Aksi damai puluhan konsumen apartemen MPV di Kantor BTN Cabang Yogyakarta, pada Senin (16/12/2024). (dok. kabarkota.com)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Senyum lebar Khusnul Khotimah tak mampu menutupi kesedihan hatinya, karena air mata menetes di balik kacamatanya.
Sesekali, perempuan berjilbab merah ini tampak mengangkat kacamata dan mengusap air mata dengan jemari tangannya, saat berbincang dengan kabarkota.com, di depan Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Yogyakarta, pada Senin (16/12/2024).
Ibu empat anak ini menceritakan bahwa suaminya yang pensiunan dari PT Angkasa Pura, awalnya membeli satu unit apartemen Malioboro Park View (MPV) yang ketika itu ditawarkan ke kantornya. Pada tahun 2017, suaminya membayar pembelian apartemen tersebut secara kontan, dengan harga sekitar Rp 235 juta.
“Kami berpikir membeli itu untuk investasi,” ungkap perempuan asal Maguwoharjo, Sleman ini.
Mengingat, kata Khusnul, suaminya sudah mendekati masa pensiun dan empat anaknya ketika itu masih bersekolah.
Namun, impian investasi tersebut pudar, seiring dengan mangkraknya pembangunan apartemen karena dikarenakan ijin Mendirikan Bangunan (IMB) ternyata belum ada.
Selain itu, PT. Malioboro Ensu Sejahtera (MES) yang menjadi developer apartemen dua tower tersebut telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, Jawa Tengah (Jateng), pada 8 Maret 2021.
“Suami saya sekarang stroke,” ucap khusnul sembari terisak.
Ia menduga, suaminya mulai sakit-sakitan sejak dua tahun terakhir, karena memikirkan masalah apartemen yang tak kunjung ada kepastian. Sementara uang ratusan juta sudah terlanjur dibayarkan, dan kini untuk biaya hidupnya tinggal mengandalkan uang pensiunan.
Hal itu yang mendorong Khusnul bergabung dalam Aksi Damai bersama puluhan Pembeli yang menjadi korban Apartemen MPV di kantor BTN Cabang Yogyakarta, pada Senin (16/12/2024).
Eyi Tergiur Iklan di Mall
Lain cerita dengan Dyah Erriyanti alias Eyi yang mengaku membeli apartemen MPV karena tergiur iklan saat Pameran di salah satu mall di Sleman.
“Pamerannya di Amplaz (Ambarukmo Plaza), bareng pameran lain. Biasa ada brosur, nanti kalau mau kredit bisa melalui BTN. Siapa yang tidak percaya?,” tutur Eyi.
Kemudian pada tahun 2016, Eyi membeli 1 unit apartemen MPV Tower Borobudur dengan harga hampir Rp 200 juta yang dibayar secara tunai.
Tujuannya, ketika nanti anaknya ingin kuliah di Yogyakarta, apartemen tersebut bisa ditempati.
“Tapi hingga 8 tahun, sampai anak kami hampir selesai kuliah, bangunannya belum jadi,” sesalnya.
Menurut Eyi, awalnya, bangunan apartemen tersebut sebagian sudah bisa ditempati, bahkan ada yang sudah mengisinya dengan furniture. Namun beberapa hari kemudian, PT MES dipailitkan. Akibatnya, banyak dari barang-barang mereka yang rusak dan hilang.
Oleh karenanya, Eyi menduga, ada kongkalikong antara dua pihak karena tidak mudah melakukan itu. Apalagi dengan ratusan konsumen.
Khusnul dan Eyi hanyalah dua dari 526 konsumen apartemen MPV yang dirugikan atas permasalahan tersebut. Dari jumlah itu, sebagian sudah luas dan sebagian lainnya masih Kredit Pemilikan Apartemen (KPA), melalui BTN.
“Kembalikan uang kami! Kembalikan hak kami!” seru para konsumen yang mayoritas emak-emak.
Selain berorasi serta memasang poster dan sepanduk di sekitar pintu masuk bank yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman Yogyakarta itu, perwakilan dari konsumen bersama kuasa hukumnya juga melakukan audiensi dengan pihak bank.
