Norman Kamaru Tak Perlu Diikasihani

Norman Kamaru sedang mempersiapkan jualannya. Mantan anggota Brimob ini banting setir jadi pengusaha. (foto. liputan6.com)
 
 
Oleh: Wisnu Hardana
(Penulis idebisnis.biz) 
 
 
Norman Kamaru, mantan polisi berpangkat briptu kini punya kisah baru. Kisah lamanya tentang goyang Chaiya-Chaiya usai sudah. Kisah lamanya menekuni dunia hiburan sirna sudah. Namun sang mantan briptu ini masih jadi berita di mana-mana. Sebagian besar bernada kasihan, menganggapnya lupa diri, atau menyesalkan. Sebagian lagi menganggapnya bagian dari korban eksploitasi media. Yang lebih lunak menilai, itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang seperti roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah.
Drama kehidupan tentangnya terus dibagi dan diunggah di media sosial. Dan reaksi orang atas perjalanan hidupnya nyaris seragam dengan “nada” yang digaungkan lewat berita-berita seperti ini dengan pilihan kata atau kalimat seperti ini: “Nasi sudah menjadi bubur”, “Kasihan”, “Jual Bubur untuk Menyambung Hidup”.
Lalu, kita luput menengok sisi lain bahwa sang mantan polisi tidak sekadar menyambung hidup, tidak perlu dikasihani, tidak perlu menyesali nasi yang sudah menjadi bubur. Ia dan istrinya, justru tengah merintis sebuah jalan baru, jalan kewirausahaan, jalan kemandirian. Ini adalah jalan yang dipilih dan diingini banyak orang tetapi sebagian besar ragu atau takut untuk memutuskan. Norman sendiri setengah “dipaksa” memilih jalan ini.
Jika sekadar menyambung hidup, boleh jadi Norman masih bisa hidup dari orderan manggung yang sesekali masih diterimanya, tapi lebih sering ditolaknya itu. Jika jalan hidupnya pahit dan ia tak bisa hidup di Jakarta, rasanya juga bukan itu, karena istrinya masih seorang pekerja swasta yang mendapat gaji dan cukup untuk menopang hidup. Ia juga punya bisnis toko pakaian di daerah asalnya.
Usaha warung makan bernuansa Manado yang dirintisnya sejak Juni lalu adalah usaha yang dipilih karena Norman dan istrinya sama-sama hobi memasak. Mereka merasa itulah bisnis yang cocok mereka jalankan. Keduanya juga berasal dari tanah Kawanua, dang sang mantan polisi ini cukup terampil meracik menu seperti cakalang suwir atau bubur manado. Ia memilih tidak membuka usaha jual pakaian di ibukota ini, karena sudah punya butik pakaian di Manado, yang juga masih berjalan sampai saat ini.
Jika ada satu hal yang disesalinya atau dipertanyakannya dari perjalanan hidupnya yang naik turun naik dalam waktu singkat, itu adalah alasan pemecatan yang diterimanya dari kepolisian. Namun itupun tidak membuatnya larut, karena sepertinya ia hanya ingin mendapatkan kejelasan.
 
Dibongkar Paksa
Untuk berpindah dari zona nyaman ke zona penuh petualangan, Norman memang seperti dipaksa oleh kenyataan. Ia diberhentikan. Bekerja di institusi seperti kepolisian, dengan gaji yang mungkin tidak seberapa namun mapan, dan nantinya masih mendapatkan pensiun, memang membuat garis hidupnya akan lurus seperti itu sampai tua. Alhasil, banyak orang menyesalkan mengapa ia harus berhenti sebagai polisi.
Kenyataannya, ia sesungguhnya tidak ingin berhenti, tapi tetap diberhentikan. Garis hidupnya dibongkar paksa dan ia dipaksa untuk menyesuaikan diri menjalani garis hidup yang baru.
Boleh jadi, Norman sendiri juga tidak memilih untuk keluar dari zona nyaman itu. Apalagi, ia juga dinaungi magnet berita semenjak kemunculannya dalam goyang Chaiya Chaiya itu. Tengoklah, hingga kini, meski ia sudah tak lagi menjadi polisi, meski ia sudah tak lagi ramai order manggung atau nyanyi atau tampil di televisi, ia masih menjadi berita. Bahkan hanya karena ia jualan bubur.
Maka, boleh jadi ia sekarang justru lebih menghayati “jalan baru”nya. Di kepolisian dulu, ia adalah pegawai yang harus taat aturan dan perintah atasan, dan praktis belum punya bawahan, mengingat dirinya adalah prajurit rendahan. Di usaha restonya ini, ia sudah punya dua karyawan yang membantunya. Di kepolisian, ia adalah pegawai. Sekarang, Norman punya pegawai.
Kini, ia hanya butuh fokus untuk mengelola dan menekuni usahanya secara lebih serius. Apapun yang dikerjakannya toh masih menjadi pembicaraan orang, sehingga jika ia serius menangani usahanya, bukan tak mungkin bisnisnya akan jadi besar. Ia tak lagi butuh sarana promosi, kecuali menjaga kualitas dan servis atas warung makannya.

Pos terkait