Nasib Buruh DIY kian tak Pasti di Tengah Pandemi

Ilustrasi (dok. kabarkota.com)

YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Pandemi Covid-19 telah membuat banyak perusahaan merumahkan dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para buruh di DIY.

Bacaan Lainnya

Menurut aktivis buruh dari Serikat Buruh Peternakan CV Mitra Gema Lestari (MGL), Erlangga, hal tersebut sebagaimana yang dialami para buruh pemotongan ayam di PT SRR dan anak perusahaannya, CV MGL di Sleman. Para buruh terkena PHK, dan tanpa mendapatkan hak THR.

“Tindakan perusahaan PT.SRR dan CV.MGL merupakan bentuk nyata dari penindasan terhadap buruh yang telah sekian lama memberikan keuntungan dan kekayaan bagi perusahaan,” anggap Erlangga dalam siaran pers yang diterima kabarkota.com, Kamis (23/7/2020) malam.

Aksi buruh pemotongan ayam di depan kantor PT SRR, 13 Juli 2020 (dok. Kabarkota.com)

Parahnya lagi, kata dia, tindakan perusahaan tersebut melanggar
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan SE Menteri Tenaga Kerja tentang merumahkan buruh, karena seharusnya keputusan perusahaan itu dilakukan melalui perundingan antara pengusaha dengan buruh atau serikat buruh terlebih dahulu. Namun, perusahaan justru melakukan PHK sepihak.

Erlangga mengungkapkan, awalnya para buruh tersebut berstatus dirumahkan saat pandemi. Tapi, pada 13 Juli 2020, ketika pertemuan tripartit di kantor PT SRR, mereka justru dinyatakan telah terkena PHK, dengan alasan efisiensi. Bahkan, mereka juga diberhentikan tanpa mendapatkan hak-hak normatif sebagai buruh sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Kemudian pada 20 Juli 2020, pihak perusahaan dan Serikat Buruh membuat forum perundingan bipartit pertama. Dalam kesempatan ini pun, buruh tak mendapat kejelasan atas tuntutan mereka.

Bahkan, lanjut Erlangga, perusahaan melalui kuasa hukumnya merevisi pernyataan di forum sebelumnya bahwa PHK yang dilakukan terhadap buruh
CV. MGL bukan atas dasar efisiensi, tetapi karena keadaan memaksa (force majeure). Sedangkan buruh yang bekerja di PT. SRR tidak di-PHK, melainka dirumahkan dan akan dipanggil bekerja kembali sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) secara bertahap.

“Hal tersebut merupakan upaya yang tak dibenarkan dalam aturan ketenagakerjaan, dan semakin menguatkan bahwa pihak perusahaan ingin menghindari pemenuhan hak normatif yang menjadi tuntutan para buruh,” tegasnya.

Karena pada forum bipartit pertama itu tak ada titik temu, maka pada 23 Juli 2020, forum bipartit kedua digelar. Hasilnya, perusahaan CV MGL akan melakukan diskusi terkait besaran hak, sebagaimana tuntutan para buruh yang terkena PHK. Sementata buruh di PT. SRR belum mendapat kesepakatan.

Untuk itu, pihaknya menyatakan bersedia untuk melakukan perundingan kembali terkait tawaran perusahaan yang akan mempekerjakan kembali buruh yang terkena PHK, setelah hak normatif mereka benar-benar dipenuhi perusahaan.

“Kami memandang bahwa selama ini sudah menyumbang keuntungan dan kekayaan berlipat ganda bagi perusahaan, maka sekarang saatnya perusahaan membalas keringat, pikiran, dan tenaga yang telah kami abdikan bagi kemajuan perusahaan,” harapnya.

Tak hanya di Sleman, ratusan buruh perusahaan furniture di Bantul juga terkena dampak Covid-19. Pada 21 Juli 2020, Puluhan buruh furniture yang tergabung dalam Serikat Buruh Independen (SBI) PT Kharisma Export juga mendatangi gedung DPRD DIY untuk menggelar aksi unjuk rasa dan audiensi dengan dewan, karena pembayaran gaji yang menunggak selama berbulan-bulan.

Aksi buruh furniture Bantul di depan gedung DPRD DIY, 21 Juli 2020 (dok. Kabarkota.com)

Koordinator Umum (Kordum) aksi, Giyanto menyampaikan bahwa para buruh hanya mendapatkan gaji Rp 100 ribu per minggu. Selain itu, sejak 10 bulan terakhir, perusahaan juga memotong gaji mereka untuk membayar iuran BPJS. Namun, ternyata potongan tersebut oleh perusahaan tak disetorkan ke BPJS .

Sementara Anggota SBI PT Kharisma Export, Surdiyono mengaku, dirinya  baru mengetahui perusahaan menunggak membayar iuran BPJS, ketika anaknya sedang berobat ke Rumah Sakit, namun klaim BPJS-nya ditolak.

“Seharusnya anak saya opname tapi karena BPJS-nya tidak bisa dipakai, saya bawa pulang dan kami rawat sendiri,” ucapnya saat audiensi di DPRD DIY.

Menanggapi berbagai persoalan para buruh di Bantul tersebut, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana meminta agar OPD terkaitk segera membantu memfasilitasi untuk mediasi. Mengingat, nilai tunggakannya besar dan merugikan para buruh.

Sementara Endri Windarta selaku Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans DIY menjelaskan, untuk tuntutan THR sudah dimediasi oleh Disnakertrans Kabupaten Bantul. Sedangkan untuk tunggakan iuran pembayaran BPJS, pihaknya berdalih telah memberikan peringatan pertama kepada perusahaan dengan memberi tenggat waktu pembayaran maksimal 30 hari. (Rep-01)

Pos terkait