Kucuran Dana BTN ke Developer Apartemen MPV Dipertanyakan
Kuasa hukum konsumen Apartemen MPV, Asri Purwanti menjelaskan, dalam audiensi kali ini, pihaknya meminta agar objek sengketa segera dipasang garis polisi (police line) karena selama ini banyak barang-barang milik konsumen yang ada di apartemen rusak dan hilang.
Selain itu, pihaknya juga meminta agar pihak bank segera mengambil tindakan tegas supaya konsumen yang sudah membayar tidak dirugikan karena terkena BI checking.
“Konsumen yang sudah lunas hanya mendapatkan selembar kertas bukti lunas. Sedangkan yang belum lunas, kena BI Checking,” sebut Astri, usai audiensi.
Lebih lanjut pihaknya mempertanyakan dana sekitar Rp 340 Miliar yang dikucurkan BTN kepada pengembang apartemen, karena uang tersebut merupakan uang negara. Namun, dipinjamkan kepada developer untuk pembiayaan konstruksi apartemen MPV yang perizinannya tidak ada.
“Mengapa BTN tidak menginformasikan kepada konsumen yang melakukan akad kredit bahwa ternyata ada resiko manajemen, yakni soal perizinan?,” tanya Astri.
Sebab, lanjut Astri, rata-rata para konsumen melakukan akad kredit antara tahun 2018- 2019. Sementara pembangunan apartemen dimulai tahun 2016. Artinya, kredit konstruksi sudah dikucurkan oleh BTN terlebih dahulu kepada pihak pengembang.
Astri menekankan bahwa pihaknya juga meminta kepastian waktu kepada pihak BTN supaya memberikan solusi atar permasalahan tersebut.
“Kalau perkara ini tidak mau diobrak-abrik KPK, tolong kami diberi solusi,” pintanya.
Kronologi Permasalahan Apartemen MPV dengan Konsumen
Sementara itu, dalam siaran persnya, para konsumen ini menerangkan bahwa awal permasalahan itu muncul ketika BTN memberikan pembiayaan kredit konstruksi untuk pembangunan apartemen kepada PT MES sebagai developer aparteman MPV, dengan nilai Hak Tanggungan yang terpasang sekitar Rp.340 miliar.
Selain itu, pihak bank juga melakukan Perjanjian Kerjasama/ Kemitraan dengan Developer tersebut, yang tidak memiliki ijin Persetujuan Bangun Gedung (PBG) untuk penyediaan dana bagi para konsumen yang membeli secara kredit melalui fasilitas KPA.
Meskipun tidak mengantongi izin PBG, pada kenyataannya BTN tetap menggelontorkan kredit konstruksi untuk pembangunan dua tower apartemen MPV, yakni Tower Borobudur dan Tower Prambanan.
Kondisi semakin sulit bagi konsumen, ketika PT MES diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang, pada 8 Maret 2021. Alasannya, karena dukungan Suara Terbanyak dari BTN. Bank plat merah ini sebagai kreditur terbesar justru setuju mempailitkan PT MES, dengan suara terbanyak 23.753 suara, berdasarkan perhitungan bahwa setiap piutang dengan kelipatan Rp.10 juta dihitung satu suara.
“Jadi, penghitungan suaranya bukan berdasarkan jumlah kreditur atau bukan jumlah konsumen pembeli apartemen,” tulis mereka.
Artinya, meskipun kebanyakan konsumen apartemen tidak setuju PT MES dipalitkan, tetapi hakim tetap memutuskan PT MES pailit.
Mereka menilai, pihak BTN gegabah dalam memberikan dukungan untuk memailitkan PT MES. Tindakan Bank milik BUMN ini dianggap telah melanggar Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Untuk itu, mereka menuntut agar dana konsumen dikembalikan 100 persen, termasuk bunga yang telah disetorkan ke BTN. Pihak bank juga harus menghilangkan status BI Checking bagi para pembeli apartemen melalui KPA BTN. Lebih dari itu, para konsumen meminta BTN bertanggung-jawab terhadap Keputusan hakim pengawas terkait going concern dengan mencari investor.
Sementara pihak BTN Cabang Yogyakarta hingga berita ini diturunkan belum bersedia memberikan keterangan, dengan dalih hal tersebut merupakan kewenangan BTN Pusat. (Rep-01)