaman Shahrour tentang milk al-yamin itu, maka harus ditambah akad nikah, wali, saksi dan mahar. Sebagai konsekuaensinya, kata-kata Shahrour “Jika masyarakat menerima”, maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak.
Dalam konteks Indonesia, kata Yudian, maka dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disyahkan menjadi Undang-undang. Tanpa proses ini pendapat Shahrour tidak dapat diberlakukan di Indonesia.
“Dengan demikian, draf disertasi yang diujikan pada tanggal 28 Agustus harus direfisi sesuai dengan kritik dan saran para penguji,” pintanya. (Ed-01/Rep-02)